Kebijakan yang cenderung ‘mencekik’, terus dirasakan masyarakat negeri ini. Sudah tak terhitung berapa banyak kebijakan yang konon demi kebaikan rakyat, nyatanya omong kosong.
Oleh. Sartinah
(Pegiat Literasi)
NarasiPost.Com-Euforia menyambut tahun 2022 rupanya tak berbanding lurus dengan kebijakan pahit di tahun baru. Pasalnya, mulai tahun 2022, pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral berencana mengganti bahan bakar minyak (BBM) jenis Premium dengan Pertalite. Hal ini dilakukan sebagai masa peralihan sebelum BBM jenis Pertalite pun akan digantikan dengan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan.
Tak pelak, wacana tersebut kemudian memantik polemik di tengah masyarakat. Di satu sisi, demi alasan memperbaiki lingkungan, masyarakat mau tidak mau harus mendukung kebijakan pemerintah. Namun di sisi lain, harga BBM ramah lingkungan seperti Pertamax yang sangat mahal berpotensi melemahkan daya beli masyarakat. Selama ini, Premium dan Pertalite memang menjadi bahan bakar alternatif yang cukup ramah dikantong masyarakat menengah ke bawah. Wacana penghapusan tersebut tentu berpotensi menimbulkan gejolak jika pemerintah tidak menyediakan solusi BBM murah lainnya.
Alasan Penghapusan
Pemerintah beralasan, rencana penggantian BBM jenis Premium ke Pertalite dan dari Pertalite ke bahan bakar ramah lingkungan adalah untuk memperbaiki kondisi lingkungan. Direktur Pembinaan Usaha Hilir Migas Soerjaningsih mengatakan, pemerintah secara serius memperbaiki kondisi lingkungan dengan mendorong BBM RON 90 sebagai bahan bakar antara, menuju BBM yang lebih ramah lingkungan. (Tempo.co, 26/12/2021)
Selama ini, BBM jenis Premium yang memilik RON 88 dianggap kurang ramah lingkungan karena memiliki RON terendah. Dalam kalkulasi pemerintah, peralihan dari Premium ke Pertalite akan menurunkan kadar emisi CO2 sebesar empat belas persen. Selanjutnya, peralihan dari Pertalite ke BBM ramah lingkungan seperti Pertamax, akan menurunkan kadar emisi sebesar 27 persen. RON (Research Octane Number) sendiri merupakan kekuatan tekanan atau kompresi BBM terhadap mesin. Semakin tinggi nilai oktan, maka semakin baik bahan bakar tersebut dalam mencegah ketukan dalam pembakaran mesin.
Jika penghapusan Premium dan Pertalite benar-benar terjadi, maka masyarakat hanya akan menggunakan bahan bakar yang memiliki RON 92 atau jenis Pertamax. Namun yang jadi pertanyaan, sanggupkah masyarakat membeli bahan bakar jenis Pertamax yang saat ini dibanderol sekitar Rp9.000 per liter dan Pertamax Turbo dengan harga Rp12.000 per liter? Benarkah niat pemerintah menghapus Premium hanya murni karena alasan lingkungan? Atau justru ada motif ekonomi yang tersembunyi di balik layar?
Dampak terhadap Masyarakat
Roadmap atau peta jalan peralihan BBM diprediksi menimbulkan efek domino di tengah masyarakat. Khususnya kalangan menengah ke bawah yang memang paling terdampak dari rencana penghapusan Premium dan Pertalite. Akibatnya, masyarakat harus mengeluarkan biaya yang lebih besar untuk belanja energinya.
Hal ini jelas menambah beban keuangan rakyat yang sudah sulit. Apalagi tidak hanya rencana penghapusan Premium yang menjadi kado pahit di awal tahun. Menyongsong 2022, masyarakat juga harus bersiap menerima kado pahit lainnya dari para pemangku kebijakan negeri ini. Di antaranya, kenaikan gas LPG nonsubsidi, usulan kenaikan tarif listrik, dan kenaikan tarif PPN dari sepuluh persen menjadi sebelas persen.
Kebijakan yang cenderung 'mencekik' terus dirasakan masyarakat negeri ini. Sudah tak terhitung berapa banyak kebijakan yang konon demi kebaikan rakyat, nyatanya omong kosong. Kebijakan tak merakyat tersebut justru menyebabkan daya beli akan semakin menurun karena tingginya harga-harga kebutuhan dasar. Di saat yang sama, bayang-bayang kemiskinan massal terpampang di depan mata. Bila hal ini dibiarkan tanpa langkah mitigasi, bukan tidak mungkin akan mendorong terjadinya inflasi. Namun, inflasi terjadi bukan disebabkan oleh tingginya permintaan dan meningkatnya daya beli, melainkan karena kebijakan pemerintah.
Aroma Kapitalistik di Balik Pengurusan Rakyat
Harga bahan bakar minyak yang cenderung mahal di tengah melimpahnya sumber daya alam menjadi ironi di negeri ini. Terlebih untuk BBM yang lebih ramah lingkungan seperti Pertamax. Mahalnya harga tersebut karena BBM jenis Pertamax dijual mengikuti harga internasional. Selain itu, adanya privatisasi dan liberalisasi di sektor migas menjadikan sumber-sumber kekayaan negeri ini berpindah kepemilikan ke tangan para kapitalis. Maka tak heran jika rakyat terpaksa membayar mahal untuk sekadar menikmati bahan bakar minyak.
Jika niat penghapusan Premium dan Pertalite benar-benar untuk memperbaiki kondisi lingkungan, maka hal itu patut diapresiasi. Sayangnya, sebagian pengamat menilai bahwa rencana penghapusan Premium dilakukan karena motif ekonomi. Yakni untuk melakukan penghematan karena membengkaknya APBN. Bengkaknya anggaran menyebabkan utang pemerintah mencapai Rp6,711 triliun. Sementara di sisi lain, pemerintah dituntut menurunkan tingkat anggaran di bawah tiga persen hingga 2023. Akhirnya, segala cara dilakukan untuk menghemat anggaran termasuk menghapus Premium.
Andaikan pemerintah benar-benar peduli dengan urusan lingkungan dan kesehatan masyarakat, seharusnya pemerintah juga peduli terhadap dampak yang ditimbulkan dari penghapusan Premium. Sayangnya, pengelolaan energi yang cenderung kapitalistik akan menghasilkan kebijakan yang selalu berhitung untung-rugi, baik saat ini maupun di masa yang akan datang.
Karena itu, butuh perubahan mendasar terhadap pengaturan energi agar masyarakat bisa menikmati BBM murah bahkan gratis. Pengaturan tersebut hanya mampu diwujudkan jika Islam dijadikan sebagai solusi atas segala permasalahan, termasuk menyelesaikan karut-marut pengelolaan energi.
Energi Menurut Islam
Dalam Islam, prioritas utama hadirnya negara adalah mewujudkan kesejahteraan rakyat. Karena itu, pengelolaan dan pengaturan sumber energi benar-benar murni demi kemaslahatan, bukan untung-rugi. Pengaturan energi dalam Islam dapat dilakukan sebagai berikut: Pertama, Islam memandang bahwa energi termasuk di dalamnya BBM merupakan harta milik umum. Sehingga, rakyat berhak mendapatkan dan menikmatinya sesuai kebutuhan dengan adil tanpa terkecuali. Rasulullah saw. bersabda: “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad)
Api dalam hadis di atas merujuk kepada energi. Karena itu, tidak boleh ada individu maupun swasta yang berhak memiliki dan mengelolanya. Negara menjadi pihak yang paling berhak mengelola harta milik umum dan hasilnya ditujukan untuk kemaslahatan rakyat, baik dalam bentuk langsung maupun tidak langsung. Negara pun tidak boleh menjadikan BBM sebagai ladang bisnis dengan rakyatnya demi memburu keuntungan.
Kedua, Islam juga sangat memperhatikan kelestarian lingkungan. Karena itu, negara akan menggunakan teknologi eksplorasi atau pengelolaan BBM yang ramah lingkungan. Dalam hal ini bisa memanfaatkan dan memberdayakan berbagai hasil penelitian yang ada, baik dari perguruan tinggi maupun lainnya.
Ketiga, negara harus independen dan mandiri. Karena itu, negara harus melepaskan diri dari berbagai perjanjian internasional dengan negara asing yang cenderung mengikat. Baik berupa investasi, ketentuan harga, maupun dalam konsep pengelolaan energi. Sebab, perjanjian internasional akan menjadikan negara tidak mandiri karena terbelenggu oleh ikatan tersebut.
Keempat, negara juga harus memiliki politik industri yang sejalan dengan visi kemandirian tersebut. Sebab, suatu negara mustahil akan mandiri dan kuat tanpa ditopang oleh politik industri yang sahih. Dengan adanya politik industri yang benar, maka negara mampu merealisasikan kebijakan energi yang benar-benar menyejahterakan rakyat.
Khatimah
Sepanjang sejarahnya, pengelolaan energi dengan prinsip kapitalisme tidak akan menghasilkan kebaikan. Pengelolaan energi dengan menerapkan prinsip keadilan hanya bisa terwujud dalam negara yang menerapkan syariat Islam secara kaffah, yakni Khilafah. Dengan prinsip pengelolaan dalam Islam, bahan bakar minyak tidak lagi menjadi barang mahal yang sulit dijangkau masyarakat.Wallahu ‘alam bishshawab.[]