"Kini lebih dari setengah abad berlalu, nyatanya two state solution hanyalah lip service belaka. Bangsa Palestina yang terpaksa menerima pembagian wilayah tersebut dihianati dengan munculnya ratusan ribu permukiman di Tepi Barat."
Oleh. Dia Dwi Arista
(Kontributor Tetap NarasiPos.Com)
NarasiPost.Com-Masalah Palestina bagaikan suatu teka-teki yang sulit diurai, bahkan bisa jadi memang masalah ini tidak pernah diperjuangkan penyelesaiannya. Agresi Israel terhadap Palestina adalah buah dari episode panjang sejarah antara kedua bangsa. Pertentangan keduanya tak lagi dalam lingkup agama, namun sudah merambah menjadi lingkup politik.
Bangsa Israel yang meyakini bahwa tanah Palestina adalah tanah yang dijanjikan sesuai dengan perjanjian lama, terus menggempur tanpa ampun warga Palestina. Klaim sepihak yang mereka lancarkan secara menggebu berakhir dengan pengabaian terhadap hukum internasional yang telah memutuskan wilayah Palestina dibagi menjadi dua, dengan Palestina berakhir pada dua wilayah kecil Gaza dan Tepi Barat (West Bank). Penyelesaian ini pun disinyalir sebagai racikan tangan-tangan dunia Barat (AS dan Sekutu) untuk menempatkan suatu negara yang menjadi alat spionase dan pengalihan isu sentral di kawasan Timur Tengah.
Jamak diketahui, ketika Ottoman (Khilafah Utsmaniyah) berkuasa, Yahudi yang berkehendak membeli tanah Palestina ditolak mentah-mentah oleh Khalifah Abdul Hamid II. Sebab, tanah Palestina bukanlah milik Khalifah, ia adalah tanah yang diperjuangkan dengan kucuran darah kaum muslimin di masa Khalifah Umar bin Khattab. Hingga saat ini status tanah Palestina adalah tanah wakaf kaum muslim yang tidak boleh diperjualbelikan.
Runtuhnya kekuasaan Khilafah Utsmaniyah pun menjadi sinyal rusaknya persatuan kaum muslim di dunia. Barat yang menjadi pemenang dalam perang dunia I, melalui mandat Liga Bangsa-Bangsa, akhirnya memutuskan Inggris sebagai ‘pengawas’ Palestina. Dan dengan bantuan Inggris lewat Deklarasi Balfour pada tahun 1917 M, Israel mendapat tiket mengagresi wilayah Palestina. Pasca perang dunia II, pada 1947 M, Perserikatan Bangsa-Bangsa pun memutuskan pembagian wilayah antara Palestina dan Israel yang dikenal dengan two state solution. Sejarah baru pun dicetak pada 14 Mei 1948 dengan berdirinya negara Israel.
Israel Aneksasi Tepi Barat
Kini lebih dari setengah abad berlalu, nyatanya two state solution hanyalah lip service belaka. Bangsa Palestina yang terpaksa menerima pembagian wilayah tersebut dikhianati dengan munculnya ratusan ribu permukiman di Tepi Barat. Dimulai pada tahun 1967, Israel telah menganeksasi tanah-tanah warga Palestina, permukiman demi permukiman Israel berdiri meski di bawah kecaman internasional. Hanya kecaman, tak akan mempan melawan ambisi Israel dalam menduduki kawasan Tepi Barat.
Tanpa rasa bersalah, Israel menyebut jika wilayah Yudea dan Samariah yang berada di Tepi Barat adalah milik Yahudi, dan mereka mempunyai hak penuh untuk ‘mengambil’ kembali tanah tersebut, meski dengan paksa. Tepi Barat yang menjadi impian warga Palestina untuk menjadi wilayah negara merdeka di masa depan, agaknya akan sulit terealisasi. Sebab permukiman Israel menempati hampir di seluruh bagian Tepi Barat. Bahkan permukiman tersebut terkesan acak berdiri menyebar di seluruh Tepi Barat.
Warga Israel yang menempati relokasi di Tepi Barat pun mempunyai tujuan berbeda-beda. Sebagian beralasan karena ekonomi. Sebab, mereka adalah warga miskin yang dijanjikan mendapat subsidi rumah murah dari pemerintah Israel jika menempati Tepi Barat. Sebagian lainnya menganggap Tepi Barat adalah hak mereka, dan mereka pun mempunyai kewajiban menjadikannya sebagai tempat tinggal. Sedangkan warga Palestina, tentu hanya dapat sisa jatah. Mereka tidak mempunyai pendukung yang dapat mengembalikan hak mereka. Hanya lemparan batu yang bisa mereka lontarkan sebagai aksi protes akan ketidakadilan.
