Orkestrasi Penguasa dalam Nyanyian Islamofobia

"Publik jengah dengan orkestrasi usang ala pemerintah yang terus menyuguhkan radikalisme sebagai menu utama. Bisa jadi publik percaya bahwa radikalisme dan teror itu ada, namun itu bukanlah problem utama yang membelit bangsa. Apalagi jika tuduhan itu di alamatkan pada ajaran dan simbol agama tertentu (Islam), tentu ini adalah tuduhan yang sangat keji."

Oleh. Ummu Zamzama
(Forum Hijrah Kafah)

NarasiPost.Com-Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komjen Boy Rafli Amar, menyebut ada 199 pondok pesantren terpapar paham teroris. Hal itu disampaikan Kepala BNPT, Komjen Boy Rafli Amar dalam rapat dengan Komisi III DPR, Selasa (25/1).

Boy mengungkap, dari total 199 pesantren tersebut, 11 di antaranya terafiliasi dengan jaringan organisasi teroris Jamaah Anshorut Khilafah (JAK), 68 pesantren terafiliasi dengan Jemaah Islamiyah (JI), dan 119 terafiliasi dengan Anshorut Daulah atau simpatisan ISIS.

Nyanyian Islamofobia

Sebelum nyanyian pesantren radikal ini dirilis, Direktur Keamanan Negara Badan Intelijen Keamanan Mabes Polri, Brigjen Pol. Umar Effendi, menyatakan bahwa Polri berencana memetakan masjid-masjid di Indonesia guna mencegah tindakan ekstremisme dan terorisme. Tak hanya itu, BNPT juga pernah merilis soal temuan 600 akun media sosial yang terindikasi radikal. Akun-akun tersebut langsung di- take down karena dinilai membahayakan.
Radikalisme, ekstremisme, dan terorisme seakan menjadi tagline utama sejak pemerintahan Jokowi. Ketiganya bagaikan arransemen program kerja pemerintah, berkolaborasi dengan alunan moderasi yang sangat nyaring diperdengarkan.

Alunan moderasi pun datang dari kalangan politisi parpol yang berbasis massa Islam. Ketua Umum PAN, Zulkifli Hasan, menyatakan bahwa Islam jalan tengah perlu menjadi pijakan dalam berbangsa dan bernegara. Islam tengah adalah perwujudan Islam yang mengedepankan moderasi. Melihat situasi Indonesia saat ini, dirinya mengajak umat Islam memperkuat spirit Islam pertengahan. Aktor-aktor politik kebangsaan Islam harus berpegang teguh pada nilai-nilai Islam tengah dan menghindarkan diri dari godaan yang mencoba menawarkan konsep khilafah. (republika.co.id, 29/1)

Antara program penanganan radikalisme dan program moderasi memang setali tiga uang. Pengarusan moderasi beragama bahkan kian menegaskan bahwa dalam perspektif penguasa, gagasan khilafah adalah marabahaya karena menginspirasi tindak radikalisme dan aksi-aksi teror bagi persatuan dan kesatuan bangsa.

Karenanya, pemerintah berupaya meraih dukungan publik untuk melawan bahaya radikalisme dan terorisme ini hingga ke akar-akarnya. Caranya, melalui penderasan arus moderasi beragama, dari PAUD hingga mahasiswa, bahkan kalangan pesantren. Merangkul intelektual, cendekiawan, bahkan ulama agar ide moderasi kian dipercaya masyarakat.

Rabun Akar Persoalan

Ada baiknya kita introspeksi diri dan penglihatan, baik mata fisik maupun mata batin. Benarkah persoalan utama bangsa ini dikarenakan Islam? Pandemi berjilid-jilid, ekonomi ambruk, utang negara kian menumpuk, semua karena Islam radikal? Apa iya, kisruh minyak goreng, kisruh IKN, dan beragam kasus KKN juga karena gagasan khilafah?

Rasanya sulit dipercaya publik logika-logika semacam ini. Publik jengah dengan orkestrasi usang ala pemerintah yang terus menyuguhkan radikalisme sebagai menu utama. Bisa jadi publik percaya bahwa radikalisme dan teror itu ada, namun itu bukanlah problem utama yang membelit bangsa. Apalagi jika tuduhan itu di alamatkan pada ajaran dan simbol agama tertentu (Islam), tentu ini adalah tuduhan yang sangat keji.

