"Tabiat pemerintah yang kerap menyengsarakan rakyat di setiap kebijakan merupakan konsekuensi diterapkannya sistem kapitalisme. Abdi negara yang terbentuk dari persekongkolan dengan pemilik modal akan melahirkan penguasa berwatak pengusaha. Motivasi mengabdi hanyalah demi sebuah eksistensi dan memperkaya diri, dan tentu saja menjadikan kekuasaan menjadi alat balas budi."
Oleh. Merli Ummu Khila
(Pengamat Kebijakan Publik)
NarasiPost.Com-Rasanya sulit menerima apa pun alasan pemerintah menahan hak pekerja untuk terparkir lama di Jamsostek. Tidakkah cukup mengambil manfaat dari saldo buruh yang mengendap selama mereka masih bekerja? tidaklah berlebihan jika ini yang disebut kezaliman yang dilegalisasi.
Sepertinya perjuangan buruh akan semakin panjang dan melelahkan. Aksi demo menggugat UU Ciptaker yang inkonstitusional belum juga membuahkan hasil. UU yang disahkan secara maraton dan sepihak ini justru bebas melenggang mengganti kebijakan lama. Jutaan buruh telah berbulan-bulan meradang, memperjuangkan nasib mereka yang nyaris seperti perbudakan modern di bawah UU sapu jagat Omnibus Law.
Kini buruh makin tidak diuntungkan, dampak pandemi menyebabkan banyak buruh dirumahkan bahkan di PHK. Namun, harapan bisa survive setelah PHK dengan berbekal uang JHT sepertinya tidak lagi bisa dirasakan. Uang jaminan yang dipotong 5,7 persen dari gaji bulanan sejatinya bisa digunakan ketika buruh di-PHK atau mengundurkan diri. Namun, faktanya hak pekerja tersebut baru bisa dinikmati setelah berumur 56 tahun.
Seperti diketahui, Kementerian Ketenagakerjaan kembali memberikan kado pahit bagi buruh melalui Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT). Menaker, Ida Fauziah, mengeluarkan kebijakan bahwa JHT yang disimpan di BPJS Ketenagakerjaan baru bisa cair saat peserta memasuki usia 56 tahun. Aturan ini sekaligus menganulir aturan lama yaitu pencairan JHT yang sudah bisa dicairkan secara penuh pada saat buruh mengundurkan diri, kena PHK, atau tak lagi menjadi WNI. Pada faktanya memang sebagian besar buruh mengklaim JHT setelah mereka berhenti bekerja. Dana tabungan itu tentu saja bisa digunakan untuk membiayai hidup mereka selama mencari pekerjaan baru. Atau juga bisa digunakan sebagai modal usaha.
Dana Rp533 triliun Mau Diapakan?
Kebijakan pemerintah ini tentu saja mengundang curiga rakyat, terutama buruh. Ada apa dengan uang mereka? apakah Jamsostek kehabisan dana untuk membayar klaim JHT. Atau dana yang tersimpan akan dipakai dalam jangka waktu yang lama? Wajar saja hal ini dipertanyakan, mengingat dana kelolaan JHT melampaui angka RP553 triliun. Dan itu adalah uang buruh, bukan uang pemerintah.
Seharusnya pemerintah tidak berhak menahan uang buruh. Hal juga ini disampaikan oleh pengacara kondang Hotman Paris, dalam sebuah video yang diunggah dari akun instagram @hotmanparisofficial beliau menegaskan bahwa tidak ada alasan bagi pemerintah untuk menahan uang orang lain dilihat dari abtraksi hukum mana pun. Lebih lanjut beliau mepertanyakan keadilan sang ibu menteri.
Berbagai spekulasi pun bermunculan, mengingat sudah mendekati tahun politik, dan ini menyangkut dana yang tidak sedikit. Hal ini dipertegas oleh seorang pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah. Trubus menilai bahwa Permenaker 2/2022 jelas tak sejalan dengan PP 60/2015. Menurutnya, kuat dugaan dana JHT dipakai untuk kepentingan lain. "Harusnya Permenaker sejalan dengan PP. Ini bisa digugat ke MA. Jadi Permenaker itu penuh dengan kepentingan politik. Ada kepentingan mau menggunakan Dana JHT," kata Trubus kepada CNNIndonesia.com, Rabu (16/2).
Tidak sampai di situ saja, gelombang penolakan membanjiri media sosial. Gerakan petisi tolak Permenaker ini sudah diteken hampir setengah juta orang. Petisi yang berjudul “Gara-gara aturan baru ini, JHT tidak bisa cair sebelum 56 tahun” membuktikan bahwa tidak ada satu pun pekerja yang setuju dengan Permenaker ini. Siapa yang sudi jika hasil keringatnya baru bisa ia nikmati setelah jompo, dengan kesulitan ekonomi yang merata dari semua lapisan masyarakat. Dana JHT hanyalah simpanan buruh demi menyambung hidup jika terjadi PHK. Jika pemerintah masih ngotot, maka ini adalah bentuk kezaliman.
Tabiat pemerintah yang kerap menyengsarakan rakyat di setiap kebijakan merupakan konsekuensi diterapkannya sistem kapitalisme. Abdi negara yang terbentuk dari persekongkolan dengan pemilik modal akan melahirkan penguasa berwatak pengusaha. Motivasi mengabdi hanyalah demi sebuah eksistensi dan memperkaya diri, dan tentu saja menjadikan kekuasaan menjadi alat balas budi. Politik oligarki ini terus terulang dari rezim berganti rezim. Selama asas bernegaranya tidak berganti maka kesengsaraan akan abadi.
Namun, tidak demikian jika saja rakyat mau hidup diatur dengan sistem Islam. Dalam Islam, kewajiban negara adalah menjamin hidup layak bagi seluruh rakyat. Abdi negara yang dilahirkan oleh sistem Islam adalah sosok-sosok yang menganggap jabatan adalah amanah dan bekerja semata-mata demi kepentingan rakyat. Hal ini karena sistem pemerintahan dibangun atas asas syariat. Setiap kebijakan yang diambil pemerintah harus menjadikan Al-Qur'an dan AsSunnah sebagai landasan.
Dalam Islam, seorang pekerja akan dipenuhi haknya sebagaimana sabda Nabi saw: “Berikanlah kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah,Shahih)
Artinya, negara akan bertanggungjawab memastikan setiap pekerja maupun pemberi kerja mendapatkan haknya dengan adil. Keadilan Islam dalam mengatur rakyathya menjadikan kesejahteraan benar-benar pernah dirasakan penduduk di sepertiga bumi ini selama ribuan tahun lamanya. Negara hadir sebagai pengurus atau peri'ayah urusan umat. Menjamin kebutuhan dasar secara tidak langsung dengan memastikan setiap kebutuhan tersedia dengan harga terjangkau. Negara juga menjamin kebutuhan akan pendidikan, kesehatan dan keamanan secara langsung yaitu pelayanan secara gratis dan berkualitas.
Tidak berlebihan jika seorang sejarahwan Barat, Will Durant, dalam bukunya Story of Civilization, mengatakan: "Para Khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan kerja keras mereka. Para Khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang untuk siapa pun yang memerlukan dan memberikan kesejahteraan selama beradab-abad dalam wilayah yang sangat luas. Fenomena seperti itu belum pernah tercatat (dalam sejarah) setelah zaman mereka."
Wallahu a'lam bishshawaab[]