"Tinggal bersama al-hamwu tetaplah waspada karena ia bisa menjadi musuh dalam selimut yang setiap saat bisa mengancam jiwa. Pelaksanaan sesuai syariat memang berat karena sebagian besar masyarakat tidak paham tentang aturan Islam. Bekal iman yang kuat dan istikamah memegang syariat akan menjadi benteng bagi istri dalam rumah tangganya."
Oleh. Wening Cahyani
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Sebuah pepatah Jawa mengatakan “Witing tresna jalaran saka kulina” yang artinya munculnya cinta karena kebiasaan (bertemu/bersama). Ini bisa terjadi dan menimpa siapa saja, lebih-lebih di dalam atmosfer sekularisme dan liberalisme. Interaksi laki-laki dengan wanita tidak terjaga, aurat beredar di mana-mana, segala sesuatu yang beraroma porno mengitari di sekeliling kita. Benih-benih suka kepada lawan jenis tumbuh begitu subur. Praktik-praktik perselingkuhan dan perzinaan pun semakin banyak terjadi. Tidak jarang menimpa orang-orang yang masih kerabat tapi tinggal dalam satu rumah.
Dalam situasi yang sulit seperti saat ini, belum mapan dan memiliki rumah sendiri menjadi alasan pasangan suami istri masih tinggal bersama orang tua dan kerabat lainnya. Bahkan ada yang berpijak pada tradisi di Jawa dan percaya pada mantra “Mangan ora mangan asal kumpul” artinya makan tidak makan asal mereka berkumpul dengan keluarga. Maka tidak heran, jika satu rumah milik orang tua kadang ditempati dua atau lebih keluarga. Mereka beraktivitas di satu rumah yang dibagi dalam beberapa kamar. Interaksi pun tidak dapat dielakkan lagi.
Bermula dari hidup bersama di bawah satu atap inilah prahara keluarga bisa terjadi. Sedikit demi sedikit benteng rumah tangga bisa retak. Ilmu dan pemahaman tentang kerumahtanggaan pasca pernikahan yang belum disiapkan bisa menambah runyam permasalahan rumah tangga. Seseorang yang telah menikah tentu akan bertambah kerabatnya dari keluarga pasangannya, baik mertua, ipar, kakek, nenek, paman, bibi maupun kerabat yang lainnya. Namun, di tengah masyarakat umumnya mertua dan ipar inilah yang biasanya tinggal dalam satu rumah. Jika pasangan suami istri sudah memiliki rumah sendiri, dengan berbagai alasan ipar mereka baik dari istri maupun suami diajak tinggal di rumahnya.
Berkaitan dengan ipar ini, Rasulullah saw. jauh-jauh hari telah mengingatkan: “'Berhati-hatilah kalian untuk menemui wanita.' Lalu seorang laki-laki Anshar berkata, 'Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat Anda mengenai al-hamwu?' Beliau menjawab, 'Al-hamwu adalah kematian'.” (HR Bukhari & Muslim).
Kesepakatan para ahli bahasa bahwa al-hamwu adalah kerabat suami seperti ayahnya suami, pamannya suami, saudaranya suami, keponakannya suami, sepupunya suami, dan sebagainya. Kemudian, menurut Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim, ketika menerangkan hadis ini berkata: “Al-hamwu adalah kematian memiliki makna kekhawatiran darinya lebih banyak daripada selainnya, keburukan bisa terjadi darinya, dan fitnah lebih banyak terjadi karena lebih besar kemungkinannya dia bisa sampai kepada perempuan dan berduaan (berkhalwat) dengannya tanpa ada yang mengingkarinya.”
Al-Qadhi mengatakan, "Makna al-khalwat atau berduaan dengan ahma (ipar dan lain-lain) akan mengantarkan pada fitnah dan kehancuran pada agama, maka Rasulullah saw. menjadikannya seperti kehancuran karena kematian.”
Ipar bukanlah mahram abadi maka interaksi dengannya harus dijaga. Ia bisa menjadi musuh dalam selimut yang setiap saat bisa menyerang dan membawa pada kematian. Namun, dalam tata kehidupan yang sudah mengabaikan nilai-nilai agama justru akan menganggap lumrah istri berboncengan dengan ipar laki-laki. Mereka berbincang, bercanda, dan berakrab-akrab dalam kondisi berduaan. Bahkan, dianggap biasa saja ketika istri di rumah menampakkan auratnya (rambut, lengan, kaki) kepada iparnya.
Akan tetapi sebaliknya, jika istri taat kepada agama dan menjaga pergaulan serta melindungi auratnya dari laki-laki selain mahramnya, ia akan dianggap aneh dan sok alim. Begitulah pemahaman Islam kafah dalam diri umat yang sudah luntur. Mereka tahu Islam sekadar ibadah ritual. Itu pun sebagian mereka belum seratus persen mengerjakannya. Mereka buta tentang tata aturan pergaulan Islam termasuk interaksi dengan ipar.
Islam memang tidak melarang istri tinggal bersama ipar dalam satu rumah. Namun, ada rambu-rambu yang harus diperhatikan. Adapun rambu-rambu yang harus diperhatikan tersebut di antaranya adalah:
Pertama, memiliki kamar privasi yang harus dijaga, tidak boleh ipar secara sembarangan keluar masuk kamar istri. Demikian juga istri, tidak boleh memasuki kamar ipar dengan sembarangan.
Kedua, istri tidak boleh berkhalwat dengan iparnya, terutama manakala suami tidak di rumah. Misalnya istri diantar ipar beli sesuatu di toko. Larangan ini telah jelas oleh Rasulullah saw.: “Janganlah salah seorang di antara kalian berduaan dengan seorang wanita yang bukan mahramnya karena sesungguhnya pihak yang ketiganya adalah setan." (HR at-Tirmizi dan al-Hakim).
Ketiga, tetap menjaga aurat secara sempurna kecuali muka dan telapak tangan. Ipar juga harus menjaga auratnya, kendatipun ia laki-laki, tetap harus menjaga kesopanan dalam berpakaian.
Keempat, keduanya hendaknya menjaga pandangan dan jika ada getaran-getaran rasa suka, maka ipar harus “diungsikan” ke tempat lain demi menjaga keberlangsungan biduk rumah tangga.
Apapun alasannya, tinggal bersama al-hamwu tetaplah waspada karena ia bisa menjadi musuh dalam selimut yang setiap saat bisa mengancam jiwa. Pelaksanaan sesuai syariat memang berat karena sebagian besar masyarakat tidak paham tentang aturan Islam. Bekal iman yang kuat dan istikamah memegang syariat akan menjadi benteng bagi istri dalam rumah tangganya terlebih lagi adanya dukungan benteng dan perisai umat berupa negara yang menerapkan Islam secara kafah.
Allahu a’lam[]
Photo : Pinterest