"Menghadapi peliknya fenomena minyak goreng yang sedang melanda negeri, masyarakat mencari solusi bagaimana mendapatkan minyak goreng pengganti yang lebih murah dari minyak goreng kelapa sawit. Salah satunya dengan mengolah ulat jerman menjadi minyak goreng seperti yang sedang viral belakangan ini."
Oleh. Aya Ummu Najwa
NarasiPost.Com-Manusia adalah makhluk yang paling sempurna karena Allah menciptakannya lengkap dengan akal. Dengan akalnya, manusia dapat mencerna setiap apa yang ada dalam hidupnya. Ia akan terus mencari cara agar hidupnya mudah dan efisien. Sebagai manusia berakal, ia terus mencari solusi bagi permasalahan yang sedang terjadi dalam hidupnya.
Termasuk menghadapi peliknya fenomena minyak goreng yang sedang melanda negeri. Masyarakat mencari solusi bagaimana mendapatkan minyak goreng pengganti yang lebih murah dari minyak goreng kelapa sawit. Salah satunya dengan mengolah ulat jerman menjadi minyak goreng seperti yang sedang viral belakangan ini. Bagaimana Islam memandang hal tersebut?
Akhir-akhir ini kita menemui sebagian masyarakat menjadikan serangga, termasuk salah satunya ulat jerman sebagai alternatif makanan yang bisa dikonsumsi karena dipercaya mengandung gizi yang tinggi. Banyak yang menjadikannya sebagai campuran makanan seperti sambal, camilan ringan, peyek, dan sebagainya. Tak hanya itu, ulat jerman ini pun mulai ramai dibudidayakan untuk diolah menjadi minyak goreng karena dipercaya mempunyai kandungan lemak yang cukup tinggi. Selain itu, ulat jerman dianggap lebih ramah lingkungan, tidak memerlukan lahan yang luas dan cenderung tidak merusak lingkungan seperti halnya kelapa sawit.
Sejatinya, para ulama berpendapat bahwa penetapan hukum dalam Islam sangatlah sederhana, yaitu dengan merujuk pada apa yang disebutkan di dalam Al-Qur’an dan hadis. Manusia akan memahami bahwa makanan yang haram itu sangatlah sedikit. Sementara sebaliknya, makanan yang halal sangatlah banyak.
Hukum tentang mengonsumsi ulat jerman ini tidak terdapat dalam Al-Qur’an juga hadis, namun juga tidak ada nas yang jelas menunjukkan keharamannya. Merujuk pada kaidah fiqihiyyah bahwa "Al-ashlu fi al-asy-ya’i al-ibaahah, illaa maa dalla daliilu ‘alaa tahriimihi" yaitu segala sesuatu pada dasarnya adalah boleh atau mubah, kecuali terdapat dalil yang mengharamkannya. Sepanjang tidak ada dalil tentang pengharamannya, tidak menjijikkan dan tidak membahayakan maka ulat jerman ini boleh dikonsumsi. Menurut ulama tafsir, didiamkan berarti dimaafkan atau dibolehkan selama tidak menjijikkan dan membahayakan maka hukumnya boleh demi kemaslahatan. Akan tetapi, jika terdapat unsur membahayakan maka diharamkan, "Laa dhoror wa laa dhiror" artinya tidak boleh membahayakan atau berpeluang membahayakan.
Sedangkan unsur menjijikkan yaitu makna dari kata khobaits yang disebutkan dalam nas, artinya bertentangan dengan naluriah manusia normal sehingga manusia akan selalu menghindari meskipun menjijikkan itu sendiri relatif bagi masing-masing orang. Sebagian ulama menjelaskan makna khobaits itu adalah najis. Karena semua orang pasti akan merasa jijik dengan najis. Dari sini bisa dipahami bahwa ulat jika termasuk menjijikkan atau khobaits maka dihukumi haram dan tidak boleh dikonsumsi, namun jika tidak maka dihukumi boleh. Ini berdasarkan dari sebagian pendapat ulama yang menyatakan jika ulat hidup di lingkungan dan makanannya halal maka boleh dikonsumsi, seperti ulat dalam buah mangga atau dalam sayuran yang kemudian termakan manusia. Dan akan sebaliknya, jika ulat ini hidup dan makanannya haram, seperti bangkai, maka hukumnya haram dikonsumsi. Jika ulat itu hasil budidaya, maka harus dicari tahu terlebih dahulu apa pakannya.
Apakah setiap yang menjijikkan itu haram dimakan? Di dalam Al-Qur’an, Allah telah berfirman menjelaskan hal ini,
وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
"Dan Allah telah mengharamkan bagi mereka segala sesuatu yang menjijikkan (khobaits)." (QS Al-A’raf: 157).
Dalam kitab Zaadul Masiir, 3: 273, disebutkan ada tiga makna khobaits dalam ayat ini, yaitu: Pertama, khobaits sebagai makanan haram sehingga dilarang untuk memakannya. Kedua, khobaits sebagai segala sesuatu yang menjijikkan dan membuat jijik untuk dimakan. Contohnya ular, kadal, ulat, dan lainnya. Ketiga, khobaits yang bermakna bangkai, darah, daging babi dan anjing yang dianggap halal padahal Allah telah mengharamkan segala bentuk penghalalan dari hal-hal seperti ini yang sudah jelas keharamannya.
Hukum Memakan Ulat Menurut Empat Mazhab Fikih
1. Mazhab Maliki
Apabila ulat mati di dalam makanan dan dapat dipisahkan, maka wajib memisahkan ulat tersebut dari makanan dan hukumnya haram memakannya. Begitu pula apabila ulat tersebut sudah hancur dan bercampur dengan makanan maka tetap tidak boleh memakannya meskipun bangkainya suci. Akan tetapi, jika ulat tersebut tidak keluar dari makanan tersebut dan tidak berkembang biak sendiri di luar makanan itu, sedang ia masih hidup, yang kemudian termakan bersama makanan itu maka hukumnya dibolehkan atau dimaafkan, karena hukum ulat yang lahir dari makanan sama hukumnya dengan makanan tersebut.
2. Mazhab Hanafi:
Ulat yang asal mulanya lebah dan sejenisnya yang biasa disebut "Entung" jika belum bernyawa hukumnya mubah untuk dimakan dan menjadi haram jika sudah bernyawa meskipun ulat tersebut lahir dalam makanan.
3. Mazhab Syafii dan Hanbali
Ulat yang lahir dari makanan seperti buah-buahan dan cuka, hukumnya halal dimakan dengan tiga syarat, yaitu:
a. Jika dimakan bersamaan dengan makanan baik hidup ataukah mati. Namun, menjadi haram jika dimakan sendirian atau terpisah.
b. Jika ulatnya tidak dipisahkan dari makanannya. Namun, jika dipisahkan maka ulat tersebut haram dimakan.
c. Jika ulat tersebut tidak menyebabkan rasa, warna dan aroma makanan cair berubah. Akan tetapi, jika rasa, warna dan baunya berubah maka hukumnya haram karena telah terkena najis.
Kesimpulannya adalah memakan ulat secara terpisah dari makanan hukumnya haram. Begitu pula dengan membuat minyak goreng dari ulat mati hukumnya haram karena terbuat dari bangkai yang najis. Semua bangkai adalah najis kecuali bangkai ikan, belalang dan manusia. Sedangkan ulat yang masih didiamkan atau dimaafkan jika dimakan adalah ulat yang termakan bersama makanan, bukan ulat yang terpisah dari makanan.
Dalam kitab Al-Mughni 'ala Syarhi Al-Kabir, juz IV, hlm. 239 karya Imam Al-Muwaffaquddin bin Qudamah Al-Maqdisi disebutkan:
ولنا ان الدود حيوان طاهر يجوز اقتناؤه لتملك ما يخرج منه اشبه البهائم
"Ulat yang masih hidup hukumnya suci, namun jika sudah mati akan menjadi bangkai yang najis dan haram."
Islam begitu sederhana dalam memutuskan manakah makanan yang halal ataukah haram. Umat hanya perlu mencari dalilnya dalam Al-Qur’an dan hadis yang sahih. Maka dari itu, diperlukan pengkajian yang mendalam serta peran yang maksimal dari negara terkait masalah pokok umat, seperti sandang, pangan, dan papan agar umat tidak terjebak dalam hal-hal syubhat, apalagi sampai terjerumus ke dalam hal yang haram hanya karena kelalaian kepengurusan negara.
Wallahu a'lam[]