Partai Islam dan Jebakan Politik Kursi

Sayangnya, harapan ini mustahil jika diwujudkan dalam kancah politik demokrasi. Kenapa? Karena demokrasi itu sendiri lahir dari paham sekularisme yang mengemban ide terpisahnya antara urusan negara dengan agama.


Oleh: Neneng Sri Wahyuningsih

NarasiPost.com -- Deklarasi Masyumi Reborn pada 7 November silam membuat ramai jagat politik nasional. Acara yang juga digelar via telekonferensi ini dipimpin tokoh Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia Cholil Ridwan. Dan untuk penandatanganan deklarasi nya dilakukan di aula Masjid Furqon, Jl Kramat Raya, Jakarta Pusat (detik.com, 8/11/2020).

Dalam ikrarnya, Cholil mengatakan, Masyumi akan membawa ajaran dan hukum Islam agar bisa seiring dengan Indonesia. Niatan menghidupkan kembali partai ini berdasarkan dari kerinduan akan sepak terjang Masyumi di masa lampau. Menurut penggerak Masyumi saat ini, sedikit politikus di Indonesia yang memiliki ideologis dan kebijakan yang berintegritas (liputan6.com, 10/11/2020).

Jebakan Demokrasi

Seperti yang kita ketahui, Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia atau disingkat menjadi Masyumi, adalah sebuah partai politik Islam terbesar di Indonesia selama Era Demokrasi Liberal di Indonesia. Hanya saja partai ini dilarang dan dibubarkan pada tahun 1960 oleh Presiden Soekarno karena diduga mendukung pemberontakan PRRI.

Pertanyaannya, apakah dengan menghidupkan kembali Partai Masyumi ini bisa efektif? Sebab, usaha yang sama pernah dilakukan proklamator Bung Hatta menjelang tahun 1970-an, pada masa awal setelah rezim Orde Lama jatuh. Hatta mendirikan Partai Demokrasi Islam Indonesia (PDII) yang tujuannya melanjutkan obsesi politik umat Islam akibat Masyumi dibubarkan. Sayangnya, Partai PDII ini tak mendapat izin oleh rezim Orde Baru.

Selama Orde Baru berlangsung, penguasa Orde Baru memberlakukan "fusi" terhadap partai politik. Partai pro Islam ada, yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Namun keberadaannya terlihat sebagai penggembira saja. Bahkan jika sebuah daerah tersebut banyak pendukung partai ini, maka ia akan mengalami kurang perhatian dari pemerintah.

Kegagalan politik struktural umat Islam berlanjut pasca reformasi. Murid M Natsir, Yusril Ihza Mahendra, berusaha membangitkannya dengan mengibarkan Partai Bulan Bintang (PBB). Namun, partai ini tak berumur panjang. Pada pemilu terakhir 2017, partai berlambang bulan dan bintang itu pun terlempar dari parlemen, tak mampu lolos dari ketentuan electoral threshold (republika.co.id, 6/3/2020).

Peristiwa serupa terus terjadi hingga saat ini. Dibentuk partai baru jika dirasa dari partai yang ada itu ternyata tiada peluang untuk mewujudkan cita-cita perjuangan atau bahkan tidak puas dengan kinerjanya. Hal ini akan tetap dipelihara dalam politik demokrasi agar dapat melanggengkan demokrasi itu sendiri.

Konon katanya, tujuan awal dibentuknya partai-partai Islam ini untuk membawa aspirasi penegakan syariat. Tak dipungkiri kerinduan terhadap syariat Islam semakin menancap dalam diri masyarakat di negeri mayoritas Muslim ini. Setelah itu mereka pun berlomba-lomba agar bisa memiliki kursi di parlemen dan mengubahnya dari dalam.

Jalan untuk menegakkan syariah pastilah bukan jalan yang mudah dan ringan, tetapi jalan yang sukar dan mendaki. Namun, manusia memang secara naluriah lebih cenderung mencari jalan yang mudah dan ringan.

Allah berfirman: “Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan, tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar” (QS. Al-Balad [90]: 10-11).

Sayangnya, harapan ini mustahil jika diwujudkan dalam kancah politik demokrasi. Kenapa? Karena demokrasi itu sendiri lahir dari paham sekularisme yang mengemban ide terpisahnya antara urusan negara dengan agama. Alih-alih ingin mengubah dari dalam, namun akhirnya tujuan awal partai yang ternodai. Terbentur dengan sistem yang ada.

Di samping itu, tentu ini semua berdampak pada semakin beragamnya fragmentasi masyarakat. Sedangkan aktivitas politik yang dilakukan ternyata tetap sama yakni hanya berorientasi meraih kursi hingga berkuasa untuk mengubah tatanan yang ada. Jelas, ini adalah jebakan demokrasi yang menghalangi masyarakat untuk memfokuskan pembangunan kesadaran politik Islam.

Partai politik dalam Islam

Dalam Islam, keberadaan partai politik adalah wajib. Sebagaimana mengacu pada seruan Allah SWT dalam QS Ali Imran [03]: 104. Dengan tegas, Allah memerintahkan adanya umat yang berarti kelompok yang terorganisasi. Tujuannya untuk menyerukan Islam, baik dalam konteks menerapkan Islam secara kaffah, maupun mengajak orang nonmuslim agar bersedia memeluk Islam dengan sukarela.

Selain itu, perannya menyerukan yang makruf dan mencegah dari tindak kemungkaran. Baik yang dilakukan oleh masyarakat maupun negara. Dengan kata lain, fungsi dan peranan partai politik dalam konteks sistem pemerintahan yakni untuk melakukan check and balance. Oleh karena itu, partai politik harus dibangun berdasarkan akidah Islam. Jika tidak, maka negara tidak akan memberikannya kesempatan untuk tumbuh.

Perlu kita ketahui, partai politik tidak menjadi bagian integral dalam struktur pemerintahan, namun keberadaannya sebagai mekanisme kontrol yang kredibel dalam negara Khilafah sangat menentukan perjalanan negara. Jika partai politik ini eksis, melaksanakan fungsi dan tugasnya dengan baik, maka akan terlaksananya Islam dengan baik. Begitupun sebaliknya.

Dulu, Rasulullah pernah mendirikan Hizb Rasul dan Hizb Rasul ini tetap eksis meski baginda telah tiada. Anggotanya, menurut al-‘Allamah an-Nabhani, mencapai 60.000 orang. Mereka ini secara riil adalah partai politik. Di masa Abu Bakar dan Umar, keberadaan partai politik ini tetap dipertahankan di pusat pemerintahan, yaitu Madinah al-Munawwarah. Fungsi dan tugasnya untuk menjaga terlaksananya sistem Islam pun berhasil dilaksanakan dengan baik.

Oleh sebab itu, negara Khilafah harus memastikan keberadaan partai politik agar tetap di jalan yang benar, yakni dibangun berdasarkan Islam, mempunyai visi, misi, tujuan, metode dan aktivitas yang terpancar dari akidah Islam. Partai politik ini akan menjalankan fungsi dan tugasnya untuk memastikan negara bersama-sama umat tetap berada pada riil Islam yang selurus-lurusnya. Begitulah, mekanisme partai politik yang telah ditetapkan oleh Islam. Wallahu a'lam bishshawab.[]

Picture Source by Google

Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Previous
Ibu Rasa Bawang
Next
Kerinduan Umat kepada Ulama, Bukanlah Kerinduan yang Biasa
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram