"Pencitraan politik ini adalah buah penerapan demokrasi. Di Indonesia sendiri, pencitraan politik sudah menjadi cara lama para politisi menggaet suara masyarakat dalam memenangkan kontestasi politik. Pencitraan politik perlu sekali dilakukan sebagai ajang pelemahan lawan politik dan untuk menonjolkan diri."
Oleh.Heni Rohmawati, SEI
NarasiPost.Com-Pencitraan adalah trik utama yang dilakukan para politisi jelang kontestasi pemilihan umum. Media sosial pun dijejali dengan berbagai iklan kebaikan dari seorang politisi. Hal tersebut lumrah adanya. Dalam rangka mencari suara karena tak lama lagi ajang pemilihan umum akan digelar. Menariknya dari berbagai kegiatan “bagi-bagi” ini, ada seorang laki-laki yang menolak pemberian bantuan dan mengembalikan pemberian dari seorang politisi. Seperti diwartakan oleh CNN Indonesia pada Minggu (16/1/2022), Fajar Nugroho, Wakil Ketua Pengurus Anak Cabang (PAC) PDIP Kecamatan Temanggung, segera mengembalikan bantuan dari Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah.
Hal ini lantaran ia kesal dan kecewa setelah diunggahnya video kunjungan Ganjar ke rumahnya di Youtube. Video tersebut diberi judul "Rumah Reyot Kader PDI Perjuangan di Tanah Bengkok" (saat ini judul telah diubah). Berbagai tanggapan bermunculan, salah satunya dari Anggota DPRD Jawa Tengah, Saiful Hadi, yang menilai sikap Gubernur Jawa Tengah itu sarat dengan politik pencitraan. Ia menjelaskan, “Pencitraannya kental sekali, sangat disayangkan Pak Ganjar itu delapan tahun ditugasi PDIP memimpin Jawa Tengah, dan baru ini memberi bantuan kepada kader tak mampu yang disebut punya rumah reyot. Kenapa baru ini?Kemarin-kemarin kemana?" ujarnya.
Hal ini bagaikan mendulang di air keruh. Akhirnya sesama anggota partai saling melontarkan pendapat yang bertentangan. Maka, masyarakat semakin paham akan kondisi partai. Terlihat jelas tidak solidnya dan ke mana arah pencitraan itu.
Pencitraan Politik, Buah Penerapan Demokrasi
Pencitraan politik ini adalah buah penerapan demokrasi. Di Indonesia sendiri, pencitraan politik sudah menjadi cara lama para politisi menggaet suara masyarakat dalam memenangkan kontestasi politik. Pencitraan politik perlu sekali dilakukan sebagai ajang pelemahan lawan politik dan untuk menonjolkan diri. Benar dan salah sudah tidak menjadi bahasan utama dalam hal ini.
Suara publik sangatlah penting didapatkan dalam rangka menyuksesi para calon kontestan. Sehingga berbagai cara ditempuh untuk meraihnya. Benak publik harus dipenuhi dengan banyak kebaikan-kebaikan dari sang politisi. Hingga kelak masa pemilihan tiba, rakyat akan memilih dengan sendirinya. Apalagi saat ini partai-partai di Indonesia sangatlah banyak. Maka, persaingan pun semakin ketat. Sehingga kemampuan mencari suara rakyat adalah yang paling utama.
Bahaya Pencitraan
Pencitraan adalah usaha menonjolkan citra diri yang baik di hadapan masyarakat. Pencitraan sendiri sesungguhnya memiliki kesan negatif. Menurut Career Coach, Rene Suhardono, pencitraan akan menjadi salah manakala orang yang melakukan pencitraan palsu dengan menampilkan sesuatu yang sama sekali berbeda dengan kondisi aslinya. (Dikutip dari liputan6)
Dengan pencitraan seseorang akan diarahkan untuk menilai sosok secara pribadi. Misalnya sederhana, humoris, tegas tanpa melihat hasil kerja nyata di lapangan. Seseorang akan digiring pada suatu keadaan dimana sulit untuk bersikap kritis. Melemahkan berpikir benar karena dilingkupi kebaikan-kebaikan personal yang tidak menyentuh substansi tanggung jawab sebagai seorang pemimpin.
Rakyat akan banyak disuguhi dengan informasi-informasi yang mendukung dan sengaja dihadirkan agar memersepsikan kebaikan itu dalam benaknya. Sementara di sisi lain, rakyat tidak memiliki akses terhadap informasi yang benar. Sehingga dari sini bisa didapatkan asimetris informasi. Sehingga rakyat tak mampu berpikir benar dan hanya mengikuti arahan daripada pencitraan itu sendiri.
Rakyat Tidak Butuh Pencitraan
Meskipun sebagian besar politisi kini sedang berlomba-lomba dalam melakukan pencitraan, sesungguhnya rakyat tidak butuh pencitraan. Yang dibutuhkan rakyat adalah tanggung jawab nyata dalam rangka menyelesaikan setiap permasalahan yang ada. Mampu mengatur negeri ini dan mengayomi rakyat dengan sepenuh hati. Jika pencitraan itu membutuhkan dana yang besar, tetapi semua itu tidak berkaitan dengan pengayoman kepada rakyat, maka pencitraan itu tak memiliki arti sama sekali. Karena hakikat pencitraan hanya menutupi ketidakmampuan, kegagalan, dan ingin meraup suara.
Bercermin pada Pemimpin Dimasa Kejayaan Islam
Sungguh Rasulullah saw. adalah suri teladan terbaik sepanjang masa. Segala kebaikan bisa ditemukan pada diri Rasulullah saw. Beliau adalah sosok terbaik di antara para pemimpin manusia. Kemuliaan dan keagungannya telah melintasi dimensi waktu dan ruang. Manusia paling penyayang yang juga sosok pemimpin negara yang sangat disegani kawan juga ditakuti lawan. Rasulullah saw. tidak membutuhkan pencitraan. Karena beliau sudah membuktikan sendiri bahwa beliau memang pantas, bahkan wajib dicintai tanpa pencitraan apa pun juga. Segala kebaikan tidak pernah kamuflase atau sekadar mencari keuntungan duniawi. Bahkan beliau rela mengorbankan dirinya, untuk kebahagiaan umatnya, rakyatnya.
Begitu pula masa Khulafaur Rasyidin radiallahu ‘anhum. Mereka bagaikan bintang-bintang yang terus memberi cahaya bagi siapa pun yang mau mengikutinya. Saat Umar ibn Khattab menjadi khalifah, ada sebuah kisah yang tersohor di mana beliau sedang melihat kondisi rakyatnya di malam hari dengan berjalan. Saat itu, Umar r.a. Ditemani oleh seorang sahabatnya. Saat melewati sebuah rumah terdengar suara anak yang menangis karena kelaparan. Lalu mereka berhenti dan menghampiri rumah itu. Setelah Umar r.a. bertanya alasan kenapa anak-anaknya menangis, dan sang ibu menjelaskan bahwa tidak ada yang bisa ia masak kecuali batu. Akhirnya umar dengan penuh tanggung jawab, mengambilkan sekarung gandum dari Baitul Maal dan langsung memanggul sendiri gandum tersebut untuk diberikan kepada keluarga itu.
Semua kebaikan yang dilakukan oleh Umar r.a., tidak serta-merta ditunjukkan kepada semua orang. Tapi beliau melakukannya karena rasa keimanan dan ketakwaan untuk bertanggung jawab dengan sebaik-baiknya terhadap amanahnya. Dan takut kelak tak mampu mempertanggungjawabkan di hadapan Sang Ilahi.
Sungguh sosok-sosok terbaik itu hanya berasal dari Islam. Karena kepribadian Islam yang sempurna telah mengantarkan seorang pemimpin menjadi pribadi yang takut kepada Allah. Bukan takut kepada ancaman manusia atau takut ditinggalkan oleh manusia.
Allahu a’lam bishowab.[]