"Abra terus membuka keran seputar bos mereka yang serakah dan arogan. Izin sebentar tak diperkenankan, tapi rakus dalam menyunat anggaran. Abra terpaksa patuh karena tak ada pilihan lain. Dia sadar sedang bekerja pada sindikat ahmak yang tak mengenal kata welas asih. Rasa empati lenyap dalam kamus kehidupan mereka."
Oleh. Afiyah Rasyad
(Kontributor Tetap NarasiPost.com)
NarasiPost.Com-Tak ada lagi sinar jingga di ufuk timur, semakin siang jalanan semakin padat oleh lalu-lalang kendaraan. Jembatan Selabuh berdiri acuh tak memedulikan kemacetan yang mengular hingga bilangan kilometer. Peluh para penumpang bus umum bercucuran, begitu pun dengan para pengendara kendaraan pribadi. Meski ber-AC, rasa gerah dan gelisah menyergap tanpa ampun. Kekhawatiran telat kerja atau sekolah berlari maraton dalam benak mereka. Sementara beberapa pekerja borongan sedang santai menikmati kepulan asap rokok dan kopinya.
Setiap lima menit sekali, roda-roda maju sejauh lima sampai lima belas meter saja. Jembatan Selabuh tetap pongah, tak peduli dengan apa yang terjadi. Jarum jam telah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi, banyak kendaraan balik arah mencari jalan tikus. Banyak juga di antara pengendara dan penumpang yang sibuk dengan gawainya. Mereka berkabar pada rekan, guru, atau atasannya bahwa mereka sedang terjebak macet.
"Hol, singkirkan dulu silinder itu, biar ruas jalannya semakin lebar," ujar seorang tinggi jangkung, Abra tangan kanan kepala pemborong.
Orang yang dipanggil Hol tak menyahut sepatah kata pun. Namun, ia bergegas memindahkan tiga silinder yang tak berbaris rapi setelah memastikan jalan yang semalam diaspal telah kering. Saat silinder sudah di pinggir jalan, separuh jembatan Selabuh bisa dilalui. Kendaraan-kendaraan yang sedari tadi mengantre segera melaju saat diberi aba-aba oleh para pekerja. Buka tutup jalan raya pun dilakukan, meski tak semua arah bisa berjalan bersamaan di jembatan itu, paling tidak mengurangi kemacetan.
Kesibukan di jembatan Selabuh belum jua usai hingga tiga pekan lebih. Warga sekitar merasa heran kenapa begitu lama pelebaran jembatan itu. Para pekerja borongan cuek saja dengan kebisingan dan kemacetan yang menjadi pemandangan sehari-hari. Justru, mereka girang jika proyek tak kunjung usai. Mereka tak peduli apa pun sebabnya. Rerata keterlambatan pengiriman bahan infrastruktur jembatan menjadi alasan yang sering berdansa dalam proyek semacam itu. Kalau bukan beton, semen, aspal, apalah lagi itu. Bagi mereka, semakin lama selesai, semakin banyak cuan yang didapatkan.
Lebatnya hujan mengantar para pekerja borongan itu ke peraduan di kolong jembatan Selabuh. Derai obrolan terdengar berkejaran dengan tetesan hujan yang jatuh ke bumi. Riuhnya guntur dan lolongan halilintar membuat mereka insaf dalam suasana obrolan ngelantur. Tema yang paling bertahan lama seputar berapa cuan yang ditilap oleh para bos PT Maskami di negeri antah barantah. Celotehan itu berangkat dari kekesalan Abra, seorang pekerja borongan, tangan kanan kepala pemborong yang tak diizinkan pulang, padahal anaknya sedang sakit parah, sudah dirawat di NICU selama tiga hari.
Sebuah paradigma umum berkeliaran, perusahaan pemborong kerap memanipulasi anggaran, sebab pemerintah setempat juga akan meminta jatahnya. Kengerian yang diamini oleh semua pihak. Beton lima lonjor seharusnya cukup menahan jembatan, tertulis tujuh hingga sepuluh lonjor dalam anggaran. Belum lagi realisasi yang datang hanya 4 lonjor saja. Abra nyerocos tiada henti, mengomentari segala keburukan tata pola pemangku kebijakan yang pro pada korporasi. Sengitnya obrolan tak jua henti, terus beradu dengan hujan angin yang setia memeluk bumi. Abra terus membuka keran seputar bos mereka yang serakah dan arogan. Izin sebentar tak diperkenankan, tapi rakus dalam menyunat anggaran. Abra terpaksa patuh karena tak ada pilihan lain. Dia sadar sedang bekerja pada sindikat ahmak yang tak mengenal kata welas asih. Rasa empati lenyap dalam kamus kehidupan mereka.
Tirai hujan telah berkurang, tangan Abra fokus memasukkan semen dalam pengolahan lolo atau adonan semen buat cor. Sementara angannya berkelana pada Pak Bambang, kepala pemborongnya dulu. Dia begitu baik dan bersih, sekarang jadi tahanan kota gara-gara menolak tawaran bupati untuk manipulasi data anggaran. Dia juga menolak pengadaan alat dan bahan dari pemerintah setempat karena jembatan yang sedang dibangun saat itu tanggung jawab pemerintah provinsi.
Pak Bambang tegas menolak cek senilai harga Alphard. Dia meminta maaf dengan santun pada pemimpin wanita itu. Baginya, menjaga harga diri sebagai seorang muslim adalah wajib. Sehingga, dia berhadapan dengan sejumlah kasus yang mengada-ada. Walhasil dia jadi tahanan kota. Sejak itu, kepala pemborong berganti. Tak ada lagi belas kasih dan shift istirahat, jatah jam kerja lebih panjang, sementara upah tetap. Namun, Abra tetap mendekat dan dijadikan tangan kanan si bos baru.
Hati Abra bergejolak keras. Seakan ada bara yang membuat hatinya mendidih. Walau dingin mencekam, keringat di tubuhnya bercucuran. Sindikat ahmak sudah merjalela, dia tahu itu. Namun, dia tak mampu mencegah apa pun. Dia teringat pesan sang ustaz sewaktu SMA yang membacakan Hadis Nabi, "Jika melihat kemungkaran, cegahlah dengan tangan, jika tak mampu dengan lisan, jika masih tak mampu, cegah dengan hati. Namun, itu selemah-lemah iman."
Ingatan berkelindan mengelikingi kepalanya. Dia seorang muslim, dia pernah mengkaji Islam meski tak rutin seperti istrinya. Sebelum jadi pekerja borongan, ia malas-malasan ikut kajian intensif itu dengan dalih klasik, capek sehabis bekerja. Padahal, waktu itu jam 15.00 dia sudah bisa ngeteh di rumah dan mengingu peliharaannya. Hakikat hidup yang pernah ia dengar, memuai sempurna demi cuan dalam saku. Bahkan, salat saja kini sering ia tinggalkan, padahal masih ada dispensasi bagi yang hendak menunaikan salat.
Abra tak memungkiri kerasnya pekerjaan kuli, bukan sebatas keras bahan dan alatnya, namun tempaan ujian dan cobaan dari lingkungan juga sangat keras. Sampai-sampai dia hampir melupakan keberadaan Sang Pencipta. Jika anaknya tak sedang sakit parah, mungkin dia akan menikmati semburat kepingan kebahagiaan fana. Jika ia mendapat izin menjenguk anaknya, bisa jadi dia larut dalam lautan kemaksiatan.
Hujan telah sepenuhnya reda, namun gerimis di hati Abra justru membesar. Dia menginsafi pekerjaannya yang penuh risiko, bukan karena area licin dan berbahaya, namun pekerjaan di dunia infrastruktur pemerintah diliputi dengan manipulasi dan kebohongan. Bahkan, dia terlalu sering mengamini saat takaran semen harus dikurangi hingga 25 persen dalam tiap adonannya. Dia pun sering menerima cuan sebagai uang tutup mulut saat ia memergoki kepala pemborong menerima tips dari kepala daerah setempat, tak banyak katanya, hanya senilai emas antam 200 gram. Sementara uang tutup mulutnya setara dengan gajinya dua bulan saat bekerja di perusahaan pelat merah dulu.
Cuan tutup mulut itu tak pernah ia kirim pada anak istrinya. Sebab, Abra paham, istrinya tak akan senang menerima dengan uang mendadak banyak seperti itu. Justru rentetan pertanyaan panjang sang istri akan menimpanya, di mana panjangnya mengalahi panjang jalan Anyer-Panarukan. Sialnya, pertanyaam istrinya akan bermuara pada petuah yang bisa membuat hatinya mendidih dan terbakar. Cuan dari kegelapan itu akhirnya habis buat foya-foya bersama temannya. Abra jadi latah mengikuti arus kepala pemborong yang pernah mentraktirnya di meja kelab malam. Bukan hanya segelas barang haram yang diteguk, bisa berbotol minuman dia habiskan demi mengusir kesepian dan kekosongan waktu kala istirahat. Dunia malam menjadi dekat dengannya. Netranya basah, air mata jatuh tanpa permisi. Penyesalan memukul tepat di relung jiwanya.
Jembatan Silabuh masih terlalu angkuh untuk bisa diselesaikan dalam waktu cepat. Abra mulai menemukan titik terang dalam sudut hatinya. Tangan kokoh nan licah tetap fokus mengolah semen sesuai takaran, sementara angannya masih melalang buana bersama rasa muak pada para sindikat ahmak, termasuk rasa muak pada dirinya. Selama ini ia pun menjadi bagian sindikat ahmak yang sangat tamak. Padahal, istrinya berulang kali berpesan agar berhati-hati dalam bekerja. Dia abaikan begitu saja nasihat itu. Kesetiaan terbangun untuk menyandera perhatian kepala pemborong saat ini. Namun, pahitnya kenyataan tak bisa dihindari. Kepala pemborong hanya peduli pada besaran materi, tak ada rasa manusiawi. Cuti barang sehari untuk menjenguk anak istri pun tak ia beri. Sungguh, Abra sedih tak terperi. Maka, azzam yang kuat telah terikat dalam diri. Dia akan berhenti dan pulang menemui anak istri. Dia berkomitmen akan berhijrah dengan sepenuh hati. Dia tak ingin menjadi sindikat ahmak sampai mati.[]