"Masalah diskriminasi yang dirasakan oleh kaum muslimin di Myanmar, bukan semata-mata karena siapa pemimpinnya saja, namun permasalahan sistemis yang mengakar kuat dan adanya ketidakberpihakan terhadap umat Islam."
Oleh. Iranti Mantasari, BA.IR, M.Si
(Kontributor Tetap NarasiPost)
NarasiPost.Com-Suara desingan peluru, peluh yang bercucuran, dan jiwa yang terombang-ambing menjadi deskripsi singkat akan situasi yang dihadapi oleh Myanmar pasca demonstrasi perlawanan terhadap militer kian memanas. Diwartakan oleh Antaranews, Tatmadaw atau nama junta militer Myanmar telah menghabisi lebih dari 1.375 nyawa dan menangkap 11.200 orang sejak mengudeta pemerintah pada bulan Februari tahun lalu. (Antaranews, 16/01/2022)
Selain itu, menurut laporan dari Myanmar NOW, kondisi Myanmar saat ini sangat kacau mengingat perlawanan rakyat terhadap junta yang direspons dengan kekerasan bahkan pembunuhan oleh pasukan militer dan aparat. Pemerintah Myanmar yang secara de facto berada pada kekuasaan junta militer ini juga masih dengan bengisnya melakukan ethnic cleansing atau pembersihan etnis dan pembumihangusan pihak antijunta. Bahkan untuk menjadi lampu hijau bagi tindakan itu, junta tak segan menyebut kelompok-kelompok yang melakukan perlawanan atas kekuasaan hasil kudetanya itu sebagai teroris dan menyebarkan propaganda agar mereka tidak dibantu oleh berbagai elemen di Myanmar.
Kondisi mencekam ini jika belum menemukan titik hentinya, maka menempatkan Myanmar di ambang kehancuran, karena konflik vertikal menjadi tak terelakkan. Berbagai upaya yang dianggap mampu menjadi solusi yang dilakukan oleh berbagai pihak bilateral dan multilateral pun hingga saat ini masih menemui jalan buntu.
Sementara itu, berlanjutnya situasi ini sama saja dengan “merelakan” nasib rakyat sipil, termasuk di dalamnya adalah umat Islam sebagai kaum minoritas di Myanmar terlunta-lunta tak tentu arah.
Junta Myanmar dan Konflik Vertikal
Myanmar menjadi negara yang merdeka dari kolonialisme Inggris pada tahun 1948. Sejak mendeklarasikan kemerdekaannya itu, Myanmar menjalankan sistem demokrasi parlementer. Hanya saja, sistem ini berjalan selama 14 tahun saja, karena pada tahun 1962, jenderal militer Myanmar melakukan kudeta dan mengganti arah pemerintahan menjadi republik sosialis dan terus berjalan selama 26 tahun berkuasa. Barulah di tahun 2011, kekuasaan militer ini beralih ke “kekuasaan sipil” setelah partai rival dari militer, yakni Partai Persatuan dan Pembangunan (Union Solidarity and Development Party) memenangkan pemilu tahun 2010 dengan telak. Namun lagi-lagi, pihak junta berhasil merebut kekuasaan _de facto_Myanmar pada tahun 2021 lalu, walaupun militer tidak menjabat sebagai presiden.
Pemimpin militer Myanmar dalam hal ini memegang posisi sebagai perdana menteri, sebagaimana posisi yang dipegang Aung San Suu Kyi saat sebelum kekuasaannya dikudeta dan ia ditahan. Selama junta berkuasa, berbagai kebijakan yang represif dan tertutup sering mereka terapkan atas rakyat Myanmar. Hal inilah yang disebut menjadi alasan mengapa rakyat sipil menyaringkan suara penolakan mereka terhada tindakan junta militer.
Tinta hitam boleh jadi lebih dominan mewarnai catatan kekuasaan militer atas hak-hak rakyat sipil. Bahkan, pada tragedi genosida muslim Rohingya di Arakan pada tahun 2012 dan 2015 lalu, militer memegang peran yang signifikan dalam pembunuhan dan perkosaan muslim-muslim Rohingya. Walaupun begitu, Suu Kyi yang bukan berlatarbelakang militer yang saat itu menjadi penguasa de facto Myanmar malah mendiamkan tindakan berdarah dingin dari militer atas kaum muslimin di Rohingya.
Dari dua fakta ini tampak jelas, bahwa siapa pun penguasanya, militer ataupun tidak, ketika kaum muslimin merupakan pihak minoritas, maka mereka tetap saja didiskriminasi sedemikian rupa dan menyebabkan konflik antara penguasa dengan rakyatnya sendiri tidak bisa dibendung. Hal ini juga menunjukkan bahwa masalah diskriminasi yang dirasakan oleh kaum muslimin di Myanmar, bukan semata-mata karena siapa pemimpinnya saja, namun permasalahan sistemis yang mengakar kuat dan adanya ketidakberpihakan terhadap umat Islam.
Ambiguitas Simpati ASEAN
ASEAN sebagai organisasi regional yang menaungi Myanmar juga telah menunjukkan sikap atas kondisi negara yang menghabisi nyawa rakyatnya atas dasar menjaga kekuasaannya ini. Kepemimpinan ASEAN di tahun 2022 yang digilir setiap setahun sekali berdasarkan nama negara sesuai alfabet kini dipegang oleh Kamboja.
Kepemimpinan Kamboja yang bermottokan “Addressing Challenges Together” atau Menghadapi Tantangan-tantangan Bersama justru tampak menjadi sebuah paradoks belaka karena sikap Kamboja dalam memandang Myanmar. Pasalnya, Perdana Menteri Kamboja, Hun Sen mengambil langkah berbeda dari negara-negara ASEAN lainnya yang tidak mengakui kekuasaan junta militer di Myanmar dengan tak mengikutsertakan Myanmar dalam KTT tahunan. Alih-alih menunjukkan ketegasan dan memberikan sanksi, ia malah terkesan merangkul junta dengan melakukan kunjungan ke Myanmar untuk menemui pemimpin junta, Aung Hlaing. Lawatannya ini pun membuat pihak junta sampai mengucapkan terima kasih kepada Hun Sen karena merasa telah mendapatkan keberpihakan pada Myanmar. (Antaranews, 17/01/2022)
Selain itu, salah satu tujuan dibentuknya ASEAN beberapa dekade yang lalu, yakni untuk mendukung stabilitas dan perdamaian regional pun akhirnya terdengar hanya menjadi lip service saja. Dalam kasus Myanmar, terkatung-katungnya nyawa muslim Rohingya pada tahun 2015 tersebab dibantai oleh penguasanya sendiri dan aksi demonstrasi antijunta yang berujung menjadi momen pembunuhan massal semakin mengundang kritik terhadap organisasi regional di Asia Tenggara ini, karena keberadaannya tidak memberikan perlindungan yang signifikan terhadap rakyat sipil.
Rakyat Terlunta-lunta, Siapa yang Akan Ulurkan Tangan?
ASEAN dan organisasi kewilayahan mana pun yang eksis hari ini seluruhnya berdiri atas prinsip-prinsip hukum internasional yang ditetapkan oleh rahim yang melahirkan pandangan sekuler, yaitu Barat. Pengakuan atas batas-batas negara bangsa juga menjadi mutlak dilakukan oleh segenap aktor dalam perpolitikan internasional. Salah satu prinsip yang dipegang dalam tatanan status quo adalah “non-interference” atau non-intervensi, di mana masing-masing negara tidak diperkenankan untuk mengintervensi penyelesaian urusan dalam negeri suatu negara.
Hanya saja, prinsip ini menjadi sangat bermasalah ketika dihadapkan pada represifnya penguasa atas rakyatnya sendiri, yang bahkan menyebabkan bergugurannya nyawa rakyat. Sistem perpolitikan sekuler yang didasarkan pada nasionalisme dan penghormatan terhadap nilai-nilai kebangsaan ini ternyata sangat lemah dalam melindungi keamanan warga, karena seringnya terbentur dengan kepentingan nasional masing-masing negara dan aturan regional atau internasional. Terlebih lagi keberadaan kaum muslim yang minoritas di Myanmar tentu membuat mereka sebagai objek yang rentan menjadi korban dari militer yang represif. Jika ASEAN, atau organisasi internasional lain terbukti tak mampu menyelesaikan masalah ini, kepada siapa kaum muslimin di sana bisa memercayakan keamanan dan keselamatan mereka? Selain kepada Allah Yang Maha Menjaga, umat ini selayaknya paham bahwa Islam memiliki metode yang jitu untuk menjaga nyawa mereka. Hal ini bisa terlihat dalam salah satu poin maqashid syariah atau tujuan diturunkannya syariat jelas-jelas adalah untuk hifzun nafs atau menjaga nyawa manusia, khususnya nyawa seorang muslim. Tentu tujuan syariat ini tidak lepas dari pandangan Islam bahwa satu nyawa seorang muslim amatlah berharga, yang kehancuran dunia dianggap masih lebih baik daripada terenggutnya seorang muslim tanpa alasan yang dibenarkan, sebagaimana yang disabdakan Rasulullah saw.
Bila skema regional dan internasional sudah tampak kelemahannya dalam menjaga nyawa manusia dari kebengisan penguasanya, maka Islam adalah alternatif solusi yang harus dilirik oleh dunia. Hanya saja, maqashid syariah tersebut agaknya sulit –bahkan cenderung mustahil- bisa terwujud secara sempurna bila syariat Islam itu sendiri tidak menjadi landasan kehidupan dalam peradaban hari ini. Maqashid syariah itu hanya akan terlaksana ketika sebuah negara menjalankan Islam dengan total dari aspek hulu hingga ke hilirnya. Negara yang tidak sekuler yang berjalan atas dasar kepentingan nasional belaka, namun negara yang berhukumkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw. Negara itu tidak lain dan tidak bukan adalah negara Islam yang kini marak diperbincangkan, Khilafah islamiah.[]