Mereguk Kenikmatan dengan Menuntut Ilmu Agama

"Kelezatan serta kenikmatan yang hakiki tidaklah ada pada makanan, tidur, minuman, hubungan badan, atau kenikmatan jasmani lainnya yang mana hal itu juga dapat dirasakan oleh hewan. Namun, kelezatan dan kenikmatan itu terletak hanya pada ketaatan serta ibadah kepada Sang Khalik."

Oleh. Aya Ummu Najwa

NarasiPost.Com-Menuntut ilmu bagi seorang mukmin bukanlah sebuah kegiatan sampingan semata. Menuntut ilmu adalah sebuah kewajiban, baik bagi muslim laki-laki maupun perempuan. Ia tidak bisa dikerjakan secara sambilan, jika sempat maka dilakukan, namun jika tidak sempat maka ditinggalkan. Yang demikian tidaklah benar. Manusia butuh akan ilmu, dan ilmu adalah kebutuhan manusia sehari-hari. Bahkan ilmu adalah penentu kualitas ibadah serta kehidupan manusia di hadapan Allah subhanahu wa ta'ala.

Dalam surah Al-Mulk ayat 2, Allah berfirman bahwa Allah-lah yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji manusia, siapa di antara mereka yang terbaik amalannya. Maka para ulama menafsirkan bahwa maksud dari amalan yang terbaik adalah amalan yang dikerjakan dengan ikhlas dan juga benar tata caranya. Ikhlas adalah apabila dilakukan semata-mata karena Allah saja, sementara maksud dari benar adalah dengan mengikuti apa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Akan tetapi, bagaimana seseorang akan dapat mencapai keikhlasan dan tata cara yang benar sesuai tuntunan Rasulullah jika ia tidak menuntut ilmu?

Rasulullah pun pernah bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim bahwa, "Siapa saja yang dikehendaki oleh Allah kebaikan, maka Allah akan memahamkan ia dengan ilmu agama." Para ulama pun telah menerangkan akan hadis ini bahwa paham terhadap ilmu agama adalah syarat mutlak untuk menjadi manusia yang baik di hadapan Allah maupun manusia. Karena sesungguhnya tidaklah mungkin kebaikan akan dapat diraih tanpa pemahaman ilmu agama.

Menuntut ilmu agama adalah kebutuhan bagi setiap manusia. Dan jika manusia bersungguh-sungguh dalam upaya menuntut ilmu, Allah pasti akan memberi pertolongan dan kemudahan. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, "Barangsiapa yang menempuh jalan dalam rangka menuntut ilmu agama, maka Allah akan memudahkan jalan menuju surga baginya dengan sebab-sebab itu." Karena setiap manusia membutuhkan pertolongan Allah agar dapat tetap istikamah hingga akhir kehidupannya. Namun, istikamah ini pun hanya bisa diraih dengan pahamnya manusia terhadap ilmu agama.

Ilmu syar'i laksana air hujan yang menyirami tandusnya bumi. Allah menganugerahkan kepada bumi manfaat air hujan itu agar kembali hidup setelah kekeringan dan hampir mati. Begitu pun ilmu agama, ia akan menjadi kehidupan bagi manusia yang mempelajari dan mengamalkannya. Begitulah Rasulullah mengibaratkan ilmu untuk manusia. Dalam hadis yang juga diriwayatkan oleh Imam Muslim no. 6093, ”Permisalan apa yang diturunkan oleh Allah kepadaku berupa petunjuk dan ilmu itu, laksana air hujan (ghaits) yang turun ke bumi."

Dalam hadis tersebut, beliau shallallahu 'alaihi wasallam mengumpamakan ilmu sebagai ghaits yang berarti air hujan yang bermanfaat. Dalam lanjutannya, hadis ini menggambarkan bahwa hujan tersebut jatuh ke atas berbagai jenis tanah. Di antaranya adalah tanah yang mau menerima ilmu, sehingga manusia dapat meminum dengan puas darinya dan menumbuhkan rerumputan serta tanaman yang banyak. Begitu pula dalam makna pengibaratan ilmu dengan hujan, bahwa ilmu tersebut menghidupkan jasad dan hati (jiwa) dengan berbagai ketaatan. Dan inilah persamaan antara hujan dan ilmu syar’i.

Faedah penggunaan kata ghaits dan bukan mathar dalam ilmu tafsir untuk memaknai air hujan yang bermanfaat. Sementara kata mathar (air hujan) sebagian besar digunakan untuk memaknai air hujan yang turun sebagai tanda bencana serta malapetaka. Contoh digunakannya ghaits adalah firman Allah dalam surah Yusuf ayat 49 berikut ini:

ثُمَّ يَأْتِي مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ عَامٌ فِيهِ يُغَاثُ النَّاسُ وَفِيهِ يَعْصِرُونَ

”Kemudian setelah itu akan tiba tahun ketika manusia diberi hujan (dengan cukup) dan pada masa itu mereka memeras anggur."

Sementara itu, contoh penggunaan kata mathar adalah firman Allah dalam surah An-Naml ayat 58:

وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهِمْ مَطَرًا فَسَاءَ مَطَرُ الْمُنْذَرِينَ

”Dan Kami turunkan hujan kepada mereka (hujan batu), maka teramat buruklah hujan yang diturunkan kepada orang-orang yang diberikan peringatan tersebut."

Jika hari ini kita menyaksikan betapa banyak orang yang menghadiri konser-konser musik atau pertandingan olahraga, maka sesungguhnya di masa lalu ketika Islam diterapkan sempurna dalam sebuah negara yang mendukung dan mendorong perkembangan ilmu syar'i, para ulama salaf begitu semangat memenuhi majelis-majelis ilmu. Mereka mencoba mereguk dan memperoleh kelezatan serta kenikmatan dalam kesejukan taman-taman surga. Karena mereka telah dapat mengenali kelezatan itu dan mereka dapat mereguknya.

Karena pada hakikatnya, kelezatan serta kenikmatan yang hakiki tidaklah ada pada makanan, tidur, minuman, hubungan badan, atau kenikmatan jasmani lainnya yang mana hal itu juga dapat dirasakan oleh hewan. Namun, kelezatan dan kenikmatan itu terletak hanya pada ketaatan serta ibadah kepada Sang Khalik. Begitu pun kenikmatan menuntut ilmu, yakni kenikmatan yang hanya dapat dirasakan oleh hati serta ruh orang-orang yang beriman, bukan makhluk lain.

Al-Imam Asy-Syathibi rahimahullah berkata dalam Al-Muwafaqat, bab 1 hal. 67, "Bagi orang yang beriman kepada Allah, kelezatan ilmu syar'i adalah kelezatan terbesar. Nikmatnya adalah kenikmatan yang terbesar. Manisnya melebihi semua rasa manis yang ada. Rasanya lebih lezat dari segala rasa. Para ahlinya adalah orang-orang yang berbahagia juga bergembira. Para ahli ilmu adalah orang-orang yang memperoleh kenikmatan. Dengan memahami permasalahan agama, manusia akan mendapatkan kelezatan yang tiada bandingnya."

Dalam kitab Ijtima’ Al Juyuus Al Islamiyyah, hal. 2/33 (Maktabah Syamilah), Ibnul Qayyim rahimahullah  pun berkata, "Nikmat terbagi menjadi dua, yaitu nikmat muthlaqah yakni nikmat yang bersifat mutlak dan nikmat muqayyadah yaitu nikmat yang bersifat relatif. Nikmat muthlaqah merupakan nikmat yang dapat mengantarkan kepada kebahagiaan yang abadi, yaitu nikmat iman Islam. Nikmat inilah yang Allah wajibkan manusia untuk memintanya dalam doa, agar Allah menunjukkan jalan orang-orang yang telah Allah anugerahkan nikmat tersebut."

Dan sungguh, para ulama terdahulu telah memahami akan hal ini. Mereka telah mereguk kelezatan dan kenikmatan itu, dengan mengecap dan menikmati lembaran-lembaran kitab-kitab, menghafal hadis, menggali hukum-hukum Islam demi kemaslahatan umat, menulis kitab yang menjadi petunjuk umat saat ini, juga derita dan kesusahan dalam menempuhi jalan ilmu. Sungguh, kelezatan itu lebih besar dan tak dapat disamai oleh kenikmatan bagi mereka para pelaku maksiat dan penikmat kemaksiatan, serta segala macam perhiasan dunia.

Kembali Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Miftaah Daaris Sa’aadah, 1/142 (Maktabah Syamilah), ”Barangsiapa yang tidak dapat mereguk kelezatan ilmu serta syahwat (ketertarikan) terhadap ilmu di atas kelezatan jasad dan nafsu syahwatnya, maka dia sama sekali tidak akan dapat meraih derajat ilmu. Jika syahwatnya tertuju hanya pada ilmu dan kelezatannya tertuju hanya pada meraih ilmu tersebut, maka dapat diharapkan bahwa dia termasuk dalam golongan ahli ilmu. Kelezatan thalabul ilmi adalah kelezatan bagi akal juga ruh, sama jenisnya dengan kelezatan (yang dirasakan) oleh para malaikat. Sedangkan kelezatan syahwat, minuman, makanan, juga hubungan badan, merupakan kelezatan khayawaniyyah (kebinatangan), di dalamnya terdapat persekutuan antara manusia juga hewan."

Wallahu a'lam.[]


Photo : Pinterest

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Aya Ummu Najwa Salah satu Penulis Tim Inti NP
Previous
Menakar Ulang Arah Kebijakan Pemerintah terkait Gelombang Ketiga Pandemi Covid-19 K
Next
Isu Islam Membolehkan KDRT, Salah Kaprah Memahami Syariat
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram