Kunci Sakinah Berbiduk Rumah Tangga

"Ketenteraman atau sakinah dalam rumah tangga sebenarnya bukan karena monogami atau poligami. Namun, dominan karena aturan Islam yang menempatkan suami istri memiliki hak dan kewajibannya, sehingga bisa saling memahami untuk sama-sama berbiduk bahtera rumah tangga yang harmonis dan ideologis."

Oleh: Maman El Hakiem

NarasiPost.Com-Menikah merupakan separuh agama. Banyak implementasi hukum syariat setelah melalui pintu pernikahan. Selain menjaga garis keturunan (nasab), menikah melahirkan kekerabatan dan kemahraman. Karena pintu pernikahan pula, hukum harta waris bisa dijalankan secara sempurna. Karakter keibuan (feminitas) bagi seorang wanita dan kebapakan (maskulinitas) bagi laki-laki juga berasal dari hubungan pernikahan. Ketika pasangan suami istri telah memiliki anak, akan memunculkan naluri keayahbundaan karena tertanamnya rasa kasih sayang terhadap anak buah hatinya.

Kekerabatan yang terjalin karena pernikahan menguatkan rasa persaudaraan yang lebih dari sebelumnya. Di sini pentingnya untuk menjaga keharmonisan dalam rumah tangga agar tercipta rasa tenteram dan bahagia. “….Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.” (QS Ar Rum: 21).

Syaikh Taqiyuddin An Nabhani dalam Kitab “Nidzomul Ijtimai”, menjelaskan makna as-sakn adalah al ithmi’nan (ketenteraman). Dalam hal ini pernikahan harus menjadikan suami dan istri sama-sama merasa dekat dan tenteram, tidak saling curiga dan menjauh. Banyaknya kasus perceraian di negeri ini, apalagi di masa pandemi, akar masalahnya karena disharmoni kehidupan rumah tangga yang tidak sejalan dengan tuntunan Islam, kekerasan seksual, tuntutan ekonomi yang tinggi dan hilangnya rasa tenteram karena disposisi peran suami istri dalam berumah tangga. Syariat Islam telah mengatur kehidupan suami dan istri dengan memberikan hak dan kewajibannya masing-masing sebagaimana telah dicontohkan Rasulullah saw.

Hikmah Rumah Tangga Rasulullah

Jika kita bercermin dari kehidupan rumah tangga Rasulullah saw., tentu banyak sekali ibrah dan hikmah yang dapat dipetik, baik menyangkut teladan dalam mengatasi problem rumah tangga maupun hukum syariat yang dijalankan dari poligaminya. Bagi sebagian kalangan, terutama yang dangkal pemikirannya, bahkan terkontaminasi pemikiran sekularisme yang liberal, akan berpandangan kehidupan rumah tangga Rasulullah di luar kenormalan, seolah hanya untuk memenuhi naluri jinsiyah berkenaan dengan syahwat semata.

Padahal, poligami dalam syariat Islam tujuannya justru untuk membatasi istri, yang dicukupkan sampai empat bagi umatnya. Adapun Rasulullah memiliki kekhususan lebih dari empat, karena alasan syariat di kemudian hari bagi umatnya menjadi solusi atas berbagai perkara semisal tentang status anak angkat yang tidak memperoleh hak waris, kebolehan menikahi saudara sepupu dan kesetaraan (kafaah) yang tidak boleh dijadikan syarat untuk menikah.

Kehidupan rumah tangga Rasulullah sangat harmonis, sekalipun memiliki banyak istri dengan berbagai latar kehidupannya. Beliau adalah suami setia karena mampu bertahan dengan istrinya yang mulia Khadijah selama 28 tahun hingga akhir hayatnya. Padahal, adat kebiasaan masyarakat jahiliah kala itu poligami dengan banyak istri dan para wanita yang senang bersolek banyak menggodanya. Rasulullah justru bertahan dengan kesetiaannya, maka hal yang aneh jika menganggap pernikahan beliau dengan wanita lain sepeninggalnya Khadijah sebagai aib. Pada usia 50 tahun beliau meminang Aisyah binti Abu Bakar, lalu Saudah binti Zam’ah.

Ada dua sisi yang yang menarik dari dua istri Rasulullah ini, Aisyah adalah putri dari sahabatnya yang setia dalam dakwah, yaitu Abu Bakar, berparas cantik dan kuat ingatannya sehingga mampu menghafal banyak hadis. Sementara Saudah, janda dari mendiang Sukrn ibn Amr ibn Abdi Syam yang dipaksa pindah agama oleh suaminya. Motif pernikahannya jelas untuk mengangkat harkat seorang wanita yang telah bersikap tegar menjadikan Islam sebagai pilihan dalam hidupnya.

Pun pernikahan Rasulullah dengan istri yang lainnya seperti Juwairiyah binti Al Harits setelah peperangan Bani Musthaliq, tidak lain merupakan hamba sahaya yang dimiliki pemimpin yang ditaklukkannya, tentu untuk menjaga kekerabatan dengan pemimpin kabilah yang telah masuk Islam. Fenomena menarik juga ketika Rasul menikahi Zaynab binti Jahsyi, janda dari Zayd yang merupakan maula atau hamba sahaya beliau, hal ini untuk mematahkan hukum jahiliah yang melarang menikahi mantan istri dari budaknya, selain juga menghilangkan syarat kafaah (kesetaraan). Karena syariat Islam menilai kedudukan manusia hanya berdasarkan ketakwaan, bukan kesetaraan berupa status sosial maupun harta kekayaannya.

Kunci Sakinah dalam Rumah Tangga

Ketenteraman atau sakinah dalam rumah tangga sebenarnya bukan karena monogami atau poligami. Namun, dominan karena aturan Islam yang menempatkan suami istri memiliki hak dan kewajibannya, sehingga bisa saling memahami untuk sama-sama berbiduk bahtera rumah tangga yang harmonis dan ideologis. Posisi suami tetap sebagai pemimpin dalam keluarga karena fitrahnya, “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita.” (QS An Nisa: 34).

Namun, gaya kepemimpinan suami dalam rumah tangga harus mencerminkan sikap seorang sahabat yang penuh kehangatan, bukan seperti pemimpin perusahaan yang menganggap istri sebagai bawahan. Islam telah memosisikan istri sebagai sahabat sejati untuk berbagi tugas dalam menjalankan ketaatan pada hukum syariat, misal sama-sama menjalankan kewajiban untuk berdakwah. Seorang istri harus selalu memotivasi suami untuk giat berdakwah, selain menunaikan nafkahnya. Begitupun sebaliknya seorang suami harus memberikan kesempatan agar istrinya bisa nyaman dalam menjalankan syariat, selain mengurus rumah tangga dalam kesehariannya.

Inilah kunci sakinah, yaitu adanya hubungan suami istri laksana sahabat karib yang saling menguatkan dan merasa tenteram karena dihiasi rasa cinta dan kasih sayang. Rasulullah saw. telah mencontohkan makna sakinah yang sesungguhnya, yaitu dengan memperlakukan istri-istrinya dengan baik, sekalipun posisi beliau sebagai Nabi dan pemimpin negara dengan segala kesibukan dakwahnya. Tentu, semua memberikan rasa bahagia karena sistem kehidupan yang diterapkan adalah syariat Islam yang berasal dari Allah Swt.
Wallahu’alam bish shawwab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com
Maman El Hakiem Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Orkestrasi Penguasa dalam Nyanyian Islamofobia
Next
Kisruh HET Minyak Goreng, Siapa Yang Diuntungkan?
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram