Haruskah Fitrah Anak Ternoda oleh Prinsip Moderasi Beragama?

"Maka sungguh parenting wasathiyah menjadi bagian tak terpisahkan dari pengarusutamaan moderasi beragama yang nyata berasal dari Barat. Hal ini mendekatkan mereka dengan kriteria muslim yang disukai imperialis Barat."

Oleh. Yuliyati Sambas
(Pegiat Literasi Komunitas Penulis Bela Islam AMK)

NarasiPost.Com-“Setiap anak yang lahir dilahirkan di atas fitrah. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Majusi, atau Nasrani.” (HR. Muslim)

Ibarat kertas putih, seorang anak demikian suci, bersih dari noda dan siap untuk digembleng dan menerima kebenaran Islam. Namun arahan dari orang tua termasuk lingkungannyalah yang akan mempengaruhi kertas putih tersebut. Dan saat ini keluarga muslim tengah menghadapi bahaya luar biasa. Anak-anak generasi khairu ummah dijauhkan dari fitrahnya oleh sistem yang ada dengan diaruskannya program Parenting Kebangsaan dan Wasathiyah.

Parenting Kebangsaan dan Wasathiyah, Mendukung Grand Design Moderasi Nasional

Dilansir oleh antaranews.com (2/11/2021) bahwa Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Yoyakarta meluncurkan program Parenting Kebangsaan untuk mengajak semua keluarga berpartisipasi aktif menumbuhkan jiwa nasionalisme anak sejak dini. Dalam pelaksanaannya Kesbangpol menggandeng dua program lain yakni Kampung KB dan Bina Keluarga Balita.

Wakil Wali Kota Yogyakarta, Heroe Poerwadi menyatakan program tersebut salah satunya untuk menjawab tantangan para orangtua dewasa ini terkait masifnya arus globalisasi yang seolah tumbuh tanpa batas. Di mana solusinya adalah dengan menyuburkan jiwa nasionalisme buah hati.

Beberapa waktu sebelumnya (Juli-September 2020), telah digagas dan dilaksanakan pula program yang hampir serupa berupa Parenting Wasathiyah. Diselenggarakan oleh tim pengabdian UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, bertempat di TPQ (Taman Pendidikan Al-Quran) Nurul Iman Masjid Al-Fath Perumahan Karangploso View, Desa Ngenep, Kecamatan Karangploso, Kabupaten Malang. Pelaksana program, Benny Afwadzi mengungkapkan dalam jurnal penelitiannya bahwa program tersebut sebagai bentuk kontribusi dalam upaya menyelesaikan problem radikalisme dan terorisme di Indonesia yang telah melibatkan anak-anak di dalamnya. Ia mencontohkan kasus bom bunuh diri tahun 2018 di tiga gereja di Surabaya di mana pelakunya adalah satu keluarga bersama empat anaknya.

Kedua program di atas sangat mungkin menjadi pilot project untuk ditiru di wilayah lainnya. Hal tersebut untuk mendukung grand desain moderasi yang tengah diaruskan pusat.

Kritisi atas Parenting Kebangsaan dan Wasathiyah ala Moderasi

Betapa masifnya arus moderasi beragama hingga anak usia dini pun digiring mendapatkan pola pengasuhan berbasis moderasi. Padahal, justru di usia dini anak-anak kaum muslimin wajib diajarkan terkait nilai dasar tauhid yang bersih dari unsur yang mengotorinya. Ada beberapa hal di mana parenting kebangsaan dan wasathiyah ini butuh untuk dikritisi.

Pertama, sebagai muslim, perkara tauhid adalah pokok agama yang wajib dijunjung tinggi. Mulai dari meyakini bahwa Allah adalah satu-satunya Zat Yang Maha Pencipta dan Pengatur. Hanya aturan-Nyalah yang wajib diterapkan secara menyeluruh sekaligus mampu menyolusikan semua problematika kehidupan. Sementara dengan parenting kebangsaan dan wasathiyah, yang diajarkan justru ide liberal dan sekuler yang melarang orang tua memberi pengasuhan dengan sudut pandang kebenaran agama (Islam).

Bagaimana bisa seorang anak muslim diarahkan dan dipahamkan bahwa agama yang diajarkan orang tuanya bukanlah satu-satunya agama yang benar sebagaimana yang diajarkan dalam prinsip moderasi dengan prinsip pluralismenya? Sementara Al-Qur'an surat Ali Imran ayat 19 menyatakan bahwa hanya Islamlah agama yang diridai Allah. Mungkinkah orang tua muslim rela mendidik anak-anaknya mencampur-adukkan kebenaran agamanya dengan ajaran agama lain atas alasan toleransi yang kebablasan ala moderasi? Tentu mustahil.

Kedua, benarkah solusi untuk menjawab tantangan masifnya globalisasi tanpa batas, yang banyak memberi efek buruk pada karakter, sifat, dan akhlak generasi adalah dengan memberi pengasuhan berbasis kebangsaan ala moderasi?

Sebagaimana kita pahami globalisasi di semua lini kehidupan berhasil menyebarkan prinsip kebebasan, hedonisme, sekularisme, agnotisme bahkan hingga ateisme sekalipun. Sasarannya adalah generasi Islam. Di mana prinsip-prinsip berbahaya tersebut justru diadopsi dari budaya kufur Barat. Hal itu akan diserap dan menjadi karakter generasi yang merusak. Kerusakan itu dapat kita lihat mulai dari rapuhnya benteng keimanan generasi; rusaknya moral dan adab; pergaulan dan seks bebas, hingga prostitusi; narkoba; dan sederet persoalan generasi lainnya yang kian mengkhawatirkan.

Itu semua bukan dikarenakan generasi tak paham akan prinsip kebangsaan dan nasionalisme. Bukan juga dikarenakan generasi “terlalu fanatik” pada ajaran agamanya sebagaimana yang banyak dituduhkan selama ini. Bukan. Sungguh bukan demikian.

Karena faktanya, pihak-pihak yang menyebut diri paling nasionalis dan pancasilais, tak sedikit yang terseret pusaran kapitalistik ketika mereka menjauhkan agama dari pengaturan kehidupannya. Demi jabatan, mereka berani main curang. Demi meraih materi, korupsi pun menjadi tradisi. Demi meraih simpati masyarakat, mereka berlomba mempercantik topeng pencitraan. Segala cara dilakukan ala machiavellisme. Demi teraihnya restu dari adikuasa dunia, mereka rela mengekor semua arah kebijakan dan prinsip yang disodorkan, termasuk prinsip nation state (negara bangsa). Sehingga, permisivisme telah menjadikan negeri ini menjadi spons peradaban Barat yang menyerap apa pun yang berasal dari Barat hatta budaya dan nilai-nilai rusaknya. Dari sini, yakinkah bahwa parenting berbasis kebangsaan ala moderasi akan melahirkan generasi yang tahan gempuran arus globalisasi yang merusak?

Ketiga, siapa pun sepakat bahwa aksi-aksi terorisme itu wajib diberantas tuntas. Namun, sungguh ada ketidaktepatan dalam menyimpulkan akar persoalan. Mereka menuduh sepihak bahwa radikalisme dan terorisme dilakukan oleh kaum ekstremis kanan yakni muslim yang menghendaki kehidupan mereka diatur sepenuhnya oleh ajaran Islam. Maka solusinya adalah dengan menderaskan upaya moderasi beragama ala wasathiyah yang senantiasa mengambil jalan tengah (tidak ekstrem). Bahkan, pola pengasuhan pun diarahkan dengan prinsip wasathiyah.

Padahal, terorisme sesungguhnya bukanlah stereotip dari agama atau etnis tertentu. Terbukti aksi teror bisa dilakukan oleh pihak dengan basis agama atau etnis apa pun, bahkan yang tak beragama sekalipun. Namun, jika makna terorisme diserahkan sepihak pada pandangan Barat, maka telunjuk sesat tertuju pada kelompok Islam yang menghendaki ajaran agamanya mengatur seluruh sendi kehidupan. Terhitung sejak kebijakan War on Terorism digaungkan Barat. Mereka mengotak-kotakkan Islam hingga mengklasifikasikan ciri-cirinya menjadi empat kelompok: radikal fundamental, liberal, tradisional, dan moderat. Selanjutnya atas rekomendasi Rand Corporation, lembaga think tank Amerika, Barat (Amerika) mengampanyekan pada dunia -termasuk ke Indonesia- bahwa kelompok radikal fundamental yang disasar dan difitnah sebagai kelompok pendukung atau penyemai terorisme. Sementara yang paling bisa bekerja sama dan mengikuti kebijakan imperialis mereka adalah Islam moderat.

Dari sinilah negara-negara di dunia, termasuk Indonesia mengambil kebijakan moderasi beragama sebagai bentuk penerimaan konsepsi yang diajukan sang Tuan Barat. Tak terkecuali diperkenalkannya program parenting wasathiyah yang berlandaskan moderasi. Maka sungguh parenting wasathiyah menjadi bagian tak terpisahkan dari pengarusutamaan moderasi beragama yang nyata berasal dari Barat. Alih-alih membentuk generasi muslim yang taat akan ajaran Islam, yang ada justru makin mendekatkan mereka dengan kriteria muslim yang disukai imperialis Barat.

Jauhnya Umat dari Syariat

Jika jeli, kita akan dapati bahwa akar permasalahan dari semuanya adalah jauhnya umat dari syariat (ajaran Islam yang kaffah). Sistem kehidupan rusak yang dianut umat kini yakni kapitalisme sekuler liberal. Sebuah sistem kehidupan yang disebarkan Barat dalam mengokohkan cengkeraman kuasa atas negara-negara di dunia. Karenanya meski negeri ini berpenduduk mayoritas muslim, bahkan terbesar sedunia, namun hingga dalam urusan pengasuhan di level terkecil keluarga pun kini diarahkan dengan prinsip kebangsaan dan wasathiyah ala moderasi pesanan Barat. Anak-anak generasi umat pun tak luput dijauhkan dari kesucian fitrahnya melalui prinsip moderasi.

Konsep Pengasuhan dalam Pandangan Islam

Sangat berbanding terbalik dengan bagaimana Islam memandang terkait pengasuhan anak. Islam mengamanahkan kepada orang tua untuk mengasuh, mendidik dan menyayangi buah hati dengan pola parenting islami. Pengasuhan di awal kehidupan anak adalah bekal dasar yang akan menyemai bibit-bibit ketakwaan pada Sang Pencipta. Diawali dengan peletakan dasar akidah Islam. Dengan prinsip syahadat di mana di dalamnya terkandung makna pengesaan Allah Swt. dan meyakini bahwa Baginda Muhammad saw. adalah utusan-Nya untuk diikuti setiap ajaran yang diembannya.

Orang tua muslim pun wajib memastikan buah hatinya digembleng dengan bekal keyakinan untuk tidak berlaku syirik (menyekutukan Allah). Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an surat Luqman ayat 13, ‘Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran kepadanya, “Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.”

Didikan adab dan akhlak yang baik senantiasa disandarkan pada pandangan syariat. Islam mengajarkan bahwa muslim wajib saling mengasihi antarsesama makhluk Allah, meski berbeda suku, bangsa, budaya, warna kulit, bahasa dan seterusnya. Tak ada perbedaan di mata Allah atas setiap insan kecuali dalam hal takwanya. Akhlak Islam pun mengarahkan untuk tasamuh (toleransi) pada pemeluk agama lain. Dengan tidak mengganggu dan membatasi pelaksanaan ibadah mereka, tanpa dirinya turut serta dalam ibadah tersebut.

Di samping itu, keluarga muslim pun membutuhkan lingkungan masyarakat yang searah dengan visi misi pengasuhannya. Yakni untuk mengarahkan anak-anak generasi umat menjadi pribadi yang kokoh keimanannya, kuat dalam berpegang teguh terhadap syariat agamanya yang kaffah. Bukan seperti gambaran masyarakat sekuler dan liberal yang ada saat ini.

Terakhir, keluarga muslim pun membutuhkan atmosfer kebaikan yang sempurna. Dalam mendidik dan mengarahkan anak-anaknya. Lingkungan sekolah dengan kurikulum yang diajarkan. Juga tata aturan (undang-undang) yang diberlakukan di tengah-tengah masyarakat pun butuh selaras dengan visi misinya. Di sinilah umat membutuhkan negara yang menerapkan syariat Islam yang menyeluruh agar sempurna pula pembentukan pola didikan pada generasi umat yang tetap dalam fitrahnya yakni berpegang pada aturan Pencipta. Bukan negara dengan sistem kapitalisme sekulernya, yang bahkan kedaulatannya senantiasa ada di ketiak adikuasa Barat. Negara tersebut adalah Daulah Khilafah Islamiyah ‘ala Minhaj An-Nubuwwah.

Wallahu a’lam bi ash-shawwab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Yuliyati Sambas Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Kebijakan BBM Premium, Kado Pahit di Masa Sulit
Next
Tulang Punggung Kedua
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram