"Untuk apa aku kecewa bila kau tampak lebih mementingkan aktivitasmu yang nyatanya demi umat? Bukankah itu untuk kebaikan bersama? Bukankah memang itu konsekuensi dari sebuah perjuangan lillah? Bukankah harusnya Dia di atas segalanya? Bukankah Dia telah berjanji bahwa siapa saja yang menolong agama-Nya, maka Dia juga akan menolong hamba-Nya?"
Oleh. Deena Noor
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Titik-titik embun di sudut mata bersiap menggenangi wajah lara. Jiwa mengekang amarah sekuat tenaga agar tak membabi buta. Gemuruh hati yang terluka oleh sikapnya. Hanya bisa menahan semua rasa di dalam dada. Kecewa.
Aku tahu bahwa manusia tak ada yang sempurna. Bahkan pada sosok yang tampak tak bercela, selalu ada setitik noda yang menjadikannya manusia. Namun, cinta sering kali membutakan mata dan menuangkan alpa pada logika.
Salahku meletakkan cinta di atas segalanya, namun sering kali lupa mengikatkannya pada Sang Maha Pengasih. Berbangga atas rasa yang kupikir setulus hati, nyatanya masih mengharap pamrih. Kulambungkan angan begitu tinggi pada tali yang ringkih. Terhempas angin, jatuh dalam perih.
Sakit itu lebih terasa kala ia ditorehkan oleh yang tercinta. Meski kita dalam perahu yang sama, namun bukan berarti selalu seia sekata. Meski kita saling mencinta, bukan tak mungkin saling menabur luka.
Mauku, maumu, tak selalu sama. Kita berbeda dalam banyak hal. Kau suka berbicara, aku irit dalam kata. Kau senang dalam keramaian, aku nyaman dalam keheningan. Kau ekspresif, aku kaku seperti kayu. Kau menikmati waktu di tengah banyak orang, aku lebih senang menyendiri. Kau mudah bergaul dan punya banyak teman, sementara aku si pemalu dengan segelintir teman setia dari lama. Kau sudah terbang ke mana-mana, sementara aku tak bisa jauh-jauh dari rumah.
Yaa Rabbi… Bukankah perbedaan itu sudah sunatullah? Karena itulah kita akhirnya menyatu dalam sebuah mahligai suci. Perbedaan yang menjadikan kita bisa saling melengkapi. Bagaimana aku bisa lupa? Mengapa aku harus kecewa?
Kita yang dahulu bertemu di masa-masa muda penuh gejolak. Aku yang tengah mencari jati diri, terpikat oleh sinarmu di antara rekan-rekan seperjuangan. Bukan karena fisikmu, melainkan karena pembawaanmu yang ramah dan supel. Kepandaianmu dalam menyampaikan ide dan pemikiran, membuatku ingin bisa sepertimu.
Kau pun begitu. Bagimu yang terbiasa dikelilingi banyak orang, sungguh mengagumkan melihatku menikmati kesendirian seolah tenggelam di antara buku-buku tebal. Di matamu, aku unik dan lucu. Terheran-heran dirimu padaku yang tak banyak berbicara, namun selalu dalam bermakna.
Begitulah kita di masa itu, saling mengagumi dari kejauhan. Kekaguman yang akhirnya mengetuk hati dengan cinta. Sebuah rasa yang tak berani untuk diungkapkan karena memang belum saatnya. Rasa yang harus benar-benar dijaga hingga halal tiba. Sebuah prinsip yang tidak bisa ditawar; jangan katakan cinta bila tak siap mewujudkannya sesuai dengan yang Dia mau.
Kita memahami itu dan menjalankannya. Kita berupaya patuh pada titah-Nya. Kita pun berusaha meredam segala rasa itu dengan kembali fokus pada cita-cita yang telah dicanangkan sedari semula. Tak satu kata pun yang terungkap. Semua rasa itu menjadi rahasia. Hingga takdir-Nya membuka jalan untuk indahnya rasa yang tersimpan karena-Nya.
Kini, setelah beribu-ribu hari terlalui, kita masih bersama dalam satu ikatan. Kita pun masih belajar saling memahami, saling menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dalam rumah yang kita bangun bersama, kita masih terus berusaha untuk mengisinya dengan cinta yang disandarkan pada-Nya.
Perjalanan cinta ini yang semoga untuk seterusnya. Meski sering terjatuh, namun kita berusaha bangkit, saling menguatkan. Tak hendak rasanya untuk saling meninggalkan.
Cinta yang membuat kita memutuskan untuk menjalani hidup dalam naungan cinta-Nya. Komitmen yang kita buat agar selalu mengutamakan cinta pada-Nya. Beragam dinamika rasa dan suasana mengiringi perjalanan kita.
Bila kau kecewa padaku, maka ingatlah bagaimana perjuangan kita dahulu. Bila aku kecewa padamu, maka aku akan berusaha mengingat semua kebaikanmu. Kecewaku padamu biarlah secepat angin berlalu. Cukup untuk menjadikan aku tetap menjejak bumi dan mensyukuri semuanya.
Tak semestinya aku kecewa padamu yang telah bekerja keras menjaga rumah kita tetap kokoh.
Kesibukanmu yang padat di luar sana bukanlah untuk bersenang-senang, melainkan untuk menetapi perintah-Nya. Bekerja dan berdakwah adalah kebaikan yang kau berikan untuk keluarga kita. Keluarga yang diberkahi, itulah yang menjadi cita-cita.
Kaulah pemimpin dalam keluarga. Sudah kewajibanmu untuk menuntunku pada jalan-Nya. Sudah kewajibanku untuk taat padamu yang telah mengupayakan kehidupan kita dalam naungan berkah-Nya.
Maka, untuk apa aku kecewa bila kau tampak lebih mementingkan aktivitasmu yang nyatanya demi umat? Bukankah itu untuk kebaikan bersama? Bukankah memang itu konsekuensi dari sebuah perjuangan lillah? Bukankah harusnya Dia di atas segalanya? Bukankah Dia telah berjanji bahwa siapa saja yang menolong agama-Nya, maka Dia juga akan menolong hamba-Nya?
Istighfarlah diriku. Bagaimana aku bisa dengan mudahnya menumpahkan kecewa atas kesalahan kecil yang mungkin tak kau sengaja? Bukankah aku sudah tahu bahwa kau sering luput pada hal-hal kecil dan remeh? Terlebih itu bukanlah hal yang menyimpang dari syariat-Nya?
Maafkan aku. Ternyata perihnya kecewa, aku sendirilah yang menyebabkannya. Aku lupa bahwa kau tak akan pernah bisa sempurna. Tak mungkin bagimu untuk menguasai semuanya. Ada batas-batas yang membuatmu tak bisa melewatinya meski kau memaksa. Aku tahu bahwa kau telah berusaha yang terbaik. Begitu pula diriku.
Maafkan aku yang mendiamkanmu. Maafkan aku yang merasa bahwa kau telah amat mengecewakanku. Begitu pun telah kuterima maafmu yang sempat tersilap karena emosi sesaat. Lelah terkadang membuat kita luput dalam menahan perkataan. Satu kata bahkan cukup untuk membuat hati terluka dan patah.
Sekali lagi kita belajar bahwa cinta berarti memaafkan dan menerima kekurangan pasangan. Tak akan pernah ditemukan kesempurnaan pada manusia. Namun, kita bisa berupaya menjadi lebih baik dengan senantiasa mendekat pada Sang Maha Sempurna.
Pada akhirnya, hanya kepada Allah kita menyandarkan segalanya. Cinta yang dirajut bersama biarkan berkembang dalam harum cinta-Nya. Biarkan cinta bersemayam dalam kalbu yang menunduk pada-Nya. Biarkan cinta-Nya menjadi nakhoda biduk kita.
Kala kecewa melanda, bersabarlah. Semoga setelahnya, jalinan cinta semakin kokoh dalam rida-Nya.[]