"Ketegasan dan keteguhan Imam al-‘Izz dalam memerangi kebatilan dan menyampaikan kebenaran patut menjadi teladan bagi para ulama masa kini. Bagaimana beliau memegang syariat Islam dengan kukuh dan tidak goyah di tengah berbagai tekanan dan ancaman."
Oleh. Deena Noor
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Ulama adalah pewaris nabi. Keberadaan para ulama sangat penting di tengah umat. Laksana bintang yang berkilau, ulama menerangi kehidupan. Dengan ilmu yang diwarisi dari nabi, ulama menjadi guru umat.
Ulama menjadi rujukan agar hidup tak melenceng dari agama. Ulama akan mengoreksi segala pemahaman yang salah, membersihkan pemikiran umat dari hal-hal yang mengotori, dan menjaga akidah Islam tetap murni.
Selain sebagai pendidik umat, ulama juga menjadi garda terdepan dalam dakwah syariat Islam. Ulama lurus memahami betul bahwa dakwah adalah suatu kewajiban mulia. Sebab dengan dakwah, kebenaran bisa ditunjukkan. Ajaran Islam yang agung akan dipahami sebagai sebuah aturan yang harus diterapkan dalam kehidupan.
Ulama menjadi pengemban dakwah sekaligus motivator, inspirator dan pembimbing umat dalam menjalani dakwah. Ulama yang lurus berjuang demi Allah semata. Ulama adalah pejuang agama Allah.
Umat Islam memiliki banyak sekali ulama dengan ilmu dan ketangguhan yang luar biasa dalam perjuangan di jalan dakwah. Mereka menjadi pelita di setiap zaman. Mereka merupakan teladan hebat dalam segala aspek kehidupan. Salah satu ulama yang begitu cemerlang dalam sejarah umat Islam adalah Imam al-‘Izz bin Abdussalam.
Imam al-‘Izz bin Abdussalam atau ‘Izzuddin bin Abdussalam lahir di Damaskus (Suriah) pada tahun 577 Hijriah atau tahun 1181 Masehi. Beliau tumbuh besar di kota ini.
Beliau banyak mempelajari ilmu fikih, ushul fikih, tafsir, dan bahasa Arab pada para ulama besar. Beliau begitu pandai hingga menjadi menonjol dalam kepemimpinan mazhab Imam Syafi’i. Beliau juga mendapat pengakuan untuk berijtihad dan berfatwa dari berbagai tempat.
Imam al-‘Izz bin Abdussalam menyandang gelar ‘Sultan Ulama’ sebagaimana yang disebutkan oleh murid beliau, Ibnu Daqiq al-‘Id. Keberanian beliau dalam menentang para sultan/penguasa yang menyimpang dengan argumen yang kuat dan memuaskan membuat mereka bertekuk lutut.
Imam al-‘Izz bin Abdussalam hidup selama 83 tahun (meninggal di tahun 660 H) dan menyaksikan berbagai peristiwa bersejarah di dunia Islam. Beliau mengetahui kemenangan umat Islam dengan dipimpin oleh Shalahuddin al-Ayyubi yang mampu merebut kembali Baitul Maqdis dari tangan pasukan salib pada tahun 583 H. Beliau menyaksikan sebagian serangan kaum Salib terhadap negeri Palestina dan Mesir. Beliau juga melihat betapa kejam dan biadabnya serangan pasukan Tar-Tar, Mongol terhadap kekhilafahan Abbasiyah di Baghdad. Serangan tersebut juga telah memorakporandakan negeri-negeri Islam. Beliau juga menjadi saksi sejarah serangan balik yang dipimpin oleh Saifuddin Quthuz, Sultan Mesir, terhadap pasukan Tar-Tar di ‘Ainun Jalut (Palestina).
Beliau juga melihat bagaimana terpecahnya Daulah Ayyubiyah menjadi negeri-negeri kecil setelah kematian Shalahuddin al-Ayyubi. Negeri-negeri tersebut kemudian makin terpuruk dan menjadi sarang bagi orang-orang dengki, dendam, dan orang-orang Salib terhadap kepemimpinan Islam.
Karena itulah beliau menyerukan persatuan untuk seluruh negeri kaum muslim dan menyingkirkan musuh sesungguhnya, yakni kaum kafir dan kaki tangannya. Beliau berdiri di atas mimbar melakukan muhasabahnya pada penguasa. Dengan keberanian karena Allah, beliau mengatakan kalimat-kalimat haq di hadapan orang-orang yang terobsesi parah pada kekuasaan.
Beliau tak takut menasihati penguasa yang melakukan kemaksiatan. Tanpa ragu beliau mengeluarkan fatwa tentang keharaman menjual senjata kepada orang-orang Salib. Beliau juga dengan tegas menolak tindakan mungkar Sultan Malikushalih Ismail yang meminta bantuan kaum kafir untuk membunuh saudaranya sendiri, Sultan Najamuddin Ayyub, demi kekuasaan.
Sultan Malikushalih Ismail telah nyata melakukan pengkhianatan keji terhadap umat Islam dengan menjalin kerja sama dengan orang kafir. Kerja sama tersebut tentu merugikan karena kota dan benteng as-Syaqif serta benteng-benteng strategis kaum muslim beralih ke tangan orang-orang kafir. Sultan bahkan membiarkan orang-orang kafir tersebut memasuki kota Damaskus guna membeli senjata dan peralatan perang yang mereka butuhkan.
Melihat ini, Imam al-‘Izz tidak tinggal diam. Beliau terus menyampaikan kebenaran dan menolak keras kemungkaran yang dilakukan oleh penguasa saat itu. Imam al-‘Izz tak gentar meski berhadapan dengan kekuasaan. Orang-orang yang berada di pihak beliau menyarankan untuk pergi meninggalkan kota dan menyelamatkan diri. Namun, Imam al-‘Izz menolak dan berkata: “Demi Allah, aku tidak akan lari dan tidak akan bersembunyi, karena kami baru saja memulai berjihad dan kami belum berbuat apa-apa. Aku berkeyakinan pada diriku sendiri untuk menanggung risiko perjuangan ini. Dan demi Allah, Allah tidak akan menyia-nyiakan perbuatan orang-orang yang bersabar.”
Karena sikap tegas dan tak mau berkompromi itulah kemudian Imam al-‘Izz ditangkap. Meski kemudian dilepaskan kembali oleh Sultan Ismail, namun beliau dipaksa untuk tetap tinggal di rumah. Selain itu, beliau juga dilarang mengeluarkan fatwa, mengajarkan agama serta tidak boleh bertemu dengan siapa pun. Isolasi yang diterapkan pada beliau mengakibatkan terbengkalainya aktivitas mulia yang biasa dilakukan, yakni amar ma’ruf nahi mungkar. Karena itulah kemudian beliau meminta pindah dari Damaskus ke Mesir.
Dalam perjalanan menuju Mesir, beliau singgah di Baitul Maqdis dan tinggal di sana untuk beberapa waktu. Selang berapa lama, Sultan Ismail juga mendatangi Baitul Maqdis dan mengetahui keberadaan Imam al-‘Izz. Sultan lalu mengirim utusan menemui Imam al-‘Izz yang intinya untuk membujuk Sang Imam agar mau kembali bergabung dengan Sultan Ismail.
Imam al-‘Izz jelas tidak mau mengikuti keinginan Sultan Ismail tersebut untuk bergabung dalam kemungkaran. Dengan tegas beliau mengatakan: “Demi Allah, wahai orang-orang yang hina, aku tidak akan merelakan tanganku menerima uluran tangannya sebagai sesuatu yang utama. Wahai kaumku, kalian berada di dalam jurang, dan aku juga berada di dalam jurang. Segala puji bagi Allah yang telah mengampuniku dari ujian yang telah menimpa kalian.” Mendengar jawaban beliau, utusan Sultan Ismail lalu menangkap dan menahan Imam al-‘Izz.
Suatu kali, Imam al-‘Izz membaca Al-Qur'an di tempat penahanan beliau yang berada tepat di samping tenda sang sultan. Bacaan beliau pun terdengar oleh sang sultan yang tengah bersama sekutunya, Raja Frank dari Eropa.
Di lain kesempatan, Sultan Ismail berkata kepada Raja Frank bahwa Imam al-‘Izz adalah seorang ulama terkemuka. Ia mengatakan bahwa Imam al-‘Izz telah ditahan karena dianggap membangkang terhadap dirinya yang menyerahkan benteng-benteng kaum muslim kepada Raja Frank dan pasukannya. Sultan juga mengatakan bahwa dirinya telah memberhentikan Imam al-‘Izz dari kedudukannya dan melarang beliau untuk berkhutbah. Ia juga mengatakan bahwa Imam al-‘Izz dipenjara dan ditahan demi kepentingan Raja Frank dan sekutunya.
Mendengar hal itu, Raja Frank berkata kepada Sultan Ismail: “Seandainya dia adalah ulama kami, maka kami akan membasuh kedua kakinya dan meminum air bekas cucian (kaki)-nya.”
Sungguh miris sekali. Jawaban musuh tersebut seolah bertolak belakang dengan perkataan sang sultan yang bangga terhadap pengkhianatannya. Pengkhianatan yang disaksikan oleh musuhnya sendiri.
Bagaimana pengkhianatan tersebut juga dilakukan oleh penguasa-penguasa Islam hingga kini. Mereka sengaja bersekutu dengan orang-orang kafir dan mengabaikan kepentingan umat Islam. Mereka menentang syariat Allah demi mendapatkan kekuasaan yang sejatinya tidak selamanya.
Ketegasan dan keteguhan Imam al-‘Izz dalam memerangi kebatilan dan menyampaikan kebenaran patut menjadi teladan bagi para ulama masa kini. Bagaimana beliau memegang syariat Islam dengan kukuh dan tidak goyah di tengah berbagai tekanan dan ancaman. Beliau juga tidak turut pada rayuan dan bujukan para penguasa yang mencoba menarik beliau untuk membiarkan kemaksiatan.
Keteguhan terhadap syariat Islam Imam al-‘Izz juga tampak saat beliau menjadi qadhi di Mesir di era Sultan Najmuddin Ayyub. Imam al-‘Izz mengeluarkan fatwa tentang kedudukan sekelompok Mamalik Turki yang menurut beliau masih terikat dengan perbudakan yang belum mereka tebus. Jual beli dan pernikahan mereka tidak sah karena status mereka yang belum merdeka. Karena itu, mereka wajib menebus diri mereka dengan membayar sejumlah uang kepada Baitulmal.
Para Mamalik Turki tersebut merasa malu, terpukul dan marah besar mendengar fatwa tegas Imam al-‘Izz. Mereka menentang dan mencoba menekan beliau agar merubah keputusan tersebut. Namun, Imam al-‘Izz yang begitu teguh pada syariat sama sekali tidak bergeming dari posisinya. Beliau tidak takut pada ancaman apa pun.
Pada akhirnya, para Mamalik Turki tersebut tidak bisa berbuat apa-apa selain mengikuti fatwa Imam al-‘Izz. Mereka membayar sejumlah uang untuk memerdekakan diri. Uang yang mereka bayar tersebut kemudian dipakai untuk kemaslahatan kaum muslim.
Betapa luar biasa teladan yang diberikan oleh Imam al-‘Izz bin Abdussalam untuk umat Islam. Keteguhan dalam memegang aturan Allah, keberanian dalam menghadapi penguasa yang bermaksiat, ketegasan dalam menghadapi kemungkaran, serta keluasan ilmu yang beliau miliki menjadi contoh bagaimana ulama seharusnya.
Umat mendambakan ulama yang lurus, berani dan tangguh seperti Imam al-‘Izz bin Abdussalam yang menolak tunduk pada penguasa zalim. Beliau teguh menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa pengkhianat. Tanpa takut dan kenal lelah, beliau berjuang menumpas kemaksiatan dan kejahatan yang bisa menggerogoti tubuh umat Islam.
Teladan tersebut juga bisa diikuti oleh para pengemban dakwah yang notabene penyeru agama Allah. Bagaimana sikap yang harusnya dimiliki oleh para pengemban dakwah; senantiasa melakukan amar ma’ruf nahi mungkar dan tidak membiarkan rayuan duniawi menyimpangkan langkah dari tujuan dakwah ilallah.
Wallahu a’lam bish-shawwab.[]