"Ruang penanganan sempit ala peradaban kapitalisme sekuler hanya sebatas tindakan preventif dan kuratif bervisi pragmatis, sebab tak diiringi solusi fundamental. Penanganan pandemi tidak diarahkan pada tujuan pemusnahan segera dan tindakan penguncian total, namun bersandar pada teknologi vaksin dan lemahnya kebijakan buatan manusia yang rentan pelonggaran."
Oleh. Witta Saptarini, S.E.
NarasiPost.Com-Berharap usai dan say goodbye pada pandemi Covid-19 yang tampak melandai. Namun, kabar teranyar yang ramai diwartakan di berbagai platform digital seluruh dunia, pandemi justru berpotensi memperpanjang mimpi buruk. Pasalnya, negara-negara di dunia kini mengambil tindakan ekstrem untuk menghentikan kedatangan varian baru asal Afrika Selatan. Penghuni dunia tak kasat mata ini terus saja bermutasi dan mengguncang dunia. Ya, virus dengan nama ilmiah B.1.1.529 ini terkategori variant of concern (VOC), sebab mengandung varian-varian berbahaya sebelumnya. Dengan lonjakan transmisi, virulensi yang tinggi, serta efektif mengurangi efikasi vaksin, maka evolusi sedang terjadi ke arah yang tidak baik dan harus diwaspadai.
Seperti dilansir Youtube Channel NBC News (29/11/2021), Countries Taking Extreme Measures to Stop New Variant. Situasi kekalutan tampak dalam persiapan pembatasan perjalanan di banyak negara, sebagai upaya menghalau kedatangan varian Omicron. Amerika Serikat, salah satu negara yang berencana memberlakukan pembatasan perjalanan hingga 7 negara di sekitar Afrika Selatan. Kendatipun demikian, pernyataan otoritas setempat akan langkah ini bukanlah alasan untuk bersikap panik, melainkan alasan yang bagus untuk mendorong percepatan pencegahan penyebaran, lengkap dengan tim pengintai guna melacak penyebaran melalui data ponsel. Bahkan di negara Morocco, penerbangan masuk dihentikan selama 2 pekan. Peringatan situasi darurat pun terjadi di Israel, terlihat dari kericuhan orang-orang asing meninggalkan negara tersebut.
Namun, pernyataan melawan balik terlontar dari sang Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa. Beliau mendesak dan menuntut negara-negara untuk mencabut semua larangan pembatasan perjalanan. Menurutnya, hal ini menjadi bentuk ketidakadilan dan diskriminasi terhadap negaranya. Sebab, virus bersifat kosmopolit dapat hidup dan berkembang di seluruh dunia. Langkah ini pun akan berdampak pada iklim ekonomi negaranya. (News24.com, 29/21/2021)
Saat ini beberapa negara terkonfirmasi kasus persebaran varian Omicron. Di antaranya, Kanada, Australia dan Denmark. Bahkan, daftar pertumbuhan sudah mencakup Hongkong, Italia, Jerman, Inggris, Belgia, Israel, Botswana, Belanda, dan Republik Ceko. Kendatipun demikian, ekstremnya upaya berbagai negara di belahan dunia menghentikan laju persebaran, akankah menyolusi? Lalu, bagaimana dengan otoritas tanah air, apakah akan terus menjadi follower , turut mengambil langkah penanganan yang sama?
Ideologi Kapitalisme Sekuler Hadir dengan Solusi Pragmatis
Menilik pernyataan kekecewaan Cyril Ramaphosa lewat kacamata sistem yang menaunginya, tidaklah sepenuhnya salah. Sebab, peristiwa ini telah menguak inkonsistensi salah satu agenda besar pada Deklarasi G20 yang baru saja diselenggarakan di Roma 30 Oktober 2021, terkait kesiapan menuju pandemi di masa depan. Pasalnya, upaya penekanan krisis kesehatan dan ekonomi global yang inklusif berpegang teguh pada prinsip solidaritas, berkeadilan, dan transparansi tampak tidak sesuai komitmen.
Bila kita kritisi lebih dalam, faktor utama lonjakan bukan disebabkan varian baru. Seperti halnya varian Omicron, hadir berkat kolaborasi varian-varian berbahaya sebelumnya yang terkategori VOC, yakni Alpha, Beta, Gamma, dan Delta. Namun, faktor mendasar yang menjadi pemicunya ada pada kesalahan strategi penanganan. Yakni, mengatasi pandemi atas gagasan yang terlahir dari ideologi kapitalisme sekuler. Maka, berkiblat pada panduan mitigasi otoritas kesehatan dunia global (WHO), yang notabene diadopsi oleh rezim berkuasa di dunia, hanya bermuara pada persoalan yang kian pelik, bahkan berpotensi menghantam dunia, disebabkan orientasi dominasi prospek pertumbuhan ekonomi global.
Ancaman varian baru ini sejatinya menjadi pembelajaran. Pasalnya, solusi dengan pendekatan ala ideologi kapitalisme memiliki prinsip menjunjung tinggi nilai materi. Sehingga, fokus terhadap kepentingan pemulihan ekonomi. Tampak pada upaya penggabungan dua elemen yang berlawanan dari aspek nilai yang dicapai. Bahwasanya, penanganan kesehatan dan ekonomi harus sejalan. Bisa kita saksikan, di satu sisi berkomitmen pada nilai kemanusiaan, namun terkontaminasi oleh pekatnya nilai materi. Faktanya, perhitungan ekonomi alias untung rugi inilah yang mendominasi. Tak heran, berpijak di atas sistem kapitalisme, ancaman ini justru bisa menjadi peluang bisnis bagi jiwa materialistis.
