"Agama, khususnya Islam kerap dijadikan bahan ejekan atau permainan di negara yang mengagungkan toleransi dalam sistem demokrasi-sekuler ini. Kebebasan berpendapat diberikan ruang seluas-luasnya tanpa batas, bahkan menistakan agama. Kemuliaan agama tak dijaga oleh negara."
Oleh. Eni Imami, S.Si
(Pendidik dan Pegiat Literasi)
NarasiPost.Com-Geram rasanya mendengar penistaan agama (Islam) terjadi lagi. Melalui akun media sosialnya seorang politisi dinilai telah menghina Tuhan kaum muslimin. Bagaimana tidak, ia membandingkan Allah-nya yang kuat dan tidak butuh dibela. Tetapi ada Allah yang lain dikatakan lemah hingga butuh dibela.
Jika ia seorang nonmuslim, jelas itu merupakan penistaan agama karena mengarah pada Tuhannya kaum muslimin. Maka, harus diproses hukum sampai tuntas. Namun, jika ia mengaku seorang muslim (muallaf) bukan berarti dimaafkan begitu saja dengan alasan pelaku belum memahami agama Islam secara mendalam, termasuk perkara akidah.
Sebagian pihak telah melaporkan pemilik akun tersebut. Kabar terkini, pelaku sudah ditahan di Rutan Bareskrim Polri. Sayangnya bukan dijerat pasal penistaan agama, melainkan pasal keonaran. Pelaku dijerat Pasal 14 Ayat 1 dan 2 tentang Peraturan Hukum Pidana UU Nomor 1 tahun 1946, kemudian Pasal 45 Ayat (2) Juncto Pasal 28 Ayat (2) tentang UU ITE, dengan ancaman penjara maksimal sepuluh tahun (M.jpnn.com, 11/1/2022).
Hukum tampak begitu lemah terhadap penistaan agama. Maka, tak heran jika kasusnya sering berulang. Pihak berwajib pun baru beraksi ketika penistaan tersebut viral dan masyarakat ramai-ramai melaporkan. Kemudian, pelaku melakukan klarifikasi dan meminta maaf. Masyarakat diminta untuk tenang, tidak terprovokasi dan menghormati proses hukum. Setelah itu apakah kasusnya selesai? Nyatanya tidak. Buktinya, muncul penistaan agama lagi dan lagi.
Agama, khususnya Islam kerap dijadikan bahan ejekan atau permainan di negara yang mengagungkan toleransi dalam sistem demokrasi-sekuler ini. Kebebasan berpendapat diberikan ruang seluas-luasnya tanpa batas, bahkan menistakan agama. Kemuliaan agama tak dijaga oleh negara. Bagaimana bisa negara menjaga agama, peraturan bernegara saja menihilkan aturan agama dalam perundang-undangan. Banyak aspek kehidupan yang dipisahkan dari aturan agama alias sekuler.
Jika ada yang membicarakan ajaran agama Islam harus diterapkan secara kaffah dalam institusi negara, akan dilabeli radikal. Negara dengan penduduk mayoritas muslim ini tak memberikan ruang bagi penerapan syariat Islam. Justru, berupaya menjauhkan umat dari syariat Islam dengan narasi moderasi beragama.
Selama sistem demokrasi sekuler yang diadopsi, kasus penistaan agama akan terus berulang. Karena dalam sistem demokrasi kebebasan berpendapat dilindungi. Kasus penistaan agama dan sejenisnya hanya bisa dihentikan ketika kebebasan diatur dengan aturan yang sempurna. Tiada kesempurnaan kecuali milik Allah Swt., maka seharusnya syariat Allah Swt. diterapkan dalam kehidupan menggantikan sistem demokrasi sekuler.
Dalam sistem Islam, agama adalah sesuatu yang wajib dimuliakan dan dijaga. Karena salah satu tujuan diterapkannya syariat Islam untuk melindungi agama. Islam melarang muslim maupun nonmuslim menjadikan agama sebagai bahan olok-olokan dan permainan. Penguasa dalam sistem Islam sangat tegas terhadap para penista agama, sehingga memberikan efek jera bagi yang lainnya.
Ketegasan penguasa Islam terhadap penistaan agama tampak pada apa yang dilakukan oleh para Khalifah. Khalifah Umar bin Khattab misalnya, pernah mengatakan bahwa barang siapa mencerca Allah atau mencaci salah satu Nabi, maka bunuhlah ia (diriwayatkan oleh Al-Karmani rahimahullah). Sultan Hamid II di masa Kekhilafahan Usmani juga pernah marah pada penguasa Prancis, karena salah surat kabarnya memuat berita tentang pertunjukan teater yang menyeret sosok Nabi Muhammad saw.
Negara dengan sistem demokrasi sekuler telah gagal menjaga agama. Adanya jaminan kebebasan membuat penistaan agama terus berulang dan tidak ada sanksi tegas dari penguasa. Sungguh berbeda dengan negara dalam sistem Islam, agama dimuliakan dan dijaga kehormatannya. Maka, tidak ada pilihan lain untuk mengakhiri kasus penistaan agama kecuali dengan mengganti sistem demokrasi sekuler dengan sistem Islam dalam institusi negara.Wallahu a'lam.[]