"Sejak tahun 1967, Indonesia memilih politik hukum pertambangan yang berorientasi pada kekuatan modal besar dan eksploitatif. Kebijakan yang dikeluarkan berupa regulasi yang berpihak pada kepentingan para pemodal. Pemerintah telah mengeluarkan izin pertambangan sebanyak mungkin dengan mengatasnamakan investasi."
Oleh. Wening Cahyani
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Kemelut permasalahan listrik (PLN) tampaknya masih saja mewarnai bumi pertiwi ini. Akhir-akhir ini, kembali pasokan batu bara sebagai sumber energi untuk pembangkit listrik menipis. Hal ini menjadi sinyal ketersediaan listrik berada di ambang krisis. Pemerintah Indonesia pun membuat kebijakan pelarangan mengekspor sementara kepada para penambang batu bara ke negara lain. Padahal, Indonesia penghasil batu bara terbesar ketiga di dunia. Bagaimana pasokan batu bara bisa menipis dan mengancam ketersediaan listrik? Bagaimana peran negara dalam mengelola dan memenuhi tersedianya sumber daya alam berupa batu bara ini?
Kebijakan pemerintah tentang pelarangan mengekspor bagi para penambang batu bara ke luar negeri telah bergulir. Sebagaimana dikabarkan oleh Cnbnindonesia.com (04/01/2022) bahwa Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam Mineral (ESDM) mengambil kebijakan untuk melakukan pelarangan ekspor batu bara periode 1 hingga 31 Januari 2022 bagi pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) tahap kegiatan Operasi Produksi dan IUPK sebagai kelanjutan Operasi Kontrol.
Pelarangan ini dilakukan karena pasokan batu bara untuk pembangkit listrik pada PT PLN (Persero) telah berkurang. Berkurangnya pasokan batu bara ini bisa mengancam pasokan listrik bagi 10 juta pelanggan PLN mulai dari masyarakat umum hingga industri di Jawa, Madura, Bali (Jamali) dan selain Jamali. Tindakan ini diambil dalam rangka menjaga kestabilan kelistrikan dan perekonomian negara.
Fakta Pengelolaan Batu Bara melalui Kebijakan Kapitalistik
Indonesia merupakan negara penghasil batu bara terbesar ketiga di dunia setelah Cina dan India. Bahkan, Indonesia pun menjadi pengekspor batu bara termal di dunia. Sebenarnya menurut UUD 1945 pasal 33 ayat 3 bahwa, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Sesuai Undang-Undang, batu bara milik negara yang dikelola oleh pemerintah. Penambang pada dasarnya kontraktor untuk menghasilkan batu bara. Mereka dikenai aturan wajib memasok batu bara untuk kebutuhan dalam negeri (Domestic Market Obligation) sebesar 25% dari produk setiap penambangan per tahun. Selain itu, negara hanya menerima royalti dan pajak dari para penambang. Meskipun batu bara di pasar internasional tinggi tapi tidak menjadikan adanya pajak tambahan yang lain.
Ketika ada kabar pasokan batu bara sebagai bahan bakar pembangkit listrik berkurang tentu ini sesuatu yang sangat bertolak belakang. Turbulensi kelistrikan terkait dengan pasokan batu bara sudah pernah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Menurut mantan pejabat PT PLN (persero) bahwa kekurangan pasokan batu bara ini pernah terjadi pada 2007, 2008, 2018, dan akhir 2021. Menurutnya, krisis batu bara PLN terjadi karena adanya pengaruh batu bara ekspor (internasional) yang tinggi atau kebutuhan luar negeri yang tiba-tiba melonjak di mana kesempatan ini digunakan oleh para penambang untuk menjual batu bara sebanyak-banyaknya ke luar negeri. Sehingga, pasokan dalam negeri berkurang (Cnbnindonesia.com, 04/01/2022).
Apabila kekurangan pasokan batu bara pernah terjadi beberapa kali di tahun-tahun sebelumnya, berarti memang ada kesalahan dalam tata kelola sumber daya alam berupa batu bara ini. Kesalahan utama kebijakan dan orientasi pertambangan di Indonesia bermula dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan adanya Kontrak Karya (KK) disusul Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Sejak tahun 1967, Indonesia memilih politik hukum pertambangan yang berorientasi pada kekuatan modal besar dan eksploitatif. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah melalui Departemen Pertambangan dan Energi (kini Kementerian Energi Sumber Daya Mineral) berupa regulasi yang berpihak pada kepentingan para pemodal. Pemerintah telah mengeluarkan izin pertambangan sebanyak mungkin dengan mengatasnamakan investasi.
Pertambangan batu bara di Indonesia juga telah diatur dalam UU No.4 Tahun 2009 bahwa di dalamnya ada Izin Usaha Pertambangan, Izin Usaha Pertambangan Khusus, dan Izin Pertambangan Rakyat termasuk dalam eksplorasi dan operasi produksinya. Undang-Undang ini menjadi keran masuknya pengusaha yang kaya untuk ikut mengelola tambang batu bara. Pemberian izin kepada para penambang mengharuskan mereka komitmen untuk memberikan pasokan batu bara 25% dari produksi. Selain itu, mereka bisa mengekspor batu bara ke luar negeri. Mereka akan meraup keuntungan yang besar apalagi jika pasar internasional batu bara tinggi, tentu kemungkinan mereka bisa mendahulukan mengekspornya ke luar negeri ketimbang memenuhi kebutuhan domestik.
Ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan pelarangan sementara ekspor batu bara, para penambang yang berada di bawah payung Asosiasi Penambang Batu bara Indonesia (APBI) menyatakan kebijakan tersebut diambil secara tergesa-gesa dan tanpa dibahas dengan pelaku usaha. Mereka keberatan dan meminta Menteri ESDM untuk mencabut kebijakan tersebut. Beberapa dari mereka merasa sudah memenuhi komitmen memberikan pasokan batu bara DMO. Selain dari itu, hubungan para penambang dan negara lain jadi terganggu (Marketnews.id, 03/01/2022).
Alasan lain yang disampaikan APBI tentang dampak pelarangan ekspor adalah volume produksi 38-40 juta MT per bulan dan pemerintah akan kehilangan devisa hasil ekspor batu bara sebesar sekitar USD3 miliar per bulan. Selain itu, pemerintah akan kehilangan pendapatan pajak dan royalti dari para penambang.
Tidak disangsikan lagi dalam tata kelola sumber daya alam berfondasikan sistem kapitalis yang tujuannya mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Kebijakan-kebijakan yang diberlakukan pemerintah berpihak kepada para pengusaha penambang batu bara. Pemerintah sendiri tidak konsisten alias berubah-ubah dalam menetapkan kebijakan. Pelarangan ekspor telah dilakukan tetapi akhirnya pemerintah memberi kelonggaran melalui Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan investasi, Kamis (13/01), mengizinkan 37 kapal pengangkut batu bara diberangkatkan setelah mendapat persetujuan dari pihak berwenang (Voaindonesia.com,13/01/2022).
Pemerintah dalam hal ini negara, justru melanggengkan pola manajemen pengelolaan batu bara tetap pada para pengusaha penambang yang orientasinya untuk kepentingan pribadi mereka. Jika seperti ini maka kemungkinan krisis pasokan bisa terjadi lagi. Pendapatan dari pajak dan royalti yang diberikan para pengusaha hanyalah remahan-remahan saja yang tidak sebanding dengan pendapatan jika batu bara dikelola oleh negara.
Pengelolaan Batu Bara dalam Pandangan Islam
Dalam pandangan Islam, barang tambang (batu bara) adalah milik umum (collective property) dan hanya dikelola oleh negara di mana hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk barang yang murah atau subsidi untuk kebutuhan primer misalnya pendidikan, kesehatan, dan fasilitas umum (listrik). Berkaitan dengan fasilitas umum, Rasulullah saw. bersabda yang dituturkan oleh Ibnu Abbas:
“ Kaum muslim bersekutu (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, padang, dan api.” (HR. Abu Dawud)
Paradigma pengelolaan sumber daya alam (batu bara) milik umum berbasis swasta (corporate based management) seperti saat ini, harus diubah menjadi pengelolaan kepemilikan umum oleh negara (state based management) dengan tetap mengedepankan kelestarian sumber daya alam (sustainable resources principle). Selain itu, pengelolaan oleh negara dalam rangka melayani rakyat jauh dari motif mencari keuntungan dari rakyatnya, sehingga hubungan negara dan rakyat bukan produsen dan konsumen.
Adapun, sumber pemasukan negara tidak mengandalkan pada pajak dan royalti dari pihak para penambang dan utang luar negeri. Ketentuan syariat Islam bahwa sumber-sumber pemasukan telah ditentukan melalui Baitul Mal. Baitul Mal merupakan kas negara untuk mengatur pemasukan dan pengeluarannya ditentukan syariat Islam. Batu bara sebagai salah satu sumber pemasukan berupa hasil tambang bagian dari sektor kepemilikan umum yang alokasi pengeluarannya pun telah ditentukan oleh syariat Islam. Pendistribusiannya bisa secara langsung diberikan kepada rakyat ataupun dalam bentuk barang yang dibutuhkan seperti listrik, gas, dan minyak secara gratis.
Jelas sekali, pemerintah seharusnya memosisikan sumber daya alam berupa batu bara sebagai kepemilikan umum dan mengelolanya sesuai dengan syariat Islam, sehingga krisis listrik tidak terjadi berulang dari waktu ke waktu. Sudah saatnya perubahan dilakukan oleh pemerintah dari yang paling mendasar yaitu akidah sebagai landasan berpikir dan landasan dalam menyelesaikan permasalahan kehidupan baik individu maupun negara. Akidah Islam akan mampu membawa Indonesia menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur hidup sejahtera dalam naungan Khilafah Islamiah. Wallahu a’lam bishshawab.[]