Ruang penanganan sempit ala peradaban kapitalisme sekuler hanya sebatas tindakan preventif dan kuratif bervisi pragmatis, sebab tak diiringi solusi fundamental. Penanganan pandemi tidak diarahkan pada tujuan pemusnahan segera dan tindakan penguncian total, namun bersandar pada teknologi vaksin dan lemahnya kebijakan buatan manusia yang rentan pelonggaran. Masih hangat dalam ingatan, bagaimana mobilitas WNA yang mendapat fasilitas istimewa di tengah melonjaknya kasus dan ketatnya protokoler di tanah air. Pun, hingga kini pergerakan manusia antarnegara terus berjalan. Alhasil, tongkat estafet episentrum tak tampak mencapai garis finish. Celakanya, justru menaikkan status virus, tak sekadar mutasi melainkan telah berevolusi ke arah yang lebih berbahaya. Itulah karakter penanganan peradaban kapitalisme sekuler yang terkesan tidak manusiawi, parsial, dan terbukti gagal.
Ideologi Islam Hadir dengan Solusi Fundamental
Ideologi Islam hadir dengan solusi fundamental dan menjaga kehidupan, sebab memiliki ruang penanganan luas atasi krisis multidimensi, termasuk pandemi. Dalam pandangan Islam, sedari awal vaksin tidak dirancang untuk tindakan massal pemutus rantai penularan. Namun, didesain untuk tindakan medis bersifat individual. Dengan tujuan pencegahan, yakni agar tidak terjangkit dan bila terjangkit tidak seberapa parah.
Meski perkara musibah ini adalah bagian dari qada Allah, di satu sisi kita rida ketika menimpa kita. Tapi, di sisi lain Allah telah memberikan khasiat pada benda, naluri serta jasmani, maka di situlah terdapat ruang ikhtiar, wujud iman kepada qadar. Maka, Islam menangani wabah dengan segera, tanpa tapi tanpa nanti. Sebab, Islam memiliki karakter yang khas dan manusiawi. Terlihat dari prinsip kesigapan tindakan penanganan, serta metode pelaksanaannya sesuai yang disyariatkan Allah Swt. Sebagaimana yang ditegaskan Rasulullah saw., “Apabila kalian mendengar wabah di suatu tempat maka janganlah memasuki tempat itu, dan apabila terjadi wabah sedangkan kamu berada di tempat itu maka janganlah keluar darinya.” (HR. Imam Muslim)
Itulah esensi penguncian zona wabah yang disyariatkan Allah, meniscayakan penanganan sesegera mungkin, beriringan dengan mekanisme pendukung lainnya sebagai bentuk penyelamatan jiwa. Yakni, teknologi alat deteksi, sarana kesehatan yang diperlukan, isolasi, perawatan hingga sembuh, dan menjamin pemenuhan kebutuhan rakyatnya. Itulah bagian bentuk penjagaan jiwa dalam Islam, yakni mencegah bahaya bagi manusia. Maka, fasilitas kesehatan dan kebutuhan pokok menjadi tanggung jawab penuh negara bagi rakyatnya tanpa memandang perbedaan. Sehingga, menghilangkan bahaya menjadi tanggung jawab negara. Sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Tidak boleh membuat bahaya bagi diri sendiri dan tidak boleh membuat bahaya bagi orang lain.” (HR. Ibnu Majah)
Sadarilah, musibah bisa menjadi sebuah ujian dan teguran dari sang Penguasa Kehidupan, yakni Allah Swt. Dalam konteks ini, panjangnya waktu penanganan yang tak berujung, disebabkan kepongahan manusia mengabaikan hak-hak Allah dan Rasul-Nya menyikapi musibah ini. Pun, sikap jemawa para penguasa yang mengibarkan bendera kebebasan dan mengagung-agungkan hukum buatan manusia, termasuk abainya pengurusan terhadap rakyat yang dipimpinnya dalam kondisi wabah.
Karena itu, sudah saatnya kita bangkit dari mimpi buruk nan panjang. Katakan tidak pada ideologi kapitalisme sekuler. Sejatinya, negara mayoritas muslim menyadari bahwa ideologi Islam adalah satu-satunya solusi kehidupan. Sebab, perkara ini tercipta oleh sistem yang diadopsi saat ini. Sehingga, dibutuhkan kepemimpinan Islam global yang mampu melaksanakan prinsip dan tindakan Islam secara sempurna, dalam institusi negara Khilafah. Dengan sistem kesehatan dan ekonomi yang andal dan kokoh, ideologi Islam terbukti mampu menuntaskan wabah dengan efektif. Sehingga, tak akan memberi ruang bagi virus untuk terus berevolusi ke arah membahayakan dan mengancam jiwa.
Wallahu a’lam bish-shawwab []
Masyaa Allah..tulisan yg bagus ..
Alhamdulillah, jazakillah khayran katsiirn ❤️
Benar Hanya ideologi Islam yg terbukti dapat menuntaskan wabah ini sebab solusi yg diperoleh berdasarkan apa yg Allah dan Rasulnya katakan. Terbukti solusi yg ditawarkan ideologi kapitalisme sekulerisme tak mampu menyudahi pandemi ini sebab solusinya bersumber dari akal manusia yg terbatas.. Maha benar Allah Atas segala Firman-Nya...
Maa syaa Allah, super sekali !! ❤️