Semua nyanyian itu hanyalah ‘ikhtiar’ untuk menutupi ketidakbecusan penguasa dalam mengatur urusan rakyatnya. Dan semua itu hanyalah klaim belaka untuk membenarkan argumen tentang urgensitas ‘perang’ melawan gagasan khilafah. Padahal, Islam kaffah yang dituding jadi biang masalah nyatanya tidak sedang diterapkan sebagai aturan kehidupan, apalagi menjadi bagian perundang-undangan. Dari sini, publik bisa menilai bahwa sengkarut bangsa ini bukanlah karena Islam. Bukan. Justru jauhnya jarak antara Islam dan umatlah yang menyebabkan masalah semakin beraneka ragam.

Rezim selalu menganggap bahwa kelompok islamis sebagai ancaman dan pemecah belah persatuan lantaran mendukung syariat Islam dalam negara. Anggapan semacam ini tak lain hanyalah prasangka buruk yang membabi-buta. Nyanyian islamofobia yang diorkestrai oleh elite politik justru meracuni prinsip demokrasi itu sendiri, sebagai landasan bernegara yang mereka anut dan yakini.

Umat Islam Jangan Terbawa Oskestra

Seharusnya, penguasa mampu menahan segala prasangka tak beralasan terhadap umat Islam yang mendukung syariat Islam hingga terjadi dialog yang sehat dan intelek di mimbar yang luas. Bukankah para founding fathers negeri ini sebagiannya adalah para ulama yang mendukung syariat Islam? Dan bukankah, negeri ini telah mengenal dan menerapkan Islam secara damai melalui berbagai Kesultanan bahkan dimulai jauh sebelum hadirnya NKRI?

Sudah waktunya publik menyadari bahwa prasangka seperti ini tak lain berasal dari mindset sekularisme yang menyelimuti atmosfer berpikir dan meracuni paradigma pengambilan kebijakan sehingga muncul islamofobia di mana-mana. Parahnya, islamofobia terjadi secara hiperbolis, tidak sekadar terhadap aktivitas ibadah ritual umat Islam, tetapi juga simbol-simbol dan ajaran agama Islam. All about Islam. Ini jelas tidak adil bahkan dalam kacamata yang paling demokratis sekali pun.

Fenomena ini juga tidak bisa dilepaskan dari ketakutan luar biasa terhadap kebangkitan politik Islam dan derasnya wacana Khilafah yang sedang mendapatkan support dari masyarakat. Oleh karena itu, dibutuhkan adanya elemen masyarakat yang terus mengedukasi publik agar menghalau dan melawan narasi islamofobia di tengah-tengah dan di sekeliling mereka, baik melalui stigma maupun label tertentu.

Edukasi adalah penyadaran terbaik, tentunya melalui langkah diskusi-diskusi ilmiah dan aksi-aksi non-kekerasan. Hadirnya kelompok masyarakat yang terus menghalau mindset islamofobia bertujuan agar tidak terjadi friksi horizontal maupun polarisasi masyarakat. Upaya ini mungkin memerlukan tenaga ekstra karena islamofobia telah mengakar kuat di masyarakat.

Namun, ada satu keyakinan kaum muslim bahwa segala bentuk tipu daya dan permusuhan terhadap Islam dan pemeluknya endingnya tidak pernah sukses. Sebab ada tangan Allah yang turut menjaga dan memenangkan agama-Nya. Dan pertarungan ini harus dilihat bukan sebagai pertarungan antarsesama manusia, melainkan antara keimanan melawan kekufuran.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

وَمَكَرُوا وَمَكَرَ اللَّهُ ۖ وَاللَّهُ خَيْرُ الْمَاكِرِينَ

“Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya. ” [TQS. Ali Imran:54][]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Ummu Zamzama Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Gelombang Self Diagnosis Mencuatkan Tren Pamer Mental Illness
Next
Kunci Sakinah Berbiduk Rumah Tangga
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram