"Kehadiran istri dalam kehidupan rumah tangga adalah laksana bidadari, sebagaimana diisyaratkan oleh Allah Swt.: “Dan di sisi mereka ada bidadari-bidadari yang bermata indah dan membatasi pandangannya.” (QS Ash Shaffat: 48 )"
Oleh: Maman El Hakiem
NarasiPost.Com-Melalui pintu pernikahan, surga kehidupan terbuka. Pemikiran sekularisme yang membuat menikah seolah perkara yang berat dan serba materialistik. Banyaknya ragam adat kebiasaan yang sering mempersulit orang untuk menikah, selain prosedural birokrasi yang ujung-ujungnya biaya yang cukup besar. Di beberapa daerah berlaku tuntutan uang panaik atau biaya untuk acara walimah yang dipatok berdasarkan tingkat pendidikan calon mempelai perempuan. Semakin tinggi pendidikan calon istrinya, semakin mahal panaiknya. Meskipun uang panaik sebenarnya bisa dibicarakan antara kedua belah pihak keluarga, namun telah menjadi tradisi yang ketika dilanggar mendapat sanksi sosial masyarakat setempat.
Saling Rida Syarat Nikah
Fenomena tersebut menjadikan acara yang seharusnya sederhana, sekadar mengkhitbah dan menyiapkan rencana akad dan walimah sesuai kemampuan, menjadi berat bagi calon suami untuk menyiapkan dana pernikahan. Padahal, syariat Islam mengatur pintu pernikahan sebagai solusi atas adanya interaksi antar lawan jenis, demi keberlangsungan keturunan dengan adanya interaksi khusus dalam bingkai kehidupan rumah tangga. Hanya melalui pernikahan saja, nasab atau keturunan manusia bisa terjaga kemuliaannya.
Islam telah menganjurkan, bahkan memerintahkan untuk dilangsungkannya pernikahan dan melarang hidup membujang. Di riwayatkan dari Qatadah yang menuturkan riwayat dari Al-Hasan, yang bersumber dari Samurah: “Bahwa Nabi saw. telah melarang hidup membujang.” (HR. Ahmad).
Pilihan hidup membujang atau tabattul yang maknanya memutuskan untuk tidak menikah dan menjauhkan diri dari kenikmatan pernikahan, semata-mata untuk fokus beribadah saja. Merupakan sikap yang tidak diinginkan Rasulullah saw., bahkan beliau memberikan inspirasi dan motivasi untuk bersegera menuju pelaminan. “Ada tiga golongan yang wajib bagi Allah untuk menolong mereka: seorang mujahid yang sedang berperang di jalan Allah, orang yang menikah karena ingin menjaga kehormatan dan mukatab (hamba sahaya yang terikat perjanjian) yang berusaha untuk bebas dengan membayar tebusannya.“ (HR. Al-Hakim dan Ibnu Hiban).
Adanya keinginan untuk menjaga kehormatan inilah yang menjadikan perempuan terlindungi setelah dipinang dan dinikahi pria idamannya. Sosok lelaki sejati sesungguhnya adalah yang berani menikah dan berbiduk bahtera rumah tangga. Sekalipun seorang pria disunahkan untuk memilih wanita-wanita yang masih gadis dan diketahui kesuburannya, namun disunahkan pula untuk memilih agamanya yang baik dan cantik, namun terpelihara dari dosa. Dari keempat kriteria tersebut, nilai agama yang harus diutamakan agar masing-masing pihak saling meridai atas segala kekurangannya.
Karena sahnya pernikahan salah satu syaratnya harus didasari saling rida antara calon pasangan suami dan istri.
Adanya saling rida ini menjadikan kehidupan rumah tangga laksana melayari bahtera dalam luasnya samudra yang dimulai dari adanya arah dan tujuan yang jelas, sehingga segala permasalahan dapat diatasi bersama, baik menyangkut masalah pengaturan urusan rumah tangga dan pertanggungjawabanya, maupun hubungan suami istri.
Posisi suami sebagai pelindung (qawam) harus mampu mengambil keputusan yang bijak dan memberikan kesempatan istri untuk menjaga kehormatannya karena hubungan suami istri adalah persahabatan sejati.
Bercermin dari hal ini kita harus mencermati hadirnya RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang akan memasukkan pasal kawin paksa sebagai delik pidana perlu disesalkan karena keridaan konteksnya bukan sebagai kejahatan, melainkan syarat pernikahan. Artinya jika sudah dilegalkan dalam bentuk UU nantinya kisah Siti Nurbaya seperti aib yang ditakuti, padahal duduk masalahnya bukan sebagai kejahatan, melainkan harus adanya keridaan masing-masing pihak sebelum melangsungkan akad pernikahan.
Seperti diketahui, menurut Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenhumham), Edward Omar Sharif, "Jika RUU TPKS jadi diberlakukan sebagai UU, pelaku kekerasan seksual akan dipenjara minimal empat tahun. Kalau ada unsur pemberat, maka akan menjadi lima tahun empat bulan." (Tribun Jabar, 23/2/2022).
Istri Laksana Bidadari
Kehadiran istri dalam kehidupan rumah tangga adalah laksana bidadari, sebagaimana diisyaratkan oleh Allah Swt.: “Dan di sisi mereka ada bidadari-bidadari yang bermata indah dan membatasi pandangannya.” (QS Ash Shaffat: 48). Ayat ini, seperti dikutip dari buku Syaikh Mahmud Mahdi Al-Istanbuli, menggambarkan keadaan bidadari-bidadari di surga. Namun, bisa diambil pelajaran untuk mengetahui sifat-sifat perempuan salihah, yang tidak lain para istri yang mendampingi suami.
Pertama, perempuan yang menundukan pandangan kepada suami karena cinta dan rida kepada suaminya. Ia tidak akan mengalihkan pandangaannya kepada lelaki lain.
Kedua, tidak memperlihatkan kecantikan kepada orang lain, dan tetap menundukan pandangan terhadap suaminya. Menjunjung tinggi rasa hormat dengan tidak banyak keluar rumah, kecuali dalam perkara ketaatan kepada Allah dengan sepengatahuan suami dan tidak menginginkan lelaki selain suaminya.
Ketiga, memiliki jiwa yang bersih dari rasa cemburu, sehingga kecemburuannya dialihkan kepada ketaatan, tidak tergoda oleh bisikan setan, selalu merasa cukup dengan pemberian suami dan tidak menyakiti hati suami.
Allah Swt. menegaskan, sebagaimana termaktub dalam QS. An-Nisa: 34, “Bahwa perempuan-perempuan yang saleh adalah mereka yang taat kepada-Nya, dan menjaga diri ketika suaminya tidak ada, karena Allah telah menjaga mereka.”
Sosok bidadari suci dalam rumah tangga, tergambar jelas pada Sayyidina Khadijah ra. Beliau wanita yang telah membersamai Rasulullah saw. dalam perjalanan dakwahnya, baik keadaan suka ataupun duka. Dalam kitab Sirah Nabawiyah Karya Ibnu Hisyam, dikatakan bahwa Allah sampai memberikan salam dan berita gembira kepadanya. Ibnu Hisyam mengatakan, “Malaikat Jibril datang kepada Rasulullah saw., kemudian berkata: ‘Sampaikan salam Allah kepada Khadijah’. Lalu Rasulullah saw. bersabda: “Hai Khadijah, inilah Jibril menyampaikan salam Allah kepadamu. “ Khadijah berkata, “Allah adalah kesejahteraan dari-Nya, dan kesejahteraan juga atas malaikat Jibril.” (Sirah Nabawiyah, Ibnu Hisyam, Hal: 203-204).
Wallahu’alam bish Shawwab.[]