"Sungguh ironis. Negeri ini berkubang minyak dan gas, namun penduduknya sering merasakan getirnya kelangkaan minyak dan gas. Bukan karena negara ini tidak menghasilkannya, namun penggunaannya dibatasi. Dalih konversi terus digulirkan, peralihan dari satu jenis bensin ke bensin lainnya pun terus dimainkan. Tujuannya hanya satu, yakni liberalisasi sektor Migas di Indonesia."
Oleh. Dia Dwi Arista
(Kontributor Tetap NarasiPos.Com)
NarasiPost.Com-Bahan Bakar Minyak atau BBM menjadi komoditas yang paling dicari setelah bahan makanan. Dengan kata lain BBM juga merupakan sesuatu yang vital dalam kehidupan masyarakat. Namun yang menjadi persoalan adalah tidak tersedianya BBM yang terjangkau bagi masyarakat, hingga berdampak pada kelayakan hidup. Apalagi rencana penghapusan BBM jenis Premium dan Pertalite yang selama ini menjadi andalan rakyat, lagi-lagi akan megancam kesejahteraan. Aroma liberalisasi BBM semakin menguat dengan keputusan tersebut.
Rencana penghapusan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Premium dan Pertalite pada tahun 2022 telah disampaikan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, penghapusan ini dilakukan agar masyarakat menggunakan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan. (bisnis.tempo.co, 26/12/2021). Hal ini pun diamini oleh PT. Pertamina yang mewacanakan penghapusan bahan bakar beroktan rendah seperti Premium dan Pertalite dan dialihkan kepada BBM beroktan lebih tinggi seperti Pertamax. (otomotif.kompas.com, 26/12/2021).
Imbasnya, masyarakat yang sudah terbebani dengan harga barang dan jasa yang semakin mahal, akan bertambah berat ketika BBM yang selama ini menjadi andalan harus diganti dengan BBM yang lebih mahal. Akibat lain, tentu barang dan jasa yang dari awal sudah mahal akan semakin melangit. Peta jalan pengalihan BBM ala pemerintah saat ini sungguh menimbulkan petaka di tengah masyarakat.
Indonesia Produsen Minyak
Meski Indonesia bukan termasuk lima besar negara penghasil minyak bumi dan gas terbesar di dunia. Namun, cadangan Migas yang dimiliki Indonesia tak main-main. Titik eksplorasi yang selama ini banyak ditemukan di wilayah barat Indonesia, baru-baru ini berpindah ke wilayah timur Indonesia. Menurut kompas.com (7/12/2021) terdapat potensi Migas di wilayah timur sebesar 9.8 miliar barel. Tentu bukan angka yang fantastis dibanding dengan negara besar penghasil minyak seperti Venezuela dan Arab Saudi yang mempunyai cadangan minyak ratusan triliun barel.
Namun, tetap saja negara ini adalah salah satu penghasil minyak gas dan bumi di dunia. Bahkan sejak 2015, Indonesia didapuk masuk sebagai sepuluh negara penghasil Migas di dunia. Di Asia-Pasifik sendiri, Indonesia juga masuk dalam tiga besar negara dengan cadangan Migas terbesar. Beberapa tempat seperti Blok Cepu, dapat menghasilkan 208,8 barel per hari, Blok Mahakam mempunyai perkiraan cadangan terbukti dan mungkin (P2) 1,68 miliar barel minyak dan 21,2 triliun kaki kubik gas. Ada pula tiga blok yang dijadikan satu dengan nama proyek Tangguh, yakni blok Muturi, Berau, Wiriagar. Dan blok Natuna di Kepulauan Riau yang juga memiliki cadangan Migas besar. Juga masih banyak lagi blok-blok penghasil Migas di seluruh Indonesia.
Sayangnya, banyaknya cadangan Migas tidak sebanding dengan kebutuhan rakyat. Minyak dan gas alam yang merupakan harta milik umum, malah tidak dapat dinikmati secara murah bahkan gratis. Sebab cadangan Migas ini telah dan akan diberikan kepada investor. Yang imbasnya, minyak dijual dengan harga internasional. Bahkan Pertamina yang merupakan Badan Usaha Milik Negara memasarkan produk hasil olahan Migas ini dengan harga mendekati harga internasional, meski sebelumnya pemerintah mengaku menyubsidi minyak untuk rakyat.
Aroma Liberalisasi
Sungguh ironis. Negeri ini berkubang minyak dan gas, namun penduduknya sering merasakan getirnya kelangkaan minyak dan gas. Bukan karena negara ini tidak menghasilkannya, namun penggunaannya dibatasi. Dalih konversi terus digulirkan, peralihan dari satu jenis bensin ke bensin lainnya pun terus dimainkan. Tujuannya hanya satu, yakni liberalisasi sektor Migas di Indonesia. Liberalisasi Migas terbuka ketika UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi disahkan. Kontrak kerja yang sebelumnya menggunakan sistem PSC (Production Sharing Contract), dengan kelebihannya adalah pemerintah mempunyai kuasa lebih daripada investor, begitu pula sumber daya alam dan aset pun masih menjadi milik pemerintah. Namun, hal ini beralih menjadi KKS (Kontrak Kerja Sama). Yang hasilnya, investor swasta dan asing dapat ikut bermain di sektor Migas Indonesia.
Ikut Campur Tangan Asing
Pelegalan UU Nomor 22 Tahun 2001, dinilai sesuai dengan kepentingan asing. Sebab, sarat akan nilai-nilai neoliberal yang telah ditetapkan oleh IMF untuk Indonesia. UU ini juga merupakan dasar adanya privatisasi dan liberalisasi Migas di hulu dan hilir. Banyak dari pasal-pasal UU nomor 21 Tahun 2001 yang menjadi pro dan kontra, antara lain negara kehilangan alat dan kendali dalam menjamin pasokan minyak dan gas. Ketidakmampuan negara memproduksi dan mengontrol cadangan minyak mentah, juga ketidakmampuan Indonesia dalam menentukan volume ekspor pada skala dunia merupakan dampak dari aturan perpindahan otoritas penguasaan migas dalam pertamina.
Dampak lain adalah tidak menentunya iklim investasi sektor hulu migas, sebab tidak adanya dukungan kebijakan fiskal. Perombakan Pertamina dari perusahaan berskala besar menjadi perusahaan berskala kecil juga turut dipengaruhi oleh adanya UU tersebut. Dan dampak yang paling berbahaya adalah ketika UU ini menutup pintu bagi Indonesia untuk menegaskan kepentingan nasional di hadapan kontraktor asing. (up45.ac.id, 9/1/2012)
Inilah awal masuknya kepentingan asing dalam sektor Migas di Indonesia, yang mengantarkan liberalisasi semakin mencengkeram industri minyak dan gas dalam negeri.
Migas di Masa Khilafah
Migas merupakan hasil bumi atau tambang yang kepemilikannya merupakan hak dari seluruh rakyat. Sebab, Nabi saw. bersabda yang diriwayatkan oleh Iman Abu Dawud dan Ahmad, "Kaum muslimin berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air dan api."
Maka jelas, bahwa sumber daya alam adalah sepenuhnya menjadi hak warga negara. Negara hanyalah sebagai pengelola dari sumber daya alam tersebut. Yang kemudian hasil dari pengelolaannya didistribusikan kepada rakyat dengan berbagai bentuk. Bisa dengan bentuk pelayanan pendidikan, kesehatan, dan keamanan gratis atau dengan segala infrastuktur yang dibangun demi kemaslahatan rakyat.
Hasil dari pengelolaan tersebut bukanlah hak negara seperti yang sekarang sering diklaim. Pada sistem kapitalis, sumber daya alam merupakan milik negara yang bebas mereka perjualbelikan atas nama investasi. Bahkan pemilik sahnya sering meradang kekurangan, namun negara tetap memprioritaskan adanya ekspor ke negara lain hanya untuk mencapai target sebagai negara dengan ekonomi meningkat. Padahal, negara yang maju adalah negara yang mampu menyejahterakan rakyatnya bukan malah mengejar angka demi disebut mempunyai ekonomi yang tumbuh.
Khilafah ada untuk memastikan syariat terterap secara kaffah. Sedangkan pelaksanaan syariat secara kaffah bertujuan untuk membangun masyarakat yang tidak hanya sukses akhirat, tapi dunia juga didapat sesuai dengan maqashid syariah (tujuan syariat).
Demikianlah pandangan Khilafah terhadap Migas. Migas merupakan harta sah rakyat yang tidak boleh diperjualbelikan atas nama investasi, sebab Migas pun termasuk dalam komoditas yang sangat dibutuhkan rakyat. Maka mengutamakan kebutuhan rakyat menjadi kewajiban, apalagi Migas bukanlah barang yang dapat diperbarui. Maka, keberadaannya tidak boleh dengan mudah dilepas untuk ekspor. Allahu a'lam bis-showwab.[]