"Maka, peleburan Eijkman ke dalam BRIN ini menjadi alarm peringatan bagi pengebirian terhadap warisan ilmiah di bumi pertiwi ini sekaligus upaya mendegradasi independensi dan kepakaran para peneliti di Eijkman."
Oleh. Nurjamilah, S.Pd.I.
(Tim Redaksi NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Nahas, tahun 2022 ini Eijkman tutup usia di tengah hantaman pandemi Covid-19 yang tak berkesudahan. Warisan ilmiah yang sarat prestasi dan dedikasi ini berakhir tragis, seiring dengan peleburannya dengan BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional). Nasib para peneliti yang notabene aset bangsa ini juntai dan hilang arah tak kuasa menahan derasnya arus politik yang menerjang. Proyek penelitian virus Covid-19 yang telah dirintis WASCOVE pun terancam jalan di tempat bahkan bubar seiring peleburan lembaga ini.
Dilansir dari www.kompas.com (02/01/2022) bahwa LBM Eijkman secara resmi berintegrasi dengan BRIN. Ini menyebabkan pemberhentian 113 peneliti honorer Eijkman, dengan 71 di antaranya berposisi sebagai staf peneliti. Sebagian lagi dialihkan sesuai dengan skema lembaga pemerintah.
Sungguh kebijakan yang menimbulkan tanya dan luka, di tengah pandemi yang semakin mengganas dengan munculnya varian Omicron, Eijkman memiliki peran strategis untuk bisa menghentikannya. Namun, alih-alih diberikan dukungan penuh, lembaga ini justru dibubarkan dengan kekuatan Perpres.
Tak ayal, hal ini mengundang seribu tanya. Apa dan bagaimana sepak terjang Eijkman di bumi pertiwi ini? Bagaimana nasib para peneliti yang sebelumnya bernaung di lembaga ini? Adakah motif ideologis dan politis di balik kebijakan ini? Benarkah Islam memiliki seperangkat aturan yang mampu menyolusikan berbagai ketimpangan ini?
Riwayat Eijkman
Lembaga Eijkman didirikan tahun 1888 oleh seorang peneliti terkemuka saat itu yakni Christiaan Eijkman merupakan aset berharga ibu pertiwi dalam penanganan wabah sejak zaman kolonial Belanda. Eijkman menjadi pendiri sekaligus direktur pertama lembaga yang diberi nama Centraal Laboratoriun van den Dienst der Volksgezondheid (Laboratorium Pusat Dinas Kesehatan Masyarakat). Lembaga ini menjadi aset langka dalam bidang kedokteran dan higiene tropis yang tren kala itu.
Tak kepalang, prestasinya dalam penelitian menghasilkan penemuan penyebab sekaligus cara pengobatan sejumlah penyakit seperti beri-beri, bahkan berhasil menggaet Nobel pada 1929. Kemudian berganti nama menjadi Eijkman pada tahun 1938 dan dipimpin oleh bangsa pribumi yakni Prof.Dr. Achmad Mochtar.
Namun, perjuangan Achmad Mochtar harus berakhir di arena eksekusi tentara Jepang. Dia dipancung lantaran fitnah keji terkait pencemaran vaksin tetanus yang sedang dikembangkan saat itu. Hal itu dilakukan demi menyelamatkan rekan-rekannya yang juga berkecimpung di Eijkman.
Pada tahun 1960-an dinamika politik dan ekonomi memanas menyebabkan Eijkman ditutup. Lalu terlahir kembali pada Desember 1990 berkat inisiatif dari BJ Habibie, yang kala itu menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi. Namun demikian, lembaga ini diresmikan pada 1992 dengan Profesor Sangkot Marzuki sebagai pemimpinnya hingga tahun 2014. Kepemimpinan berpindah kepada Profesor Amin Soebandrio sejak 2014 hingga 2021.
Dihadapkan pada pandemi Covid-19 yang menerjang Indonesia sejak 2020, peran Eijkman tak bisa diremehkan. Dalam merespons pandemi dibentuklah Tim Waspada Covid-19 Eijkman (WASCOVE). Tim ini telah berperan mendeteksi dan meneliti virus Corona, plasma konvalesen, dan pengembangan vaksin Merah Putih. Tim ini ada sejak 16 Maret 2020 dan berakhir pada 31 Desember 2021.
