"Karantina yang ‘tebang pilih’ terjadi atas keputusan mana yang lebih menguntungkan, bukan atas dasar kesetaraan kemanusiaan. Pengetatan aktivitas yang masih ditunda-tunda, terjadi karena pemerintah lebih mementingkan stabilitas ekonomi."
Oleh. dr. Nisa Utami, Sp.PD
NarasiPost.Com-Telah dilaporkan kasus Omicron tanpa riwayat perjalanan luar negeri, yang berarti transmisi lokal telah terjadi. Alih-alih bersikap lebih waspada dalam menyiapkan lonjakan kasus seperti yang terjadi di beberapa negara tetangga, pemerintah Indonesia tampak bersikap sombong atau ‘jemawa’. Dengan dalih masih dalam kendali, penanganan ancaman Omicron masih terkesan ditunda-tunda dan tidak menjadi fokus utama. Gambaran ini adalah potret suram pemerintahan dengan sistem kapitalisme. Bukankah ini saatnya kita mengambil sistem kehidupan Islam sebagai solusi segala persoalan?
Baru saja beberapa hari yang lalu (27/12/21) Menteri Koordinator Maritim dan Investasi (Menko Maves) Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan belum ada indikasi peningkatan kasus Covid-19 di Indonesia akibat penularan Corona varian Omicron (kompas.com). Selang dua hari kemudian kasus varian Omicron di Indonesia melonjak dari hanya 5 kasus (23/12/2021), menjadi total 68 kasus (29/12/2021). Padahal di tanggal yang sama, juga telah tercatat sebagai ‘kasus harian tertinggi’ selama pandemi (Google News-Our World in Data, 27/12/2021). Yaitu terdapat 1.449.269 kasus baru di dunia, di mana Amerika Serikat sebagai negara tertinggi yaitu tembus 543.415 kasus dengan dominasi varian Omicron.
Yang Perlu Diwaspadai dari Varian Omicron
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Professor Ahli Virus dan Penyakit Infeksi asal University of Hongkong, Dr. Michael Chan Chi-wai, Omicron memiliki kemampuan menggandakan diri (replikasi) 70 kali lebih tinggi hanya dalam waktu 24 jam pada bronkus (pipa saluran napas utama) dibandingkan varian Delta. Temuan lainnya, Omicron memiliki kemampuan replikasi 10 kali lebih rendah pada jaringan paru dibandingkan varian Delta, sehingga ditengarai tingkat keparahannya juga rendah.
Walaupun demikian, Dr. Michael Chan Chi-wai memperingatkan bahwa virus (varian Omicron) dapat menjadi semakin infeksius dan dapat menyebabkan penyakit yang lebih parah bahkan kematian. Dengan kemampuan replikasi meningkat 70 kali lebih tinggi di bronkus , varian Omicron dapat menginfeksi lebih banyak orang dalam waktu relatif singkat (masa inkubasi hanya 1-3 hari). Hal ini dapat menyebabkan virus varian Omicron menjadi semakin infeksius, karena ada mekanisme adaptasi setelah banyak terjadi interaksi. Selain itu, respon imunitas tubuh setiap orang berbeda-beda terhadap infeksi virus. Ada ancaman terjadinya badai sitokin yang dapat menyebabkan kematian, akibat disregulasi respons imun terhadap infeksi virus varian ini.
Hal ini sesuai dengan meningkatnya angka kematian akibat varian Omicron di beberapa negara. Berita yang sangat mencengangkan adalah terjadinya 293 kematian dalam kurun waktu 24 jam di India, dari 6.358 kasus baru dengan 653 di antaranya adalah varian Omicron (timesofindia.com, akses 28/12/2021). Bahkan, di Inggris yang angka cakupan vaksinasi mencapai 90% , faktanya berdasarkan data UK Health Security Agency (27/12/2021) varian Omicron sudah menyebabkan kematian 53 orang dari total 766 kasus.
Sikap Jemawa Pemerintah Dapat Mengundang Bencana
Dari 68 kasus Omicron di Indonesia, terdapat satu kasus yang terjadi tanpa perjalanan luar negeri. Hal ini berarti telah terjadi transmisi lokal di Indonesia. Sehingga, dapat dikatakan bahwa sebenarnya varian Omicron sudah berada di antara masyarakat Indonesia. Bukannya bersikap lebih waspada melihat kenaikan angka kematian di beberapa negara, strategi penanganan varian Omicron pemerintah Indonesia terkesan ditunda-tunda dan tidak menjadi prioritas utama.
Jika dianalisis ke belakang, ‘jebolnya’ pintu masuk Omicron dari luar negeri bisa disebabkan peraturan masa karantina yang ‘tebang pilih’. Karena jemawa kasus Covid-19 masih terkendali, para pejabat dan delegasi luar negeri acara KTT G20 pun mendapat kelonggaran masa karantina. Bukannya diberikan sanksi tegas agar menjadi pelajaran, artis yang terbukti menyuap 40 juta agar bisa ‘kabur’ dari karantina hanya diberikan sanksi 8 bulan masa percobaan saja. Padahal karantina dapat efektif jika diberlakukan sama, karena ketika varian Omicron menginfeksi juga tidak melihat jabatan manusianya apa.
Strategi lockdown juga masih terkesan ditunda-tunda. Hal ini terlihat dari pernyataan Menko Maves yang menyatakan bahwa, "Kami akan memulai melakukan pengetatan ketika kasusnya melebihi 500 dan 1.000 kasus per hari," ungkap Luhut (Kompas.com, 20/12/2021). Haruskah menunggu sekian ratus jiwa rakyatnya dalam bahaya baru dilakukan upaya? Padahal, gelombang kedua pandemi mengajarkan bahwa ketika kasus baru semakin meningkat, pengendaliannya pun akan semakin sulit.
Penanganan ancaman Omicron ini pun seperti tidak menjadi prioritas utama. Hal ini terlihat dari anggaran dana yang meningkat bukan untuk sektor yang berkaitan dengan nyawa manusia. Dana moderasi beragama tahun ini mencapai Rp3,2 triliun, yang sebelumnya hanya Rp400 miliar. Sungguh miris, ketika dana moderasi beragama tersebut meningkat 8 kali lipat, sementara dana bantuan Covid-19 malah di- cut. Dana Bantuan Sosial Tunai (BST) untuk pandemi resmi dihentikan per September 2021. Alasannya, penularan Covid-19 sudah menurun (kontan.co.id, 23/9/2021).
Potret Suram Sistem Pemerintahan Kapitalis
Karantina yang ‘tebang pilih’ terjadi atas keputusan mana yang lebih menguntungkan, bukan atas dasar kesetaraan kemanusiaan. Pengetatan aktivitas yang masih ditunda-tunda, terjadi karena pemerintah lebih mementingkan stabilitas ekonomi. Apalagi ‘kebanggaan semu’ karena Indonesia terpilih menjadi tuan rumah KTT G20, bisa amburadul jika status negara dalam kondisi lockdown. Semua ini dilakukan dengan anggapan bahwa kasus Omicron masih dapat dikendalikan, sungguh sikap jemawa yang dapat membawa bencana.
Gambaran ini adalah potret suram sistem pemerintahan kapitalisme, yang diakui atau tidak, memang diambil sebagai pengaturan kehidupan bernegara. Kapitalisme menjunjung tinggi asas kebermanfaatan, keputusan mana yang lebih menguntungkan secara ekonomi itulah yang akan diberlakukan. Segala strategi yang dikeluarkan terkesan asal-asalan, akibat terbiasa mengambil solusi pragmatisme yang mengutamakan asas kepraktisan. Nyawa rakyatnya hanya sebatas angka-angka, yang pengumpulan datanya pun masih diragukan keabsahannya.
Amerika Serikat sebagai negara adidaya yang menjadi kiblat sistem kapitalisme ini saja, juga kewalahan mengahadapi ancaman Omicron. Masihkah kita mempertahankan sistem kehidupan yang sudah terbukti gagal ini? Padahal kita sebagai umat muslim, sudah Allah karuniakan sistem kehidupan Islam sebagai solusi segala problematika kehidupan.
Sistem Kehidupan Islam sebagai Solusi
Pengalaman negara dengan sistem kehidupan Islam dalam menangani wabah, bukan hanya sebatas dongeng ataupun sejarah. Dalam sistem kehidupan Islam, penerapan karantina diberlakukan sama, tanpa melihat status pejabat. Di masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab, wabah kolera menyerang negeri Syam sekitar tahun 18 Hijriah. Khalifah Umar bersama rombongan yang saat itu dalam perjalanan menuju Syam, bahkan rela menghentikan perjalanannya. Sahabat-sahabat yang kala itu berada di negeri Syam sekalipun, tidak meninggalkan wilayah wabah walaupun nyawa mereka terancam. Sangat kontras dengan kondisi sekarang, demi kepentingan delegasi dan gengsi luar negeri masa karantina dapat diganti-ganti.
Dalam sistem kehidupan Islam, ketika diketahui ada wabah penyakit sikap yang diambil adalah bersiap diri dan waspada ibarat menghadapi ancaman singa. Dari hadis Abu Hurairah, Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Jauhilah orang yang terkena lepra, seperti kamu menjauhi singa." Sungguh kontras dengan sikap pemerintahan kapitalis yang malah bersikap jemawa seolah semua masih dalam kendalinya. Keangkuhan yang sama ketika mereka berkelakar tentang kebalnya masyarakat Indonesia terhadap Corona, namun kemudian kita langsung dihantam dengan gelombang kedua.
Virus Corona saja bermutasi menjadi Omicron dengan mengambil ‘hikmah’ varian Delta sebagai pendahulunya, agar dapat bertahan di dunia. Mengapa kita sebagai manusia yang Allah karuniakan akal dan iman, tidak juga mengambil pelajaran dari potret suram kehidupan tanpa penerapan aturan Islam? Sudah saatnya kita melakukan perubahan mendasar dengan mengambil sistem kehidupan Islam sebagai pedoman. Solusi yang Islam tawarkan sudah teruji dapat menyelamatkan negeri. Selain itu, ketika aturan Islam diterapkan dalam setiap lini kehidupan, Allah pasti akan menurunkan kemaslahatan. []