"Kapitalisme memosisikan kesehatan bukan dalam perspektif pelayanan tetapi perspektif tukang dagang. Kesehatan dijadikan sebagai komoditas dagangan sehingga rakyat diharuskan membiayai sendiri kesehatan mereka. Seolah dalam pandangan kapitalisme ini, menyubsidi kesehatan justru sebagai pelanggaran."
Oleh. Ummu Ainyssa
(Pendidik Generasi dan Member AMK)
NarasiPost.Com-“Ya Allah, siapa saja yang mengemban tugas mengurusi umatku kemudian dia menyusahkannya, maka susahkanlah dia. Siapa yang mengemban tugas mengurusi umatku dan memudahkan mereka, maka mudahkanlah dia.” Begitulah munajat Rasulullah saw. untuk pemimpin yang mengurus rakyatnya yang pernah diriwayatkan oleh Muslim dan Ahmad.
Namun, tampaknya doa itu untuk saat ini tidak lagi membuat hati para penguasa bergetar. Nyatanya hampir setiap hari mereka semakin masif membuat kebijakan yang terus saja menyengsarakan rakyatnya. Belum juga sembuh luka hati rakyat akibat pandemi yang tak kunjung usai, kenaikan berbagai bahan kebutuhan pokok yang tak juga turun, kenaikan pajak maupun BBM, dan lain-lain, kini pemerintah kembali menambahkan beban kepada rakyatnya melalui kebijakan ngawurnya.
Pemerintah mengharuskan beberapa layanan publik dengan syarat harus tercatat sebagai peserta BPJS kesehatan. Adapun layanan publik yang dimaksud di antaranya pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM), STNK, perjalanan haji dan umrah, dan juga melakukan jual beli tanah. Pemerintah berdalih alasan kebijakan ini untuk mengoptimalkan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Aturan ini tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Pengoptimalan Jaminan Kesehatan Nasional. Bahkan kewajiban menjadi peserta BPJS untuk jual beli tanah akan diberlakukan mulai 1 Maret 2022 mendatang. (CNNIndonesia, 21/2/2020)
Masih dari sumber yang sama, menanggapi aturan ini, Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PKS, Mardani Ali Sera, mengungkapkan bahwa kebijakan ini tidak lain adalah bentuk keputusasaan. Pasalnya, kebijakan ini bersifat pemaksaan dan bukan edukasi kepada masyarakat. Mardani juga menilai bahwa kebijakan tersebut sama sekali tidak relevan sekaligus kontraproduktif dengan keinginan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang berniat memacu roda perekonomian di tengah masyarakat. Padahal, transaksi jual-beli tanah dianggapnya sebagai salah satu pemutar ekonomi masyarakat yang efektif. Jika kebijakan ini diterapkan justru akan tambah mempersulit transaksi karena mensyaratkan ketentuan lain.
Sementara menurut Pengamat Ekonomi, Arim Nasim, hal tersebut akan semakin menambah bentuk kezaliman negara terhadap rakyat. Karena dengan aturan ini, artinya negara dengan nyata telah memaksa semua rakyat untuk ikut asuransi BPJS. Ia juga menambahkan bahkan kezaliman negara bisa berlipat-lipat seperti itu karena sistem dan orangnya. “Sistem yang dipakai di negeri ini adalah sistem demokrasi kapitalis yang rusak dan juga merusak. Sementara pelaksana sistemnya juga sudah tidak punya hati nurani, suka berbohong, khianat, zalim dan hanya mengabdi kepada kepentingan para kapitalis,” ujarnya kepada Mediaumat.id, Ahad (20/2/2022).
Tidak dimungkiri, peran pemerintah dalam sistem kapitalisme bukan lagi mengayomi seluruh rakyat, melainkan mendapatkan manfaat dari rakyat sebanyak-banyaknya.
Kapitalisme memosisikan kesehatan bukan dalam perspektif pelayanan tetapi perspektif tukang dagang. Kesehatan dijadikan sebagai komoditas dagangan sehingga rakyat diharuskan membiayai sendiri kesehatan mereka. Seolah dalam pandangan kapitalisme ini, menyubsidi kesehatan justru sebagai pelanggaran.
Ironisnya, penguasa pun turut mencari keuntungan dalam bisnis kesehatan ini. Pemerintah secara bertahap telah melepaskan tanggung jawabnya dalam penyediaan layanan kesehatan bagi rakyat. Bermula dari pengalihan tanggung jawabnya kepada BPJS, menjanjikan berbagai manfaat dan kemudahan pelayanan, kemudian menaikkan iuran BPJS secara pelan-pelan, setelah itu muncul kebijakan penghapusan kelas dalam BPJS, dan kini rakyat yang belum tergabung dalam kepesertaan BPJS mau tidak mau dipaksa untuk bergabung melalui program pengoptimalan jaminan kesehatan nasional ini.
Maka jelaslah, semua kebijakan ini tidak lebih dari kezaliman penguasa. Terlebih sejak awal konsep BPJS ini sudah keliru, karena membebani rakyat untuk menanggung kesehatan dirinya dan pihak lain dengan membayar iuran secara permanen yang sewaktu-waktu bisa dinaikkan, baik dia sakit maupun tidak. Bahkan tidak sedikit terungkap bagaimana buruknya BPJS dalam mengatasi permasalahan kesehatan, mulai dari defisit anggaran, banyaknya rumah sakit yang menunggak serta berbagai masalah lain yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan.
Sementara di dalam Islam kesehatan merupakan hak seluruh warga negara yang wajib dipenuhi oleh negara. Islam telah menetapkan negara sebagai pihak yang berkewajiban untuk mewujudkan pemenuhannya bagi seluruh rakyatnya, baik rakyat miskin ataupun kaya, muslim maupun nonmuslim. Islam mengharamkan layanan kesehatan dengan mekanisme asuransi dan pungutan dari rakyat yang memberatkan. Negara Islam akan menjamin setiap rakyat untuk mendapatkan layanan kesehatan dari negara dengan murah bahkan gratis.
Pada masa Rasulullah saw. (Daulah Islamiah) beliau pernah mendapat hadiah seorang dokter dari Muqauqis. Akan tetapi Rasulullah saw. menjadikan dokter tersebut sebagai dokter umum untuk seluruh rakyat. Tindakan Rasulullah ini menunjukkan bahwa hadiah dokter tersebut bukanlah untuk beliau pribadi, tetapi untuk seluruh rakyat negara.
Daulah islamiah telah menjalankan fungsi ini dengan sangat baik. Banyak rumah-rumah pengobatan didirikan. Negara juga mendorong sepenuhnya riset terhadap obat-obatan serta teknik pengobatan baru. Rasulullah saw. pernah membangun tempat pengobatan untuk orang-orang yang sakit dan membiayainya dengan harta dari Baitul Mal. Pernah suatu ketika ada delapan orang dari Urairah datang mengunjungi Rasulullah saw. di Madinah. Mereka datang untuk menyatakan keislamannya. Di sana mereka terserang penyakit dan menderita sakit limpa. Rasulullah saw. pun memerintahkan mereka untuk istirahat di pos penggembalaan ternak kaum muslim milik Baitul Mal, di sebelah Quba yang bernama Zhi Jadr. Mereka tinggal di sana hingga sembuh dan gemuk. Mereka juga diizinkan minum susu dari binatang-binatang ternak di sana.
Hal ini pun berlanjut pada masa Khalifah setelahnya. Umar ibn al-Khattab r.a pernah memberikan bantuan dari Baitul Mal untuk kaum yang terserang penyakit lepra di jalan menuju Syam, ketika ia melewati daerah tersebut. Hal yang sama juga pernah dilakukan oleh Ahmad Ibnu Thulun di Mesir yang mendirikan masjid yang dilengkapi dengan tempat-tempat untuk mencuci tangan, lemari penyimpanan obat-obatan dan minuman, bangsal untuk pasien, serta dilengkapi dengan dokter untuk mengobati orang-orang yang sakit secara gratis. Ia juga mendirikan rumah sakit bernama Al- Fustat yang menjadi pusat pengobatan di Mesir pertama yang menyediakan bangsal khusus untuk pasien yang mengalami gangguan kejiwaan.
Lantas, darimana sumber dana untuk pembiayaannya? Seluruh pembiayaan jaminan kesehatan rakyat ini akan diambil langsung dari Baitul Mal atau APBN. Dan salah satu sumber APBN Islam ini berasal dari SDA milik umum seperti migas, minerba, emas dan lain-lain. Itulah sebabnya, SDA ini wajib dikelola oleh negara dan haram hukumnya diserahkan ke swasta apalagi swasta asing kafir.
Begitulah kesehatan diatur di dalam sistem Islam. Semua ini tidak akan bisa lagi kita dapat kecuali dengan diterapkannya kembali syariat Islam secara kaffah dan segera membuang jauh sistem kapitalisme yang nyata-nyata telah gagal memberikan kesejahteraan. Maka, kewajiban bagi kita untuk kembali memperjuangkan tegaknya kembali syariat Islam di muka bumi ini dalam bingkai Khilafah 'ala minhajin nubuwwah.
Wallahu a'lam bi ashshawwab.[]