"Empat hal yang termasuk kebahagiaan seseorang adalah: memiliki istri yang salihah, anak-anak yang baik, teman kerja yang baik, dan rezekinya di negeri sendiri." (HR Ibnu Abi Ad-Dunya)
Oleh. Mariyah Zawawi
NarasiPost.Com-Ada yang mengatakan bahwa bahagia itu sederhana. Sekadar bisa menikmati seporsi cilok atau seblak saja sudah bisa membuat bahagia. Sederhana sekali memang.
Tentu kebahagiaan yang dimaksudkan di sini adalah kebahagiaan sesaat. Ketika kita merasa jenuh dengan berbagai rutinitas yang kita jalani, mungkin juga ketika kita merasa tertekan dengan tuntutan pekerjaan atau banyaknya persoalan yang kita hadapi. Saat itulah kita merasa bahagia dengan melakukan hal sederhana semacam itu sehingga kita merasa tenang dan terbebas dari hal-hal yang menyusahkan atau meresahkan kita.
Berbeda halnya jika yang kita inginkan adalah kebahagiaan yang hakiki. Kebahagiaan yang terikat dengan konsep hidup kita sebab kebahagiaan yang kita inginkan bersifat langgeng, everlasting, selamanya. Untuk itu, harus ada upaya yang lebih keras dan pengorbanan yang lebih besar.
Mereka yang menganut kapitalisme akan bekerja siang dan malam demi mengumpulkan uang sebab terpenuhinya segala kebutuhan fisik adalah ukuran kebahagiaan mereka. Dengan uang yang mereka miliki, mereka mampu membeli segalanya. Mereka tidak hanya mampu membeli seporsi cilok atau seblak. Namun, mereka juga mampu membeli gerobaknya, bahkan kalau bisa, pemilik gerobaknya juga dibeli.
Bagi mereka, materi adalah segalanya. Materi adalah ukuran kesuksesan bahkan tujuan hidup. Maka seumur hidupnya pun sibuk mengumpulkan materi meskipun mereka tahu bahwa saat ajal datang, semua itu akan mereka tinggalkan.
Berbeda halnya dengan konsep kebahagiaan seorang muslim. Kebahagiaan baginya adalah mendapatkan rida Allah Swt. Maka setiap gerak dan langkahnya harus senantiasa diridai oleh Allah Swt. Termasuk saat membeli cilok atau seblak. Ia akan memastikan bahwa cilok atau seblak itu halal. Ia juga akan memastikan akad jual beli yang dilakukannya dengan tukang cilok atau seblak itu merupakan akad yang diperbolehkan.
Inilah kebahagiaan yang hakiki bagi seorang muslim. Kebahagiaan yang datang saat ia mampu menjalani kehidupannya sesuai dengan aturan Allah Swt. Hal ini membuatnya tidak bebas berbuat sesuka hatinya. Itulah sebabnya, Rasulullah saw. mengibaratkan dunia sebagai surga bagi orang kafir, tetapi sebagai penjara bagi seorang muslim.
Meskipun demikian, bukan berarti seorang muslim tidak berhak mendapatkan kesenangan di dunia. Allah Swt. telah berfirman dalam surah Al-Qashash [28]: 77,
وابتغ فيما أتاك الله الدار الأخرة ولا تنس نصيبك من الدنيا
"Dan carilah apa yang telah didatangkan oleh Allah kepadamu dari kampung akhirat dan janganlah engkau melupakan bagianmu dari dunia."
Melalui tafsirnya, Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat ini memerintahkan kepada kita untuk menggunakan berbagai anugerah dari Allah Swt. untuk meraih kebahagiaan di akhirat. Itu adalah hak Allah Swt. atas kita. Pada saat yang sama, kita tidak boleh lupa dengan hak kita di dunia, yakni makanan, pakaian, tempat tinggal, pernikahan dan sebagainya. Di samping itu juga menunaikan hak orang lain atas diri kita.
Merupakan suatu hal yang wajar jika kita mengupayakan untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia. Baik dalam memenuhi kebutuhan primer, sekunder, bahkan tersier. Kita juga berhak mendapatkan pasangan hidup serta semua yang dihalalkan bagi kita. Nah, di antara berbagai kesenangan dunia itu, ada empat hal yang akan membuat kita merasa bahagia jika memilikinya.
Rasulullah saw. telah menyampaikan hal ini dalam hadisnya,
أربعٌ من سَعادَةِ الْمرءِ أن تكونَ زوجتُه صالحةً وأولادُه أبْرارا وخُلطاءُه صالحِين ورِزقُه في بلده
"Empat hal yang termasuk kebahagiaan seseorang adalah: memiliki istri yang salihah, anak-anak yang baik, teman kerja yang baik, dan rezekinya di negeri sendiri." (HR. Ibnu Abi Ad-Dunya)
Suami mana yang tidak mendambakan istri yang salihah? Istri yang salihah akan membuat seorang suami merasa tenteram. Kehidupan rumah tangganya akan diliputi kebahagiaan sebab istri yang salihah akan menyenangkan hati jika dipandang, selalu taat dan menjaga diri serta hartanya.
Istri salihah akan membuat suami tenang saat pergi bekerja. Ia tidak merasa khawatir sedikit pun. Ia percaya dan yakin bahwa istrinya tidak akan mengkhianatinya dan senantiasa menjaga amanahnya.
Demikian pula dengan anak-anak yang baik. Anak-anak yang berakhlak mulia dan selalu berpegang teguh kepada agama. Anak-anak yang menjadi qurratu a'yun. Anak-anak yang akan mendoakan orang tuanya sehingga menjadi sumber pahala yang tak terputus.
Memiliki anak-anak seperti ini ibarat memiliki harta yang tidak ternilai. Terlebih lagi dalam kondisi seperti sekarang. Ketika anak-anak muda hanya disibukkan dengan urusan dunia dan lupa dengan akhiratnya.
Mempunyai partner kerja yang baik juga merupakan sebuah kebahagiaan. Betapa tidak? Partner yang baik tidak akan berkhianat. Ia akan bersikap amanah. Ia tidak akan menipu atau memperdaya rekan kerjanya.
Bekerja di negeri sendiri juga merupakan salah satu kebahagiaan sebab ia tidak akan terpisah dari keluarga. Ia bisa pulang ke rumahnya setiap hari. Ia juga tidak membutuhkan waktu lama untuk mencapai tempat kerjanya. Maka waktu yang dimilikinya di rumah akan lebih banyak. Hal ini akan memberinya kesempatan untuk memberikan perhatian dan pendidikan secara langsung kepada anak-anaknya. Di samping itu juga memudahkannya untuk menjalin keakraban dengan mereka.
Sayangnya, saat ini kebahagiaan semacam ini sulit dimiliki oleh sebagian besar masyarakat. Penerapan sistem hidup yang jauh dari Islam membuat hal ini sulit diwujudkan. Banyak suami yang diuji dengan istri yang tidak salihah. Istri yang tidak pandai bersyukur dan taat pada suami, istri yang sibuk mencari perhatian dari laki-laki lain. Akibatnya, banyak terjadi perselingkuhan bahkan perceraian hanya karena persoalan yang sepele.
Pendidikan yang sekuler juga telah membentuk generasi muda Islam yang tidak memahami agama mereka. Agama hanya sebatas status di KTP. Perilaku mereka jauh dari nilai-nilai agama. Mereka pun terjerumus dalam perbuatan yang dilarang agama. Membuka aurat, pergaulan bebas, mengonsumsi miras, narkoba, dan sebagainya.
Asas materialisme juga membuat orang hanya berpikir untuk mendapatkan materi sebanyak-banyaknya. Berbagai cara pun mereka lakukan untuk mengumpulkan sebanyak-banyaknya harta. Tak peduli jika hal itu akan merugikan pihak lain meskipun itu adalah sahabat atau bahkan kerabat sendiri. Sebab, yang terpenting bagi mereka adalah harta, harta, dan harta.
Sulitnya mencari penghidupan di negeri sendiri membuat orang harus bekerja di luar daerah. Bahkan banyak pula yang bekerja di luar negeri. Bukan hanya para suami, banyak pula para istri yang harus rela meninggalkan suami dan anak-anaknya untuk mencari nafkah di negara lain. Tidak jarang, rumah tangga mereka hancur karenanya. Anak-anak pun menjadi korbannya.
Demikianlah, mewujudkan kebahagiaan ternyata harus melibatkan negara. Negaralah yang menerapkan sistem kehidupan bagi masyarakat. Karena itu, kembalinya sistem hidup yang sesuai dengan aturan Allah Swt. adalah kebutuhan bagi manusia. Tidak hanya bagi kaum muslimin. Namun juga bagi umat manusia seluruhnya sebab hanya sistem hidup Islam yang akan menyebarkan rahmat ke seluruh alam. Wallaahu a'lam bishshawaab.[]