Proyek IKN: Ambisius Oligarki Membius Rakyat

"Jika pemerintah tetap memaksakan proyek ibu kota negara yang baru, sangat jelas bahwa hal itu hanyalah demi ambisi para oligarki. Mereka membius rakyat yang selama ini selalu menjadi korban pesta demokrasi yang digelar tiap lima tahunan. Padahal semua itu hanya melahirkan para wakilnya yang tidak mampu menyerap aspirasi rakyat yang sesungguhnya, tetapi lebih mementingkan mereka yang menanam saham kekuasaan."


Oleh. Maman El Hakiem

NarasiPost.Com-Tidak seperti legenda Sangkuriang yang gagal menyelesaikan perahunya menjelang ayam berkokok, RUU IKN menjadi UU IKN berhasil disahkan sidang paripurna DPR, Selasa dini hari, 18/1/2022. Itu artinya perlahan tapi pasti pemerintah mendapat mandat untuk merealisasikannya. Sebuah keputusan yang tergesa-gesa dan dipaksakan hanya untuk memenuhi selera para pemilik modal. Meskipun pemerintah berasumsi tidak akan menguras anggaran negara, namun seperti infografis CNBC (22/1/2022) terungkap mayoritas dananya menggunakan APBN sebesar 53,5 persen, sementara porsi swasta dan BUMN sebesar 46,5 persen.

Meskipun sebelumnya situs resmi ikn.go.id menampilkan informasi terkait sumber pembiayaan, namun angkanya cenderung akan naik dari estimasi awal, sekalipun skema pembiayaan diutamakan adanya peran yang cukup tinggi pada swasta melalui Kerja sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) sebesar Rp252,5 triliun (54,2 persen). (tempo.co.20/1/2022)

Namanya juga kerja sama usaha, pihak swasta tentu berharap meraih keuntungan sebesar-besarnya, terlebih sistem kapitalisme ribawi tidak mau pemodal dirugikan sekalipun menyangkut proyek pelayanan terhadap rakyat. Pembangunan infrastruktur ibu kota negara yang baru disinyalir akan menambah beban rakyat karena beban utang luar negeri yang bertambah, terlebih jika gagal bayar, risiko kedaulatan negeri ini tergadaikan. Pemerintah harusnya belajar dari banyaknya proyek besar infrastruktur selama ini, seperti Bandara Kertajati, Proyek Kereta Api Cepat, Tol Cisumdawu dan lainnya yang dinilai tidak produktif dan justru membuat kehidupan rakyat semakin terpuruk. Pajak terus naik, sementara penghasilan rakyat kian morat-marit karena lahan produksi yang telah diambil alih pihak swasta atau asing.

Kental Aroma Pemodal Asing

Proyek pemindahan ibu kota negara diduga kuat karena desakan oligarki kekuasaan yang semata-mata motifnya meraup keuntungan dari lahan-lahan yang akan dijadikan ibu kota negara di Penajam, Passer Utara, Kalimanan Timur. Daerah tersebut merupakan salah satu daerah kaya migas. Semisal proyek hulu migas di Kalimantan Timur yang digadang-gadang menjadi proyek andalan orang nomor satu di negeri ini, yaitu proyek gas laut dalam atau Indonesia Deep Water Development (IDD) yang kini masih di bawah pengelolaan Chevron Indonesia Company Ltd (CICO), walaupun Chevron telah menyebut akan melepaskan kepemilikan saham di proyek ini.

Aroma pemodal asing pun mudah tercium, sebagaimana diberitakan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, bahwa beliau telah memilih konsultan dari Cina dan Jepang untuk membantu pekerjaan desain awal. Luhut juga telah meminta raksasa investasi Jepang SoftBank Group berinvestasi $25 miliar di ibu kota baru dari US$100 miliar yang ditawarkan oleh lembaga investasi itu. Angka itu setara dengan Rp357, 5 triliun (77% kebutuhan total anggaran pemindahan IKN). Sementara itu, berdasarkan keterangan Kementerian PUPR, Cina telah mencari peluang untuk merancang lanskap perkotaan dan pengelolaan air, sementara AS ingin membantu membangun infrastruktur seperti jalan dan jembatan. (rfa.org)

Potensi Alam yang Tergadaikan

Menurut data yang dilansir CNBC, ibu kota negara Nusantara dengan konsep 8“Rimba Nusa” ini juga "dikepung" oleh "harta karun" batu bara dan potensi alam lainnya. Menurut data Badan Geologi tahun 2020, Kalimantan tercatat memiliki sumber kekayaan alam batu bara 5,86 miliar ton dan cadangan 386,63 juta ton. Adapun 76,15% wilayah di daerah ini berpotensi mengandung batu bara. Terdapat pula perusahaan tambang batuan andesit yang dikelola CV Anugerah Bumi. Berlokasi di Muara Ritan, Kelurahan Muara Ritan, Kecamatan Tabang, Kabupaten Kutai Kartanegara, dengan luas tambang sebesar 50 Ha.
Semua potensi alam tersebut yang sebenarnya menjadi kekayaan umum milik rakyat telah dikuasai oleh swasta, bahkan asing. Kenyataan pahit ini bagaikan sembilu yang menngiris hati rakyat yang semakin pedih di tengah badai pandemi yang belum reda. Sungguh jika pemindahan ibu kota negara ini tetap dipaksakan, maka diduga aka berpotensi pada hilangnya kedaulatan negara yang semakin terjajah oleh kapitalisme global.

Urgensitas pemindahan ibukota juga tidak jelas, terkesan pemerintah lari dari kenyataan atas segala permasalahan Jakarta selama ini. Jika mencermati alasan pindah ibu kota untuk mengatasi banjir yang sering melanda Jakarta, justru di Kalimantan Timur pun sering banjir karena adanya penggundulan lahan untuk industri kepentingan kapitalisme. Belum lagi risiko bencana lainnya karena faktanya daya dukung tanah di sana kurang cocok untuk dijadikan ibu kota negara. Banyak bidang tanah yang lemah dan berisiko bagi kontruksi dan jaringan jalan. Setidaknya menurut pakar, kalau mau buat ibu kota negara, perhatikan daya dukung tanahnya. Sebab, kalau mau bikin kota dengan bangunan tinggi, sedangkan di sana banyak patahan—meski patahan itu bukan patahan aktif, tapi karena dia bidang lemah dan lapisan-lapisannya tegak miring—sangat mudah terjadi longsor.

Pengalaman Pindah Ibu Kota

Jika bercermin pada beberapa negara yang pernah memindahkan ibu kotanya, setidaknya kita bisa belajar pada pengalaman Putrajaya, Malaysia, sampai sekarang hanya sebagai pusat pemerintahan dan hampir semua aparatur sipil negara tetap tinggal di Kuala Lumpur, sehingga Putrajaya menjadi kota mati pada malam hari. Contoh lain seperti ditulis liputan6.com adalah Canberra yang sering disebut planning without city, karena sampai sekarang masih belum menarik penduduk untuk hidup di sana.
Terakhir, pemerintah Korea Selatan memindahkan ibu kota ke Sejong pada 2012, namun sampai saat ini pemindahannya belum selesai karena besarnya biaya dan dinamika politik dalam negeri yang menghambat proses ini. Mungkin yang cukup berhasil adalah pemindahan ibu kota negara dalam sejarah peradaban Islam, pernah terjadi pada masa Khalifah Ali bin Abu Thalib, yaitu dari Madinah ke Kuffah. Khalifah Ali memutuskan pergi ke Kuffah sekaligus memindahkan ibu kota negara dari Madinah karena alasan keamanan agar Madinah terjaga kesuciannya akibat adanya perseteruan sepeninggalnya Khalifah Utsman bin Affan. Dari Kuffah, Khalifah Ali bisa memantau dinamika politik yang terjadi di dua kota suci, yaitu Makkah dan Madinah.

Jika pemerintah tetap memaksakan proyek ibu kota negara yang baru, sangat jelas bahwa hal itu hanyalah demi ambisi para oligarki. Mereka membius rakyat yang selama ini selalu menjadi korban pesta demokrasi yang digelar tiap lima tahunan. Padahal semua itu hanya melahirkan para wakilnya yang tidak mampu menyerap aspirasi rakyat yang sesungguhnya, tetapi lebih mementingkan mereka yang menanam saham kekuasaan.

Wallahu’alam bish Shawwab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com
Maman El Hakiem Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Pencitraan, Akal Bulus Politisi?
Next
Kapan Mimpi Buruk Muslimah Afganistan Berakhir?
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram