"Secara logika, memang pemidanaan kasus korupsi membutuhkan biaya yang sangat besar. Bisa jadi pembiayaannya justru membuat negara merugi. Maka bisa dipastikan bahwa negara tidak akan mampu menyelesaikan persoalan korupsi ini."
Oleh. Merli Ummu Khila
(Pemerhati Kebijakan Publik)
NarasiPost.Com-Korupsi itu lahir dari rahim demokrasi yang berbiaya tinggi. Percaturan politik meniscayakan siapa pun yang hendak meraih kekuasaan harus berkorban mati-matian. Meraih kekuasaan dengan uang, demi meraup uang. Berharap negeri ini bersih dari korupsi, ibarat menggantang asap. Mustahil untuk dibasmi.
Saking sulitnya memberantas korupsi, lembaga yang dipercaya mengurusi pejabat korup mulai kelimpungan. Bagaimana tidak, satu kasus korupsi saja membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Persidangan yang berlarut-larut penuh dan tentu saja penuh intrik. Jual beli kasus, politik saling sandera hingga alotnya mega korupsi yang menyangkut orang-orang sekitar penguasa.
Puncaknya, muncul pernyataan nyeleneh dan menuai kritik berbagai kalangan. Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata menyatakan bahwa korupsi yang dilakukan kepala desa tidak perlu ditindak secara hukum jika uang yang diselewengkan hanya bernominal kecil. Jadi, kepala desa hanya perlu mengembalikan saja, demi menghemat biaya pemidanaan yang tidak sesuai besarnya kasus. Menurutnya menindak kasus korupsi Kades tidak efektif dan justru membuat tekor negara.
Bagaimana bisa, tindak pidana yang masuk kategori extraordinary crime bisa dimaafkan begitu saja tanpa proses hukum. Sebuah pelanggaran hukum yang tergolong sebagai kejahatan luar biasa karena berdampak pada kerugian negara yang mengelola uang rakyat. Tidak bisa sebuah perkara korupsi ditindak berdasarkan nominal. Pencuri tetaplah pencuri yang harus diadili.
Hal ini dikuatkan oleh pernyataan Anggota Komisi Hukum DPR sekaligus mantan jubir KPK, Johan Budi. Beliau mempertanyakan dasar hukum kebijakan tersebut karena saat ini belum ada regulasi yang mengatur proses hukum berdasarkan nominal. Hal senada juga diungkap oleh Peneliti ICW Kurnia Ramadhana, Tidak ada sanksi lain kecuali penegakan hukum secara tegas.
Secara logika, memang pemidanaan kasus korupsi membutuhkan biaya yang sangat besar. Di sepanjang tahun 2021 saja, KPK sudah menerima sebanyak 3.708 laporan dugaan korupsi sejak Januari hingga November 2021. Dari ribuan kasus itu, setiap kasus rasanya tidak mungkin bisa diselesaikan hanya dengan dua atau tiga kali persidangan. Bisa jadi pembiayaannya justru membuat negara merugi.
Maka bisa dipastikan bahwa negara tidak akan mampu menyelesaikan persoalan korupsi ini. KPK hanya mampu melakukan tindakan pada pelanggaran tapi tidak mampu menekan angka kasus. Beginilah ketika pengaturan kehidupan dibiarkan diatur oleh manusia. Sistem bernegara yang mengatur hajat hidup orang banyak diberikan kedaulatannya pada manusia. Tumpang tindih aturan yang sarat akan kepentingan.
Lain halnya dengan sistem Islam. Tidak ada celah bagi pejabat untuk melakukan korupsi karena dari awal membentuk sebuah negara, Islam menjadikan hukum syariah sebagai landasan bernegara. Pejabat yang diberi kuasa menjadikan jabatan sebagai amanah. Pemilihannya pun tentu saja berbiaya murah karena tidak ada persaingan merebutkan kekuasaan seperti saat ini.
Maraknya korupsi disebabkan banyak faktor di antaranya lemahnya pengawasan negara dan sanksi yang tidak menimbulkan efek jera. Dalam sistem Islam, koruptor akan dihukum takzir atau sesuai dengan kebijakan khalifah. Ketegasan hukum ini bersifat zawajir dan jawabir.
Penerapan sanksi hukum kejahatan yang telah ditetapkan oleh syarak bersifat pencegah dan penebus dosa. Pencegah atau zawajir yang berarti jika dapat mencegah manusia dari tindak kejahatan. Jika ia mengetahui bahwa dengan korupsi dia harus dipenjara dan diasingkan dan tidak bisa lolos dari jeratan hukum, maka orang akan berpikir ulang untuk korupsi.
Selain berfungsi sebagai pencegah, hukum Islam juga berfungsi sebagai penebus atau jawabir yaitu jika diterapkan maka uqubat atau sanksi dapat menebus sanksi akhirat. Artinya jika pelaku sudah dikenakan sanksi di dunia maka dia tidak akan diminta pertanggungjawaban kelak di akhirat. Betapa adilnya Allah mengatur sanksi, seandainya manusia mau memikirkan.
Wallahu a’lam bishshawaab[]