"Masalah pasokan energi memang cukup pelik dan penuh polemik karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Akar masalah yang sebenarnya, rasanya belum disadari penuh oleh pemerintah dan stakeholders negeri ini, yang seharusnya menyelesaikan krisis ini dengan berlari, bukan merangkak."
Oleh. Ahsani Annajma
(Penulis dan Pemerhati Sosial)
NarasiPost.Com-Batu bara oh batu bara, engkau hitam legam namun wujudmu diburu. Sektor batu bara sejauh ini masih mendominasi bahan bakar pembangkit tenaga listrik. Namun nahas, berita krisis listrik akibat pasokan batu bara yang mengalami defisit belakangan ini di PT. PLN (persero) mengejutkan publik, pasalnya kondisi ini secara otomatis akan mengancam kelistrikan nasional. Sangat ironi, lantaran bertolak belakang dengan posisi Indonesia sebagai produsen batu bara terbesar ketiga di dunia, setelah Cina dan India.
Pemerintah RI, melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terpaksa harus menarik "rem darurat" larangan untuk melakukan ekspor batu bara mulai tanggal 1 Januari hingga 31 Januari, yang bertujuan untuk mengamankan stok bahan bakar bagi pembangkit listrik dalam negeri (PLN). Lantas apa yang menyebabkan hal ini terjadi?
DMO vs Ekspor
Dikutip dari beberapa sumber, penyebab masalah pasokan batu bata di PLN ini terjadi karena rantai pemasok yang bermasalah. Pertama, perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau IUPK tahap kegiatan Operasi Produksi, dan IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian dan PKP2B tidak taat memenuhi ketentuan wajib untuk memasok dalam negeri (domestic market obligation/DMO) yang harus diikuti sebesar 25%. (4/1/22).
Menurut laporan Kementerian ESDM, tingkat kepatuhan ratusan perusahaan tambang batu bara untuk memenuhi DMO sangat rendah. Dari target 25% untuk DMO pada tahun 2021, realisasinya hingga akhir Desember 2021 hanya mencapai 63,57 juta ton. Artinya, hanya terealisasi sebesar 10% dari total produksi sepanjang tahun.
Kedua, terjadi disparitas di pasar global dengan dalam negeri. Harga jual batu bara dalam negeri sebesar $70/MT, sedangkan Harga Batu Bara Acuan (HBA) di bulan Desember mencapai $159.79/MT.(cbnindonesia.com,19/12/21)
Alhasil, wajar saja jika sejumlah perusahaan produsen ini lebih tergiur melakukan ekspor untuk meraih cuan besar ketimbang memenuhi DMO itu sendiri hingga tidak mampu untuk memenuhi 25 persen target.
Polemik yang Pelik
Mengacu pada kebutuhan batu bara seluruh dunia akibat krisis batu bara yang terjadi, oleh karena itu pemerintah memutuskan mengamankan sumber daya batu bara yang ada guna menjaga ketersediaan domestik. Hal ini mendapat respons keras dari Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) dan menyesalkan keputusan pemerintah. Menurutnya, penyetopan sementara ekspor batu bara akan berdampak negatif karena akan mengganggu tingkat produksi nasional sebesar 38-40 juta metrik ton dan negara berpotensi kehilangan devisa hasil ekspor batu bara sekitar $3 miliar per bulan. Yang tak kalah penting, keputusan tersebut dinilai dapat menggoyang pasar dunia mengingat peran Indonesia sebagai pengekspor utama batu bara. Negara-negara di Asia Pasifik seperti Cina, Jepang, India dan Korea Selatan khawatir akan ikut terkenda dampaknya.
Pernyataan sikap datang dari Direktur Jenderal (ESDM), Ridwan Jamaludin, yang mangatakan bahwa pemerintah seharusnya memutuskan memperbaiki kontrak jangka panjang batu bara agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan suplai domestik. Sementara terjadi perubahan skema DMO yang dapat dievaluasi setiap bulan oleh Menteri ESDM. Masalah pasokan energi memang cukup pelik dan penuh polemik karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Akar masalah yang sebenarnya, rasanya belum disadari penuh oleh pemerintah dan stakeholders negeri ini, yang seharusnya menyelesaikan krisis ini dengan berlari, bukan merangkak. Penyetopan ekspor batu bara ini hanya solusi yang bersifat temporal. Di satu sisi, peningkatan kebutuhan akan sumber daya batu bara sebagai bahan energi listrik akan terus mengalami peningkatan.
Pengelolaan Kapitalistik Liberal Biang Masalah
Polemik ini sejatinya wajar saja terjadi, sebab sejak awal pengelolaan batu bara diserahkan kepada ekonomi kapitalistik, konsep kapitalisme neoliberal tidak memberikan manfaat bagi rakyat. Konsep ini menjadikan korporasi menguasai sumber daya energi dan tambang. Jika para pengusaha lebih memilih memenuhi permintaan global dibanding memenuhi DMO rasanya tidak adil, dengan harga standar US$ 70 per ton, apakah harga standar yang ditetapkan dalam negeri untuk listrik ini lantas menjadi rugi? Tentu tidak. Biaya pokok produksi batu bara yang telah dihitung oleh konsultan, hanya berkisar US$ 20-30 per ton tergantung dengan rasio ketebalan lapisan tanah untuk menemukan batu bara.
Berdasarkan Minerba One Data Indonesia (MODI) yang dipublikasikan oleh Kementerian ESDM, realisasi penerimaan negara dari sektor pertambangan mineral dan batu bara menembus angka Rp49,84 triliun melampaui target pemerintah (6/10/21). Namun, penjualan hasil tambang yang masuk ke dalam kas negara hanya sekitar 4% dari keuntungan bersih pemilik UPK operasi produksi, jauh dibandingkan penerimaan riil yang diterima korporasi batu bara. Mirisnya, cuan yang besar masuk ke kantong-kantong korporat, negara dan rakyat sebagai pemilik mengalami kondisi sekarat.
Persekongkolan Oligarki Politik dan Pemilik Modal
Edward Aspinall dan Greg Fealy dalam riset tentang politik kekuasaan di Indonesia, menyatakan bahwa kekuasaan politik Orde Baru telah mewariskan pemerintahan otoritarian birokratik, dimana sebagian kebijakannya dibuat oleh teknokrat, sehingga tidak memungkinkan adanya proses tawar-menawar (otoriter). Di sinilah lahirnya perilaku oligarki predator yang mengakar secara terstruktur dalam relalitas ekonomi. Pasca runtuhnya rezim Orde Baru, kekuatan oligarki telah berhasil mengamankan diri dalam pemerintahan dan menguasai struktur ekonomi dan kekuasaan politik. Karena itu, hingga saat ini kita masih merasakan cengkeraman para oligarki rezim, mereka memiliki kemampuan untuk selalu menyusup dalam setiap rezim kekuasaan yang berdiri.
Semakin sempurna ketika persekongkolan oligarki itu mendapat kebebasan payung hukum dalam UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan UU No.11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Perusahaan yang telah mengantongi konsesi mendapatkan kebebasan untuk melakukan perencanaan produksi dan pemasaran kepada siapa saja. Pemerintah seakan tidak berdaya dan hanya dijadikan sebagai "satpam" korporat untuk diminta persetujuannya saja.
Bak jatuh tertimpa tangga, fakta terbaru mengenai aturan penguasaan sumber daya alam di Indonesia, dalam hal ketentuan pidana, UU No. 3 tahun 2020, menghapuskan kejahatan korporasi yang melakukan pelanggaran pidana sebagaimana disebutkan dalam UU No.4 tahun 2009. Artinya, di dalam UU No.3 ini, tindak pidana benar-benar hanya difokuskan pada individu atau perorangan sebagaimana bunyi pada Pasal 162 UU Minerba No. 3 Tahun 2020, bahwa masyarakat yang mencoba mengganggu aktivitas pertambangan dalam bentuk apa pun dapat dilaporkan balik oleh perusahaan dan dijatuhi pidana, parahnya dapat dikenai denda hingga sebesar 100 juta rupiah. Aturan yang sangat tidak masuk akal ini seolah melenggangkan kesewenang-wenangan para oligarki politik dan kapitalis.
Sosiolog Prancis Bernama Henri Lefebvre, dalam teorinya “ La production de l’espace ” (teori produksi ruang) yang terkenal di antara para pengkritik ideologi kapitalisme mengungkapkan bahwa keberhasilan kapitalisme untuk memperpanjang napasnya agar tidak hancur seperti yang diramalkan oleh Karl Marx, adalah melalui cara produksi dan reproduksi ruang-ruang ekonomi secara terus-menerus dalam skala global. Melalui cara tersebutlah kapitalisme mampu keluar dari keadaan krisis terberat sekalipun. David Harvey dalam bukunya berjudul The New Imperialism telah menjelaskan hubungan antara kapitalisme dengan produksi ruang, salah satu pilar terpenting menurutnya adalah membuka kompleks-kompleks sumber daya baru, termasuk senantiasa menyediakan sumber-sumber daya mineral baru untuk menopang industrialisasi para kapitalis. Karena itu, dimana berada sumber-sumber mineral/tambang, disitulah para kapitalis bersama oligarki politik bercokol.
Kekayaan Sumber Daya Alam adalah Milik Umum
Dari fakta terebut, tampak bahwa sektor pertambangan Indonesia belum dikelola secara optimal oleh negara. Islam berbeda dengan konsep pengelolaan kapitalistik, Islam sebagai aturan hidup yang berasal dari Ilahi mengatur kehidupan secara sempurna dan menyeluruh. Sehingga, negara dapat meriayah secara mandiri tanpa intervensi asing dan tanpa membebani rakyat.
Imam Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Nizam al-Iqtisadi fi al-Islam, beliau berpendapat bahwa hutan dan bahan galian tambang yang tidak terbatas jumlahnya dan tidak mungkin dihabiskan adalah milik umum dan harus dikelola oleh negara. Oleh karena itu, pada masa Khilafah Islam, sektor pertambangan menjadi salah satu pos pemasukkan Baitul Mal, sebagai sub pos penerimaan kepemilikan umum. Harta tersebut dikelola oleh negara yang kemudian didistribusikan secara merata dan dinikmati hasilnya oleh rakyat. Inilah kekhasan sistem ekonomi dalam Islam, membawa kemaslahatan untuk rakyatnya, tidak seperti di dalam sistem kapitalisme yang banyak membawa kemudharatan.[]