Sekali lagi, dunia hanya mampu mengecam. Sebab, di balik Israel berdiri negara adidaya yang siap memberikan dukungan penuh terhadap segala tindakannya. Penganeksasian Tepi Barat pun akibat dari dukungan mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Gayung bersambut, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu pun segera mengambil kesempatan untuk merealisasikan impian mereka di Tepi Barat. Dan kini, permukiman tersebut semakin meluas dan mengerat wilayah Tepi Barat. Lantas, akankah ada sebuah kekuatan yang mampu membebaskan Palestina dari keratan bangsa Israel ini?
Perisai yang Telah Lama Menghilang
Sejarah panjang Palestina menjadi tanah sengketa tak lain karena Palestina adalah tempat suci dari tiga agama samawi. Islam, Nasrani dan Yahudi. Sejak pasukan Salib berhasil tunduk di bawah Salahuddin Al-Ayyubi pada 1187 M, Palestina senantiasa berada dalam kekuasaan Islam dalam kedamaian, meski di dalamnya hidup tiga agama yang berbeda. Namun, mereka dianggap sebagai warga negara dengan status kafir dzimmi yang wajib dilindungi hak dan keamanannya.
Palestina mulai berdarah kembali ketika Khilafah Utsmaniyah (Ottoman) diruntuhkan oleh Mustafa Kemal Attaturk tahun 1924 M. Sejak itu, Inggris menjadi pengendali urusan Palestina. Dan negara-negara Barat menjadi berhak memperlakukan Palestina sesuka hati sebab kemenangan mereka atas Khilafah Utsmaniyyah. Perisai itu telah lama hilang, kesatuan Islam pun tercerai-berai menjadi negara terjajah dan terinfeksi pemikiran-pemikiran Barat.
Khilafah Menjaga Keutuhan Wilayah
Kaum muslim dari awal eksistensinya, telah mengenal sebuah daulah yang didirikan oleh Nabi Muhammad saw. di Madinah. Setelahnya, kaum muslimin pun terus berada dalam ri’ayah negara yang menerapkan syariat Islam, yakni Khilafah. Wilayah demi wilayah ditaklukkan oleh tentara kaum muslim, hingga dua pertiga dunia berada dalam kekuasaan Khilafah. Selama itu, Khilafah terus berupaya menjaga keutuhan dan persatuan wilayah-wilayah tersebut, meskipun keadaan pasang surut sesuai dengan taraf pemikiran kaum muslim.
Allah Swt. berfirman dalam surah Ali-Imran ayat 103 yang berarti, “Dan berpegang teguhlah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai. Ingatlah akan nikmat Allah kepadamu, ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuh-musuhan, kemudian Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat-Nya orang-orang yang bersaudara, dan (ingatlah) kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu darinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.”
Ayat di atas menjelaskan tentang persatuan dan kesatuan, begitu pula ia juga menjelaskan tentang larangan bercerai-berai. Persatuan dan kesatuan bukan hanya dalam ranah individu saja. Namun, juga termasuk wilayah kaum muslim. Maka hukumnya menjadi wajib untuk menjaga kesatuan dan keutuhan wilayah Khilafah.
Dalam penjagaannya, perlu ditetapkan satu hukum yang sama yang dapat menghilangkan adanya potensi perselisihan. Maka, hukum siapakah yang lebih baik dari hukum Allah? Oleh karena itu, syariat menjadi hukum yang sangat pas dalam mengatur kesatuan umat sekaligus melenyapkan keraguan dan perselisihan.
Selain itu, larangan bughat atau pemberontakan juga diberlakukan. Ketika terjadi bughat, maka pelakunya wajib diberi sanksi had, yakni diperangi. Ketika pelakunya nonmuslim, maka ia wajib diperangi (qital), namun ketika pelakunya adalah muslim, maka ia akan diperangi untuk menyadarkannya dan kembali ke pangkuan Islam.
Selanjutnya adalah pemberlakuan militer. Sebelum wilayah lepas dari kekuasaan kaum muslim maka diperlukan pendekatan politik sebelum pendekatan militer. Tujuannya untuk mengetahui alasan untuk melepaskan diri dari Khilafah. Jika alasannya adalah diskriminasi, maka negara wajib introspeksi diri dan mengubahnya, tetapi jika alasan pelepasan diri adalah karena rayuan negara-negara penjajah, Khilafah mempunyai tanggung jawab untuk membuka kedok makar mereka dalam mengerat kesatuan Khilafah. Namun, dalam kasus Palestina, maka tak ada jalan lain kecuali melalui pemberlakuan militer untuk mengusir bangsa penjajah. Sebab, dalam kasus Palestina terjadi aneksasi dan agresi militer Israel, oleh karena itu wajib bagi Khilafah untuk berjuang sekuat tenaga mempertahankan wilayah tersebut. Seruan jihad akan dikumandangkan, mengundang tentara-tentara kaum muslim untuk menjaga Palestina. Jangankan wilayah, bahkan hanya seorang muslimah saja akan dijaga dengan seruan jihad jika memang dibutuhkan. Demikianlah gambaran sebuah negara Islam yang menjadikan syariat sebagai landasan hukumnya. Allahu a’lam bis-showwab.[]