"Semua yang kukatakan pada si sulung adalah kutujukan juga untuk diriku sendiri. Menguatkannya sekaligus menguatkanku juga. Merangkulnya dalam cinta. Menerima setiap kekurangan dan mencintai setiap bagian dari dirinya adalah cinta yang bisa kita berikan untuknya, si istimewa."
Oleh. Deena Noor
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Seperti biasa, pagi itu aku kembali ke rumah usai mengantar bungsuku sekolah. Jarak rumah ke sekolah yang dekat cukup ditempuh dengan berjalan kaki. Lebih sehat dan hemat tentunya. Ah, ini sih alasan karena memang tak punya kendaraan sendiri. Hehehe…
Beberapa menit keluar dari gerbang sekolah, aku berbelok ke jalan yang biasa kulewati. Kupilih jalan ini karena lebih teduh dengan banyaknya pepohonan besar. Walau masih pagi, sinar mentari sudah cukup menyengat. Lumayanlah dengan berjalan di bawah rindangnya dedaunan supaya keringat tak bercucuran.
Dari kejauhan kulihat dua sosok pria berjalan beriringan. Tampak mereka seperti sempoyongan. Bukan karena mabuk sih pikirku. Masa pagi-pagi seperti ini ada orang mabuk, berkeliaran pula?! Tak mungkin, ah!
Aku terus berjalan hingga jarakku dengan kedua pria itu semakin dekat. Oh, ternyata bukan sempoyongan sih mereka, tapi lebih seperti jalan mereka tidak lurus saja. Sebentar ke pinggir, sebentar ke tengah, macam orang labil. Tapi, kenapa bisa begitu ya?
Jangan-jangan mereka lagi sakit dan mau pingsan! Semoga tidak karena jalanan ini sepi sekali. Kalau mereka pingsan siapa yang mau menolongku?! Lho, kok?! Maksudnya nanti siapa yang menolongku untuk menolong mereka berdua kalau pingsan. Ah, sudahlah. Jangan berpikir aneh-aneh, lekaslah jalannya biar cepat sampai di rumah!
Makin dekat jarakku dengan kedua pria tadi, sedikit lebih jelas sosok mereka. Tak ada yang aneh dari mereka berdua, kecuali mungkin cara jalan mereka yang begitu cuek. Tanpa tengok kanan dan kiri, seolah tak memedulikan sekitar dan mereka terus saja berjalan.
Sampailah kami hendak berpapasan, dan yang kulihat berikutnya sungguh membuatku terenyuh. Ternyata, salah satu pria itu buta kedua matanya! Ia penyandang tunanetra. Dengan penuh kepasrahan ia letakkan tangannya di pundak kanan temannya. Sementara, pria yang tak buta itu melangkah pelan menyesuaikan langkah pria buta di sampingnya. Kulihat tangan kirinya menenteng plastik besar yang berisi kerupuk atau keripik jualan, mungkin. Entahlah…
Pemandangan itu amat mengiris hatiku. Demi melihat mereka berdua, kedua kelopak mataku langsung memanas. Sudut-sudutnya tiba-tiba telah mengembun siap menurunkan gerimisnya. Kucegah sekuat tenaga agar air mataku tak benar-benar menitik. Tak lucu bila aku menangis di tengah jalan seperti itu.
Beberapa detik kemudian, kami pun berpapasan. Dan… air mata yang kutahan sedari tadi, seketika langsung mengalir tanpa permisi. Buru-buru kuhapus. Aku menangis melihat mereka berdua. Sungguh iba…
Gerangan apa yang membuat mereka berjalan-jalan seperti itu sambil membawa sebungkus besar makanan? Apakah mereka tengah berjualan? Tapi kenapa tak menawarkan dagangannya? Apa mereka sudah makan? Apa mereka masih punya orang tua? Di mana rumah mereka? Sudah seberapa jauh mereka berjalan? Beribu tanya dalam hati membuatku kian merasa pilu membayangkan kehidupan seperti apa yang mereka jalani.
Saat itu juga bayangan kedua putraku terlintas. Piluku tak mampu berkata. Putra bungsuku juga memiliki keterbatasan. Ia tak seperti individu lainnya. ASD (Autism Spectrum Disorder) membuatnya kesulitan menjalani hidup di dunia manusia normal.
Hati orang tua mana yang tak sedih melihat anak-anaknya dalam kondisi susah. Apalagi bila ada yang mengalami keterbatasan fisik seperti pria itu. Bagaimana mereka akan menjalani kehidupan yang keras ini? Sedangkan bantuan tak selalu siap sedia. Jaminan keselamatan serba tak pasti. Bagaimana bila ada orang jahat yang mengganggu anak-anak yang memiliki ragam kesulitan ini? Siapa yang akan menolong dan membela mereka?
Syukurlah bungsuku punya kakak yang luar biasa, setidaknya menurutku. Sulungku adalah anak yang pengertian dan penyabar. Hampir tak pernah aku melihatnya marah. Seingatku tak pernah malah. Bila ia kesal dengan adiknya yang sedang "berulah" biasanya ia akan menyingkir sementara waktu. Kadang jika kondisinya tenang, ia akan ikut membantuku menenangkan adiknya yang tantrum. Ia banyak menolongku dalam merawat adiknya yang istimewa.
