"Film ini menggambarkan tekad kuat Yuni dalam menunjukkan kebebasan yang dipilihnya dalam hidup untuk melawan berbagai tradisi dan budaya patriarki yang melekat kuat di masyarakatnya. Pilihan Yuni untuk bebas ini pun ditandai dengan sebuah adegan seks yang dilakukan sebagai simbol kebebasan Yuni dalam mengambil pilihan hidupnya sendiri."
Oleh. Riannisa Riu
NarasiPost.Com-Saat ini, cukup banyak film-film Indonesia yang mulai diterima kalangan internasional. Salah satunya adalah film Yuni yang berhasil membawa nama Indonesia meraih penghargaan Platform Prize Toronto International Film Festival 2021. Film ini juga terpilih untuk mewakili Indonesia di ajang Piala Oscar 2022. Dilansir dari cnnindonesia.com (Jum’at, 10/12/2021), film Yuni menyajikan sebagian kecil kasus kesetaraan gender karena budaya patriarki yang masih kental di masyarakat sebagian daerah di Indonesia.
Kamila Andini yang bertindak sebagai sutradara sekaligus penulis skenario film ini mengajak penonton menelan kenyataan pahit menjadi seorang perempuan di sebagian daerah Indonesia lewat remaja bernama Yuni (Arawinda Kirana). Remaja yang sederhana ini dituntut untuk memenuhi ekspektasi lingkungan yang memegang kuat kultur patriarki.
Secara garis besar, Yuni yang terinspirasi dari kisah nyata ini membingkai fenomena diskriminasi terhadap perempuan akibat budaya patriarki, salah satunya dalam praktik pendidikan. Yuni adalah remaja berprestasi yang mendapat beasiswa untuk berkuliah. Demi meraih cita-cita, Yuni berani menolak lamaran banyak pria yang dianggap tabu. Bagi masyarakat tempat Yuni dilahirkan, pamali bagi seorang perempuan untuk menolak lamaran karena dianggap akan membawa malapetaka.
Kamila Andini seolah memberikan kritikan bahwa hak untuk memperoleh pendidikan antara laki-laki dan perempuan masih belum setara di Indonesia. Sang sutradara menunjukkan realitas bahwasanya sebagian masyarakat masih terjebak dengan pemahaman “perempuan hanya layak mengisi ranah domestik”. Sedangkan laki-laki punya keistimewaan untuk mengatur hidupnya. Para remaja perempuan dipaksa menikah dengan banyak alasan mulai dari mencegah hamil di luar nikah yang dianggap membawa aib keluarga, hingga faktor ekonomi. Bahkan lebih jauh, pernikahan seolah dianggap sebagai “jalan keluar” segala permasalahan hidup.
Film ini menggambarkan tekad kuat Yuni dalam menunjukkan kebebasan yang dipilihnya dalam hidup untuk melawan berbagai tradisi dan budaya patriarki yang melekat kuat di masyarakatnya. Pilihan Yuni untuk bebas ini pun ditandai dengan sebuah adegan seks yang dilakukan sebagai simbol kebebasan Yuni dalam mengambil pilihan hidupnya sendiri. Adegan itu disebut Arawinda mengandung makna penting tentang keberanian Yuni untuk melawan sistem perjodohan di kampungnya.
“Karena itu bukan adegan asal-asalan mesum, enggak, itu adegan yang sangat penting yang merupakan simbol kebebasan Yuni, yang dia ingin membebaskan dirinya dari perjodohan,” kata Arawinda Kirana kepada CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu. “Adegan itu ada maknanya, sebagai pemberontakan Yuni dan pembebasan Yuni. Jadi saya, orang tua, dan manajer saya mengiyakan saya untuk melakukan adegan tersebut.” katanya.
Jika kita tilik satu per satu poin yang ditonjolkan dalam film “Yuni” ini, maka akan terdapat beberapa poin kritik yang menjadi fokus permasalahan dalam film ini. Pertama, seorang remaja perempuan berprestasi, ingin belajar namun terhalang oleh tradisi masyarakat dan budaya patriarki. Kedua, keinginan remaja tersebut untuk belajar dipatahkan oleh pemaksaan pernikahan yang disebut-sebut akan menjadi penyelesaian semua masalah. Ketiga, masalah pendidikan seks yang seolah ingin mencegah kehamilan di luar nikah karena membawa aib keluarga dan permasalahan ekonomi. Terakhir, usaha si remaja untuk mengatasi keseluruhan permasalahan tersebut dengan menunjukkan kebebasan dan pemberontakannya yakni dengan melakukan sebuah perbuatan yang melawan ketiga permasalahan di atas tadi, yakni seks.
Keempat poin di atas sesungguhnya menggambarkan kerusakan masyarakat yang luar biasa. Ini adalah bukti bahwa manusia saat ini telah terpapar sekularisme yang begitu parah tanpa mereka sadari. Apa itu sekularisme? Sekularisme adalah memisahkan agama dengan kehidupan, yakni mengakui adanya Allah sebagai Tuhan, namun aturan Allah dianggap sampah. Masyarakat sekuler ini tanpa sadar telah menyudutkan serta mendorong seorang remaja tanpa pemahaman menjadi remaja yang berani untuk melakukan perbuatan dosa yang besar.
Kerusakan yang tampak dalam film ini begitu besar. Pertama, sistem pendidikan negara saat ini begitu buruk sampai-sampai orang tua dan masyarakat malah mencegah seorang remaja yang ingin melanjutkan pendidikan. Padahal dalam Islam, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam mewajibkan seorang manusia menuntut ilmu hingga ke liang lahat, siapa pun dia.
Kedua, film ini telah membenturkan pernikahan dengan pendidikan seorang remaja. Pernikahan adalah ikatan suci yang merupakan ibadah terlama kepada Sang Khalik, bukan alat untuk menghalang-halangi pendidikan seseorang. Bahkan dalam Islam, seorang ibu sangat diwajibkan untuk menuntut ilmu agar mampu mendidik anak-anaknya menjadi generasi emas muslim dan muslimah. Ibu adalah madrasah pertama anak-anaknya, guru pertama yang harus mampu mendidik anak sebelum anak diberikan pengetahuan lain oleh guru lainnya.
Ketiga, pendidikan seks jelas adalah masalah terbesar di sini. Inilah akar permasalahan yang sebenarnya, karena kaum muslimin sesungguhnya tidak membutuhkan pendidikan seks yang berlandaskan feminisme dan kapitalis sekuler. Materi-materi yang diajarkan dalam pendidikan seks itulah yang membangkitkan pemahaman-pemahaman yang bertentangan dengan Islam, membuat seorang wanita tidak lagi menyadari jati diri dan betapa penting dan terhormatnya ia sebagai seorang wanita. Terakhir, seluruh permasalahan yang terjadi di film ini terjadi akibat penguasa negara saat ini tidak menerapkan syariat Islam, melainkan malah terus bersikap membebek penjajah dengan mengikuti sistem kapitalisme yang mampu mengubah seorang remaja baik-baik menjadi buruk.
Sistem kapitalisme sekuler sesungguhnya adalah sebuah sistem pemerintahan yang amat buruk. Sebab pada dasarnya sistem ini memisahkan agama dan kehidupan, sehingga dalam mengatur kehidupannya manusia membuat aturannya sendiri. Padahal Islam bukanlah sekadar sebuah agama. Islam adalah sebuah sistem yang sempurna, telah diturunkan sebagai satu paketan khusus oleh Allah Subhanahu Wa Taala untuk mengatur manusia dengan segala aturannya. Seluruh sistem, aqidah dan aturannya berada lengkap dalam kitab Al-Qur’an, diperjelas lagi dengan tutorial tak bercela dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa Sallam. Sehingga jika kaum muslimin tidak hidup di bawah aturan Uslam, maka bencanalah akibatnya, seperti yang digambarkan di film Yuni tersebut.
Perempuan menjadi komoditi yang bisa diperjualbelikan. Kemaksiatan demi kemaksiatan terjadi secara bertahap akibat tidak adanya sistem Islam yang mengatur umat. Ketika sistem Islam ditegakkan, syariat Islam dijadikan aturan bagi seluruh umat, maka otomatis revolusi di segala bidang akan terjadi. Pendidikan akan dilaksanakan bagi setiap orang secara gratis, penguasa bahkan akan mewajibkan setiap orang untuk menuntut ilmu dan membayar tunai segala macam karya yang dihasilkan oleh setiap orang yang memiliki ilmu, tanpa memandang apakah ia laki-laki atau perempuan. Sistem ekonomi Islam yang diterapkan pun akan memastikan setiap orang mendapatkan jaminan sandang, pangan dan papan dari negara secara terjangkau, sehingga tidak dizinkan ada gelandangan atau orang yang menikahkan anaknya dengan sengaja hanya untuk mendapatkan uang sekadar untuk makan. Sebab pernikahan adalah suatu ibadah yang mulia, dilaksanakan dengan niatan ibadah karena Allah, bukan sarana jual beli anak.
Penguasa negara Islam pun akan dengan ketat menyeleksi setiap informasi dan media yang masuk ke dalam negara Islam, sehingga tidak akan ada informasi yang mengandung pornografi atau kemaksiatan yang bisa merusak moral dan pendidikan akidah masyarakat. Begitu pula dengan kehidupan laki-laki dan perempuan akan dipisahkan dalam setiap aspek (infishal), baik pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya sehingga tidak akan menyebabkan terpicunya kekerasan seksual dalam bentuk apa pun.
Sistem Islam pun sangat memuliakan perempuan. Perempuan akan diberikan tugas yang amat mulia dan sesuai dengan kodratnya sebagai wanita, yakni menjadi ibu dan pendidik utama generasi emas. Sehingga justru di dalam Islam, seorang wanita akan diminta untuk menuntut ilmu setinggi mungkin agar mampu mendidik anak-anaknya dengan sebaik-baiknya. Bahkan setelah menikah pun, kehidupan seorang wanita muslimah tidak hanya akan terbatas pada kasur, dapur, sumur, melainkan amar makruf nahi mungkar, yakni mengemban tugas sebagai pendakwah dan pendidik yang amat luar biasa, untuk mencerdaskan umat dan membangkitkan generasi terbaik pada zamannya. Seperti ibunda Imam besar As Syafii, Fatimah Al Fihri pendiri universitas pertama, juga Nusaibah sang singa wanita pembela Rasulullah Shalallahu alaihi wa Sallam yang mahir bertarung. Mereka adalah wujud nyata dari para wanita terbaik pada zamannya yang dilahirkan oleh sistem kekhilafahan Islam. Maka, jika ingin wanita menjadi mulia, segeralah tegakkan syariat Islam secara kaffah. Wallahu’alam bisshawwab.[]