Edaran Ucapan Nataru, Aroma Menyengat Moderasi Berbaju Toleransi?

"Lagi-lagi proyek moderasi beragama makin masif berbalut toleransi, sehingga membuat seorang muslim meremehkan prinsip agama. Ucapan selamat hari raya agama lain tidak selayaknya dianggap remeh-temeh, misalnya dengan ungkapan “Ucapan Selamat Natal tidak akan mengurangi imanmu.”

Oleh. Ahsani Ashri Ar Ridti, S.Tr.Gz
(Pemerhati Generasi dan Pegiat Literasi)

NarasIPost.Com-Wacana toleransi terus bergulir tiada henti, seolah negeri ini darurat intoleransi. Seolah umat di negeri ini intoleransi tingkat tinggi, mirisnya isu toleransi ini terus menyasar umat Islam. Menjelang pergantian tahun Masehi di bulan Desember, isu perdebatan toleransi di antara umat Islam selalu berulang, mulai dari ucapan Selamat Natal, berdoa bersama di gereja, memfasilitasi, dan bahkan cenderung keikutsertaan kaum muslimin semakin menguat, merasa tidak berdosa, dan tidak malu menghadiri perayaan Natal dan agama lain.

Baru-baru ini warganet dihebohkan dengan beredarnya imbauan Kementerian Agama (Kemenag) kepada satuan kerja di bawahnya untuk memasang spanduk ucapan Natal 2021 dan Tahun Baru 2022 termasuk Kemenag Sulawesi Selatan, menuai kritik masyarakat setempat. Sejumlah aktivis dari berbagai ormas Islam menyambangi Kantor Kemenag Sulsel meminta agar mencabut surat edaran (SE) tersebut. Setelah beberapa waktu, kabarnya SE tersebut telah dicabut, namun dilansir dari Republika, (18/12/21) Staf Khusus Menteri Agama (Stafsus Menag) Bidang Toleransi, Terorisme, Radikalisme, dan Pesantren, Nuruzzaman, membantah telah mencabut edaran tentang pemasangan spanduk ucapan Natal dan Tahun Baru.

Menurutnya Kemenag adalah kementerian semua agama, bukan hanya kementerian satu agama yang berkewajiban mengayomi, melayani, dan menjaga seluruh umat beragama, termasuk merawat kerukunan umat beragama. Di sisi lain, Ketua Majelis Ulama Indonesia, Muhammad Cholil Nafis, berpendapat mengucapkan selamat Natal itu boleh, namun hal tersebut sebatas saling menghormati dan saling toleransi antarumat beragama, yang tidak boleh diikuti oleh seorang muslim adalah mengikuti upacara dan rangkaian kegiatan perayaan tersebut. Ketidakbolehan mengikuti rangkaian upacara Natal terdapat dalam Fatwa MUI pada 7 Maret 1981. Oleh karena itu, meski sebagian masyarakat menolak kebijakan memasang spanduk ucapan selamat Natal di seluruh wilayah satuan kerja Kemenang, kebijakan tersebut akan tetap dilanjutkan (Republika, 18/12/21).

Lagi-lagi proyek moderasi beragama makin masif berbalut toleransi, sehingga membuat seorang muslim meremehkan prinsip agama. Ucapan selamat hari raya agama lain tidak selayaknya dianggap remeh-temeh, misalnya dengan ungkapan “Ucapan Selamat Natal tidak akan mengurangi imanmu.”

Ada persepsi yang perlu kita samakan tentang fakta hari raya. Hari raya adalah hari yang diagung-agungkan, dibesarkan oleh setiap agama, keyakinan, dan agama memiliki hari raya tersendiri. Ketika Rasulullah melihat ada hari raya Nairuz, yang biasa diagung-agungkan oleh orang-orang di luar Islam di Madinah, Rasulullah bersabda: “Dahulu kalian memiliki dua hari di mana kalian bersenang-senang ketika itu. Sekarang Allah telah menggantikan untuk kalian dengan dua hari besar yang lebih baik yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.” (HR. Abu Daud).

Fakta selanjutnya adalah tahniah (ucapan) selamat itu mengandung doa dan harapan kebaikan untuk orang yang diberi selamat, juga menjadi ungkapan kegembiraan, persetujuan, bahkan penghargaan atas apa yang dilakukan oleh orang yang diberi selamat. Pada perayaan Natal, adalah peringatan kelahiran Tuhan dan Anak Tuhan mereka (trinitas). Dengan kata lain, kita ikut bergembira, menyetujui keyakinan mereka dan perayaan kesyirikannya (menyekutukan Allah).

Kejadian ini sangatlah miris, bagaimana mungkin di negara yang mayoritasnya muslim, penguasanya membolehkan mengucapkan selamat yang mengandung makna bentuk kemusyrikan kepada Allah?

Apakah dapat dibenarkan mengucapkan selamat kepada orang yang merayakan dosa yang sangat besar di sisi Allah itu? Jelas-jelas Allah telah menyatakan mereka adalah orang kafir sebagaimana tercantum di dalam surat Al-Maidah [5]: 72-75, dan keyakinan trinitas itu di sisi Allah Swt. adalah dosa dan kejahatan yang sangat besar. Apakah itu artinya penguasa ingin mengajak syirik berjemaah kepada rakyatnya?

Sementara itu, kejanggalan berbagai peristiwa dan ketidakadilan berpihak sebelah mata. Orang-orang mukhlis, para alim ulama, dan gerakan yang lantang menyuarakan Islam kaffah distigma dengan keji, dicap sebagai Islam ekstremis dan radikal, membahayakan persatuan bangsa, keberagaman agama, suku, dan budaya. Padahal, Islam memang mengajarkan sikap toleransi. Toleransi tentu berbeda dengan Sinkretisme.

Sinkretisme adalah mencampuradukkan keyakinan, paham atau aliran keagamaan. Sejak arus moderasi beragama ini dideraskan, sinkretisme kian kental penampakannya. Seperti pembacaan selawat Nabi di pura dan gereja beberapa waktu yang lalu, kemudian pada saat 'Perayaan Natal Bersama', lekat dengan pemakaian simbol-simbol nasrani (topi, baju, sepatu, dan lain-lain), ucapan selamat dan salam lintas agama, serta doa lintas agama adalah contoh riil pelaksanaan paham pluralisme yang dibalut dalam program moderasi beragama. Alih-alih toleransi, maka kaum muslim akhirnya harus melunturkan akidah mereka, hal ini dilarang tegas dalam Islam.

Pencampuradukan ajaran agama merupakan refleksi dari paham pluralisme yang haram hukumnya dalam Islam. Islam telah memberikan batas yang jelas antara yang hak dan yang batil. Allah Swt. berfirman: “Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang batil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui.” (QS. Al- Baqarah: 42).

Pluralisme adalah paham yang mengakui kebenaran semua agama itu sama, gagasan ini jelas bertentangan dengan nas-nas syarak yang menyatakan bahwa agama yang Allah ridai hanyalah Islam (Lihat: QS Ali Imran [3[:19). Islam telah berhasil mempraktikkan toleransi selama 15 abad yang lalu, semua pihak ikut merasakan indahnya kerukunan umat beragama dan kesejahteraan yang sesungguhnya. Semestinya umat Islam tidak perlu parameter, indeks dan ukuran-ukuran yang lain dalam bersikap toleransi, jangan mudah teperdaya dengan propaganda moderasi beragama yang terkesan baik dan indah, namun sejatinya menggiring kaum muslim untuk menanggalkan ajaran Islam sedikit demi sedikit. Berkembangnya paham tentang moderasi beragama ini sungguh sangat berbahaya. Karena itu, umat Islam wajib memahami kebatilan narasi moderasi beragama ini dengan gamblang agar tidak terbawa arus kerusakannya. Wallahu’alam[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Ahsani Annajma Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Dana Fantastis di Balik Derasnya Arus Moderasi Beragama
Next
Bakti Rumini Menggemparkan Pertiwi
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram