"Orang-orang fakir kaum muslimin memasuki surga setengah hari sebelum orang-orang kaya mereka, yaitu lima ratus tahun."
(HR. Ibnu Majah)
Oleh: Desi Wulan Sari, M.Si.
NarasiPost.Com-Setiap orang mengharapkan kesejahteraan. Tak ada seorang pun yang bercita-cita ingin menjadi miskin. Kemiskinan yang melanda hidup seseorang akan berdampak pada dua efek yaitu rasa sedih dan rasa syukur.
Saat kita bercermin pada kondisi masyarakat hari ini, banyak yang berada pada posisi kurang beruntung. Kemiskinan yang melanda sebagian besar rakyat disebabkan sistem yang telah memiskinkan mereka secara lahir dan batin. Bagaimana tidak, telah banyak kebijakan pemerintah dari aspek ekonomi yang membuat rakyat tercekik. Misalnya, kenaikan iuran BPJS kesehatan yang semakin mahal, membuat rakyat dibatasi dalam hal pengobatan. Artinya, tidak punya uang tidak dapat berobat secara maksimal dan tuntas dengan segala kenyamanannya. Selain itu, pabrik-pabrik dan perusahaan negara maupun swasta banyak yang tidak beroperasi, sehingga membuat lapangan kerja lokal semakin sedikit.
Begitu pula dalam bidang kepemilikan umum seperti listrik, air, gas, bahan bakar, pertambangan mineral, minyak, dan lain sebagainya tidak dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat akibat mahalnya harga-harga tersebut disebabkan tata kelola yang salah dan merusak dalam sistem kapitalis yang digunakan negeri ini.
Ketika seseorang tidak mampu meraih semua kesejahteraan tersebut, maka kemiskinanlah yang mereka hadapi di negeri ini. kemiskinan ini tidak hanya dalam angka tetapi nyata di depan mata. Sebanyak 8.151 anak sekolah SMA/SMK di Lampung tahun 2021 putus sekolah akibat kondisi ekonomi orang tua yang tidak mampu, ada juga yang ikut membantu orang tua mencari nafkah (republika.co.id, 8/11/2021).
Bahkan tercatat 8.991 balita di Kabupaten Bogor mengalami stunting akibat kesenjangan sosial dan kemiskinan yang melanda keluarganya (AyoBogor.com, 2/12/2021).
Atau lihatlah pengemis yang bertebaran di berbagai pelosok kota dan daerah. Meminta sedekah kepada orang-orang yang bersimpati atas kemiskinannya, seakan hanya itu pekerjaan tetap yang dapat mereka lakukan.
Semua permasalahan di atas tentu menjadi tanggung jawab negara dalam merancang solusi atas problem rakyat tersebut. Namun, saat ini kita sebagai umat muslim ataupun rakyat jelata tidak mampu berbuat apa-apa ketika berhadapan dengan kebijakan negara. Selain perjuangan dalam mendakwahi para penguasa agar mau kembali kepada solusi hakiki yaitu Islam rahmatan lil alaamiin.
Hari ini rakyat miskin hanya bisa meratapi nasibnya. bahkan orang-orang yang kelaparan, kurang gizi, hidup di jalan, tak mampu memiliki uang, tak mampu bekerja, anak yang tak mampu sekolah, dan kemiskinan dalam bentuk lainnya menjadi permasalahan krisis bagi sebuah negara. Hanya kepada Allah tempat mengadu atas penderitaan yang mereka alami.
Namun, kemiskinan bagi seorang muslim bisa berbeda-beda dalam memaknainya. Ada yang dapat menerima qada Allah tersebut, tapi sebagian orang menganggapnya sebagai ujian, musibah, bahkan meluapkan kemarahan atas nasib yang diterimanya.
Kondisi kemiskinan hari ini adalah kemiskinan yang diakibatkan sistemik, semestinya menjadi tanggung jawab negara dalam mencari solusi sesuai syariat Allah Swt. Namun, di sisi lain dalam pandangan agama, kiranya menjadi seorang miskin juga merupakan satu kebahagiaan. Mengapa? Ternyata Allah telah memberikan kabar gembira kepada umatnya yang berada dalam kemiskinan ataupun kefakiran. Sesungguhnya Allah swt telah mematahkan kesedihan orang miskin di surga, dan mewarnaimu dengan berbagai warna kenikmatan yang tidak pernah terlintas dalam hati manusia. Bahkan di atas semua itu, sesungguhnya orang-orang fakir dari kalangan orang-orang mukmin akan memasuki surga lima ratus tahun sebelum orang-orang mukmin yang kaya.
Nabi saw bersabda, "Orang-orang fakir kaum muslimin memasuki surga setengah hari sebelum orang-orang kaya mereka, yaitu lima ratus tahun." (HR. Ibnu Majah)
Nabi saw bersabda, "Sesungguhnya orang-orang fakir dari kalangan muhajirin mendahului orang-orang kaya menuju surga selama empat puluh tahun." (HR. Ahmad no. 6735, Muslim no. 7654, dan Ibnu Hibban no. 688)
Tentunya, masuk surga bagi orang-orang miskin ini telah memenuhi syarat yang telah Allah tetapkan, yaitu miskin tetapi tidak mengeluh, miskin tetapi tidak berputus asa, miskin tetapi tetap teguh pada ketetapan Allah, miskin tetapi tetap menjadi mukmin sejati di mata Allah. Sehingga amalan-amalan seorang miskin jauh lebih berharga bagi Allah dibanding amalan orang-orng mukmin yang kaya. MasyaAllah.
Inilah beberapa kalimat para shalaful shalih dalam mengingatkan kebesaran Allah kepada hambanya yang mengalami kefakiran, diantaranya:
"Wahai orang fakir dan miskin, jangan bersedih. Sesungghunya dunia adalah penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir."
"Jangan bersedih wahai orang fakir dan miskin, seandainya dunia itu disisi Allah setara dengan sehelai sayap nyamuk, tentu Allah tidak akan memberi minum orang kafir meski hanya seteguk air."
"Jangan bersedih wahai orang fakir dan miskin, sesungguhnya dunia adalah jembatan dan tempat lewat, bukan tempat tinggal dan bermukim."
"Jangan bersedih wahai orang fakir dan miskin, karena dunia adalah bayangan hampa dan ketiadaan."
"Jangan bersedih wahai orang fakir dan miskin, sesungguhnya dunia adalah perhiasan yang menipu, bukan tempat kemuliaan dan kebahagiaan.Karena semua kebahagiaan berada pada negeri kebahagiaan di sisi Penguasa Yang Mulia, Maha Pengasih dan Pengampun."
Maka janganlah bersedih hati wahai orang-orang yang dicintai Allah dan Rasul-Nya, karena Allah senantiasa menjaga umatnya tanpa terkecuali, tanpa memandang strata sosialnya, tetapi cukup melihat pada ketakwaan hamba-Nya kepada Allah sang Maha Pencipta seluruh alam. Dan bagi seorang pemimpin negara yang manjalankan amanah rakyatnya, semestinya menyadari bahwa tanggung jawabnya dihadapan Allah terhadap rakyat yang dipimpinnya masih kelaparan akibat kemiskinan, maka akan dibalas oleh Allah setimpal azabnya atas lalainya tannggung jawab seorang pemimpin yang jauh dari kata amanah dan mensejahterakan, layaknya pemimpin-pemimpin kapitalis saat ini.
Wallahu a'lam bishawab.