Eijkman yang dahulu merupakan Lembaga Biologi Molekuler (LBM), kini melebur dengan BRIN di bawah kewenangan Kedeputian Infrastruktur Riset dan Inovasi menjadi Pusat Riset Biologi Molekuler (PRBM). Hal ini berdasarkan Perpres Nomor 78 Tahun 2021 tentang BRIN, diinstruksikan bahwa seluruh lembaga penelitian seperti BATAN, LIPI, LAPAN, BPPT, Kemenristek termasuk LBM Eijkman harus diintegrasikan dalam BRIN. Perpres ini terbit per 1 September 2021 (Detik.com, 02/01/2022).
Suramnya Karier Peneliti di Bumi Pertiwi
Peleburan Eijkman kepada BRIN memberikan dampak besar khususnya bagi para peneliti yang bernaung di bawahnya. Disinyalir ada 113 peneliti honorer yang kehilangan pekerjaannya. BRIN berdalih bahwa LBM Eijkman telah merekrut tenaga honorer yang tidak sesuai dengan ketentuan, sehingga harus ditertibkan dengan mekanisme berikut:
Pertama, PNS Periset dilanjutkan menjadi PNS BRIN, otomatis diangkat menjadi peneliti. Kedua, honorer periset usia lebih dari 40 tahun (S3) harus mengikuti penerimaan ASN jalur PPPK 2021. Ketiga, honorer periset usia kurang dari 40 tahun (S3) mengikuti penerimaan ASN jalur PNS 2021. Keempat, honorer periset non-S3 melanjutkan studi dengan skema by research dan research assistantship. Bagi yang tidak berminat melanjutkan pendidikan, ditempatkan sebagai operator lab di Cibinong. Kelima, honorer nonperiset diambil alih RSCM dan mengikuti rencana pengalihan gedung LBME ke RSCM.
Namun, sejak terbitnya Perpres ini pada 1 September 2021 sebagian besar peneliti honorer Eijkman berselancar mencari ‘hunian baru’. Mereka pesimis akan nasib karier mereka jika menjadi ASN. Pasalnya, peneliti ASN hanya dijanjikan gaji dan tunjangan fungsional semata, tanpa ada tambahan honor pada setiap proyek penelitian yang digarap. Inilah yang menjadi alasan mereka berbondong-bondong menyasar swasta menjadi tempat bernaung mereka yang baru. Kompetensi mereka mendapat apresiasi yang lebih tinggi ketimbang menjadi ASN.
Suramnya karier peneliti di negeri ini memang bukanlah isapan jempol belaka. Tak dapat dinafikan, bahwa pemerintah tampaknya kurang mengapresiasi dan gagal memberikan kenyamanan serta kesejahteraan bagi aset intelektual selama ini. Begitu dahsyatnya ketimpangan gaji yang diperoleh peneliti dibandingkan dengan anggota DPR, pegawai negeri di beberapa institusi seperti MA, Direktorat Pajak, Kementerian Keuangan, KPK, bahkan guru. Ironisnya, menjadi politisi dan selebritas jauh lebih dihargai secara finansial dibanding menjadi peneliti atau ilmuwan. Sebenarnya ini bukan sekadar urusan nominal, namun rasa dianaktirikan membuat peneliti enggan berinovasi. Sungguh keadilan menjadi barang langka.
Sebenarnya motivasi utama peneliti dalam menghasilkan karya dan meningkatkan produktivitas adalah kesempatan yang luas untuk mengeksekusi penelitian yang berkualitas. Motivasi ini akan muncul jika kebutuhan dasar peneliti terpenuhi, lingkungan penelitian kondusif (laboratorium, alat dan bahan), waktu yang memadai, dana yang mencukupi termasuk pembiayaan untuk mengikuti konferensi internasional. Keberhasilan penelitian bukanlah seberapa besar imbalan materi yang diterima, namun seberapa bermanfaat hasil dari penelitian yang telah dieksekusi.
Aroma Korporatokrasi di Balik Peleburan Eijkman
Peleburan lima lembaga riset dalam satu institusi, terlebih di tengah ganasnya pandemi Covid-19 patut dipertanyakan, demi siapa ini dilakukan? Tentu publik belum lupa, bahwa pada tanggal 28 April 2021 Presiden Jokowi telah menerbitkan Perpres Nomor 33 Tahun 2021 tentang BRIN, bahkan mendaulat Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Dewan Pengarah BRIN.
Tentu saja hal itu memicu pro-kontra dari banyak kalangan. Pasalnya, background Mega yang seorang politisi dianggap tidak layak ada di posisi itu. Dalih yang dilontarkan cukup mengada-ada yakni agar riset sejalan dengan ideologi Pancasila. Memang selama ini adakah hasil riset yang bertentangan dengan Pancasila?
Kebijakan ini berakibat fatal, penempatan politikus di BRIN akan membuat lembaga riset ini terpolitisasi. Perebutan rente atas sumber-sumber dana penelitian menjadi hal yang tak terelakkan. Bukan hanya itu, kuat dugaan riset akan dijadikan justifikasi bagi kepentingan politik dari pihak yang berkuasa (politik oligarki) dengan dalih Pancasila atau demi kepentingan nasional. Padahal, seharusnya peneliti atau periset memiliki otonomi saintifik, bebas dari intervensi pihak mana pun.
Selain intervensi politik, motif ekonomi pun tampak sangat mencolok pada kebijakan ini. Ini berdasarkan penuturan Kepala BRIN yang menyatakan bahwa BRIN akan memberikan dampak ekonomi dari berbagai riset dan inovasi yang dilakukan. Sehingga, mengundang investasi besar-besaran dari para kapitalis global dalam ranah IPTEK, khususnya yang berbasis biodiversitas dan SDA yang belum tereksplorasi (Tirto, 03/05/2031). Bukankah ini nama lain dari kapitalisasi aset SDA negeri ini?
Lagi-lagi negara menegaskan bahwa wujud aslinya adalah korporatokrasi. Di mana korporasi (kapitalis) berkolaborasi dengan otokrasi (penguasa) dalam setiap rilis kebijakannya. Sistem kapitalisme yang merasuki negeri ini jemawa di atas asas sekularisme (memisahkan agama dari kehidupan). Inilah iklim kondusif bagi tumbuh berkembangnya praktik korporatokrasi.
Teknologi dijadikan pintu masuk bagi kapitalis untuk mengeksploitasi SDA negara berkembang. Komersialisasi, penelitian berbasis investasi. Padahal, kemandirian teknologi akan menentukan kemandirian suatu bangsa. Jika secara pendanaan kita masih bergantung pada negara lain, sementara arah riset teknologi diarahkan hanya sebatas kepentingan politisi dan penguasa oligarki dengan capaian kapitalisasi modal, bukan kesejahteraan sosial. Maka, peleburan Eijkman ke dalam BRIN ini menjadi alarm peringatan bagi pengebirian terhadap warisan ilmiah di bumi pertiwi ini sekaligus upaya mendegradasi independensi dan kepakaran para peneliti di Eijkman.
Budaya Riset dalam Islam
Islam merupakan ideologi yang memiliki perangkat aturan komprehensif. Tak hanya mengatur urusan manusia dengan Sang Khalik ataupun dirinya sendiri, bahkan juga mengatur urusan sesama manusia. Aturan Islam ini diterapkan secara holistik dalam suatu sistem pemerintahan yang dinamakan Khilafah, dengan sebutan bagi pemimpinnya, khalifah.
Dalam Islam, setiap muslim dikondisikan menjadi intelektual dengan tempaan sistem pendidikan Islam. Kehidupan didesain untuk memberdayakan manusia demi kemaslahatan manusia, bukan bisnis. Tegasnya, potensi intelektual muslim ini tak boleh terbajak oleh kepentingan oligarki dan korporasi. Ilmu terdedikasi bukan untuk industri global, namun bagi terealisasinya pemenuhan kebutuhan rakyat dan kemajuan negara.
Khalifah memahami betul ajaran Islam dan menjadikannya sebagai landasan dalam memimpin negara, tentu saja akan mengutamakan kebutuhan rakyat daripada kepentingan korporasi. Begitu pula dengan urusan riset dan teknologi, maka Khalifah akan menunjuk seorang pakar untuk pemimpin lembaga ini, bukan politikus pragmatis. Berbagai penelitian akan dilakukan lembaga ini sesuai dengan kebutuhan masyarakat, baik itu dalam kondisi terdesak ataupun tidak. Seperti kondisi pandemi Covid-19 saat ini, maka negara akan memberikan dukungan moral dan material untuk meneliti virus untuk ditemukan obatnya.
Pemerintah sedari awal akan menyamakan persepsi terkait mindset tata kelola riset, bahwasanya hakikat ilmu dan riset dikelola oleh negara demi kemaslahatan masyarakat. Ilmu bukanlah komoditas ataupun faktor produksi, namun ruh dari kehidupan manusia. Begitu pula teknologi, jika ingin berkembang secara ideal harus berlandaskan ideologi yang benar yakni Islam, bukan kapitalisme apalagi sosialisme.
Pengelolaan dan lembaga riset diatur oleh negara, mulai dari merumuskan pemetaan riset, menyediakan laboratorium berikut alat dan bahan, menjamin pembiayaan riset, juga memberikan fee yang memadai bagi para penelitinya. Begitu pula dengan strategi riset baik dasar ataupun terapan, juga penemuan teknologi harus berdasarkan paradigma Islam, yakni meningkatkan produksi SDA untuk dipergunakan sebesar-besarnya demi memenuhi kebutuhan masyarakat dan menyelesaikan persoalan yang dihadapi rakyat. Jadi negara tak boleh hanya menjadi regulator semata.
Riset yang dihasilkan harus memenuhi maqashid syariah, yakni memelihara jiwa, akal, agama, nasab, dan negara. Islam sebagai rahmatan lil ‘alamiin dan umat muslim sebagai khairu ummah akan dapat terealisasi. Peradaban Islam akan melesat, bahkan menjadi mercusuar dunia. Manfaat dari riset ini akan dinikmati oleh seluruh penduduk bumi. Kesejahteraan akan diraih, kemajuan teknologi juga akan mempermudah manusia untuk melaksanakan ketaatan pada Allah Swt. Sebagaimana firman Allah Swt. Dalam QS Ar-Rahman ayat 33 yang artinya: “Hai jemaah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya melainkan dengan kekuatan”.
Lantas bagaimana dengan lembaga riset negara? Lembaga resmi ini semata-mata berfungsi dalam rangka melayani, bukan berbisnis. Mengapa? Karena lembaga ini merupakan bagian dari institusi negara. Komersialisasi inovasi dan produk teknologi sama sekali tidak diperkenankan dilakukan oleh lembaga riset ini. Sebab, negara telah menganggarkan seluruh pembiayaan riset dari kas negara (Baitul Mal), tidak perlu mengemis investasi, berutang, apalagi memperjualbelikannya pada masyarakat.
Bagaimana dengan nasib para peneliti? Tentu saja Khilafah akan memberikan fee dan penghargaan yang pantas. Kompetensi mereka akan sangat diapresiasi, karena mereka adalah aset negara yang strategis. Geliat riset akan terus bergelora. Nyaris tak akan ditemui dalam Khilafah, warga negara cerdas yang belajar hanya untuk menjadi pekerja korporasi internasional, karena mereka telah tercukupi kebutuhan dan ekspektasinya di negara Khilafah. Maka wajar, bila dalam ukiran sejarah Khilafah mampu mencetak para peneliti dan ilmuwan andal yang hasil riset mereka menjadi dasar berkembangnya teknologi Barat saat ini.
Khatimah
Peleburan Eijkman dalam BRIN bukanlah solusi atas ketertinggalan riset dan teknologi yang dialami negeri ini. Saatnya kita menyadari bahwa politisasi berbagai lini kehidupan demi mempertahankan status quo negara oligarki tak akan membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Islam dengan Khilafahnya telah terbukti selama 13 abad mampu menjadi mercusuar dunia dalam hal riset, teknologi, dan peradaban yang luhur yang mampu memancarkan rahmat bagi seluruh alam. Wallahu a’lam bi ash-showwab. []