"Upaya menihilkan korupsi dari negeri ini masih harus menempuh jalan yang teramat panjang. Seseorang yang berusaha memberantas korupsi, malah berbalik menjadi terlapor tentu akan bisa menghambat proses pembersihan negeri dari korupsi."
Oleh. Iranti Mantasari, BA.IR, M.Si
(Kontributor Tetap NarasiPost)
NarasiPost.Com-Sebagian orang berpendapat bahwa korupsi adalah budaya negeri ini. Tapi sebagian lain tak sepakat, karena berargumen bahwa budaya haruslah sesuatu yang positif. Diskusi seputar ini memang sudah lama menjadi perbincangan, bahkan mungkin dapat ditelusuri hingga ke bangku sekolah kanak-kanak. Ditambah lagi, entah sudah ada berapa banyak pejabat yang lantang menolak tindak korupsi dengan memasang baliho besar di jalan raya, namun akhirnya mereka jugalah yang berujung di balik jeruji besi karena hal yang mereka tentang itu.
Baru-baru ini juga terjadi sebuah hal yang cukup mencengangkan akal sehat, yang menambah daftar panjang terbaliknya dunia ini ketika berhadapan dengan isu korupsi. Pasalnya, seorang mantan bendahara desa yang melaporkan kepala desanya terkait dugaan tindak pidana korupsi, malah balik dilaporkan dan menjadi tersangka karena tindakannya tersebut. (Liputan6, 20/2/2022)
Kejadian ini bahkan membuat LPSK atau Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban angkat suara, bahwa mantan bendahara tersebut justru tidak bisa diperkarakan dan menjadi tersangka menurut UU Perlindungan Saksi.
Ada dua hal yang perlu disorot dari kejadian ini. Yang pertama, terkait menjamurnya praktik korupsi di negeri tercinta, yang menyebabkan peluang untuk senantiasa bersikap korup di instansi mana pun menjadi sangat terbuka lebar. Yang kedua adalah bahwa praktik dan keadilan hukum di negeri ini sama-sama tidak ideal dan tidak jarang bersifat tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Ketidakidealan praktik hukum ini melahirkan korban-korban yang tak seharusnya memikul sanksi atas apa yang diperkarakan atas mereka.
Untuk poin pertama, sudah sangat luas diketahui bahwa berbagai pekerjaan yang digeluti, jabatan yang tersemat di pundak seseorang, ada saja celah untuk melakukan tindakan korupsi, bagi mereka yang memang berorientasikan materi. Baik ia pejabat, kepala daerah, bahkan setingkat staf di kantor umum semuanya “berpeluang” untuk korupsi. Adapun poin kedua, simbiosis dari ketimpangan hukum dan maraknya praktik korupsi, disadari atau tidak akhirnya berkolaborasi melanggengkan tindakan kriminal yang merugikan publik ini. Hal ini tentu disebabkan bahwa hukum bisa menjadi transaksional, dibeli oleh mereka yang beruang dan berposisi, dan malah menjatuhkan mereka yang bukan siapa-siapa.
Keberadaan kasus ini pun semakin menunjukkan bahwa upaya menihilkan korupsi dari negeri ini masih harus menempuh jalan yang teramat panjang. Seseorang yang berusaha memberantas korupsi, malah berbalik menjadi terlapor tentu akan bisa menghambat proses pembersihan negeri dari korupsi. Selain itu, hal lain yang terbaca dari kejadian ini adalah bahwa seringnya ikhtiar nahi mungkar mendapat pertentangan bahkan penjegalan dari pelaku kemungkaran tersebut. Tentu saja ini adalah sebuah ironi di negeri dengan mayoritas pemeluk agama yang justru menegakkan amar makruf nahi mungkar adalah salah satu perintah penting di dalamnya.
Namun begitulah, kehidupan umat Islam memang tidak akan pernah ideal selama mereka hidup dalam tatanan kehidupan yang meletakkan titah Allah swt. di pinggiran saja. Sistem hidup yang tidak menganggap penting aturan agama ini jugalah yang membuka lebar pintu kemaksiatan, terlebih di kalangan birokrat dan pemerintahan. Padahal agama, khususnya Islam, telah mengatur sedemikian apik perkara penunaian hak rakyat yang tak segan memberikan sanksi tegas kepada siapa pun yang melanggar hak-hak tersebut, tak peduli setinggi dan sepenting apa pun jabatan yang disandangnya.
Dalam sebuah hadis, baginda Rasulullah saw. pernah bersabda, “Sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah manakala ada orang yang terpandang dari mereka mencuri, mereka pun membiarkannya. Namun, jika ada orang yang lemah dan hina di antara mereka ketahuan mencuri, dengan segera mereka melaksanakan hukuman atasnya.” (HR. Muslim)
Di dalam Islam, tindakan korupsi terkategori ghulul yang disebutkan oleh Rasulullah saw. merupakan sesuatu yang diambil dari selain gaji yang sudah diberikan atas seseorang yang bertugas dan bekerja. Ghulul ini meliputi harta yang diambil yang bukan merupakan haknya dari uang negara, aktivitas suap menyuap, gratifikasi, dan senagainya, yang seluruhnya secara tegas diharamkan oleh Islam. Keharaman ini pun tentu memiliki konsekuensi sanksi bagi pelakunya.
Atas tindakan korupsi, dikenai sanksi berupa ta'zir, yakni sanksi yang dijatuhkan atas perilaku maksiat yang tidak ada had serta kafarat di dalamnya. Penetapan sanksi ta'zir ini berada di tangan penguasa Islam, yaitu khalifah atau orang lain yang ditunjuk khalifah seperti Qadhi. Beberapa bentuk sanksi ta'zir yang bisa diberikan kepada pelakunya, menurut Muhammad Husain Abdullah dalam buku Studi Dasar-dasar Pemikiran Islam, bisa berupa pembunuhan, jilid, penjara, pengusiran, boikot, membayar denda, hingga mencela. Hal ini berarti, bila menurut keputusan khalifah si koruptor ini dihukum mati, maka tertegaklah hukuman mati itu atasnya.
Ketegasan sanksi atas tindakan korupsi ini tentu memberikan rasa takut bagi yang mengetahuinya dan rasa jera bagi yang sudah melakukannya. Dua karakter inilah yang memang dimiliki oleh sanksi di dalam Islam, yakni zawajir (memberi efek jera) dan jawabir (menebus dosa di dunia). Tidak seperti sanksi dan penegakan hukum dalam sistem sekuler hari ini, yang alih-alih memberikan rasa jera pada pelaku, namun malah pelaku bisa terbebas dari vonis hukuman selama bisa membayar sejumlah uang! Jika demikian faktanya, masihkah harapan negeri terbebas dari korupsi kita sandarkan pada sistem yang justru menjaga praktik ini terus ada? Wallahu a’lam bisshawwab.[]