Bukan karena aku ibunya, hingga kupuji dirinya. Tidak juga. Ia seperti anak pada umumnya, sesekali nakal walau di taraf yang masih normal. Ia juga sering merasa lelah, kesal dan emosi, namun tak pernah ia luapkan. Sulungku tipe yang tenang dan tak suka keributan. Ia suka mengalah dan mendahulukan orang lain, terutama pada si adik. Ia tahu bahwa adiknya spesial sehingga ia berusaha memaklumi keadaannya. Ia tetap mencintai adiknya seperti biasa.
Suatu hari pernah aku bertanya pada sulungku, malukah ia punya adik seperti adiknya. Ia menjawab tidak malu sama sekali. Kutanyakan kenapa tidak malu dan ia bilang, "Ya, karena dia adikku yang diberikan oleh Allah.” Just like that. The love of autism sibling is simply unconditional!
Beberapa temannya pernah bertanya tentang si adik. Ia jelaskan sesuai dengan pemahaman anak-anak seusianya. Ia tak pernah merasa minder. Keberadaan adiknya yang "berbeda" tak membuatnya rendah diri. Bahkan, ia sering membuat video atau postingan yang berkaitan dengan individu spesial seperti adiknya.
Aku bersyukur sekali putra sulungku amat mengerti dengan keadaan yang ada. Meski adiknya kesulitan dalam berinteraksi dan berkomunikasi, namun mereka masih bisa saling bercanda. Tertawa dan mendengarkan musik bersama, jalan-jalan ke sawah, makan buah kesukaan, atau sekadar tidur-tiduran di kasur sambil berceloteh merupakan kebersamaan sulungku dengan adiknya.
Aku sendiri sering mengatakan pada sulungku untuk sabar menghadapi adiknya. Jangan pernah dimasukkan ke hati apa pun yang adik lakukan sebab ia tak paham dengan aturan dunia ini. Sabarlah, sabarlah, dan sabarlah. Sebab, itulah kunci keberhasilan dan kebahagiaan dalam setiap keadaan.
Kami berbicara dari hati ke hati. Berbagi keyakinan dan harapan tentang betapa beruntungnya punya adik istimewa. Adik adalah penghuni surga yang turun sebentar ke bumi untuk kakaknya, orang tuanya, keluarganya, dan siapa saja yang dengan tulus mencintainya. Bila kondisi begitu sulit, bila adik membuat jengkel, bila adik nakal, bila adik menyusahkan, bila adik seperti tak bisa apa-apa, bila adik berisik dan membuat tak bisa tidur, tetaplah bersamanya. Tetap cintailah adik dengan apa adanya.
Bahwa adiknya tak sama dengan adik-adik orang lain, jangan sampai membuatnya berkecil hati. Justru itu tanda bahwa ia juga kakak yang istimewa. Tak semua kakak punya adik seperti adiknya. Allah hanya memberikan keistimewaan pada orang-orang pilihan.
Sering aku berdiskusi dengan si sulung. Mencoba membuka pemikiran lebih luas dan mendalam tentang segala hal. Mengaitkan semuanya dengan keberadaan Sang Pencipta. Apa yang dialami manusia seperti adiknya merupakan kuasa Allah Swt.. Dia tak akan menciptakan sesuatu tanpa maksud dan tujuan.
Kelak, bisa jadi adiklah yang akan menjadi penolongnya di "sana" nanti. Adik yang akan mengulurkan tangan mengajak untuk ikut ke surga. Kata-kata yang selama ini tersimpan dan tak bisa adik ungkapkan, pada saatnya nanti akan terucap untuk kakak yang hebat. “Terima kasih, Kakak.” Mungkin itulah kata-kata adik sembari menggenggam tangan kakak memasuki gerbang keabadian.
Segala perhatian, pertolongan, dan cinta yang kakak berikan untuk adik selama di dunia akan berbuah manis di sisi-Nya. Segala kesulitan yang kakak alami dengan sabar akan menjadi indah di janah. Kita hanya harus terus bertahan dan bersabar hingga waktu berhenti.
Semua yang kukatakan pada si sulung adalah kutujukan juga untuk diriku sendiri. Menguatkannya sekaligus menguatkanku juga. Merangkulnya dalam cinta. Menerima setiap kekurangan dan mencintai setiap bagian dari dirinya adalah cinta yang bisa kita berikan untuknya, si istimewa. Tak perlu berpikir rumit. Just love him, and he will love you back much more. What comes from the heart will give you the heart.
Momen singkat di suatu peski terkadang sulit, namun Allah akan selalu memberi pertolongan-Nya. Jalanilah hari-hari ini dengan sebaik mungkin. Cintailah apa yang Dia berikan agar damai dan selamat senantiasa mengiringi.[]
unconditional love, duh dari judul, isi hingga penutup benar2 menywntuh hati