"Dari sini, kita melihat bukan target kemajuan di bidang teknologi dengan digitalisasi pada setiap lini, tapi ada indikasi berlabuhnya kebijakan dan program-program pemerintah pada mereka yang berkepentingan, yakni para kapital."
Oleh. Muntik A. Hidayah
(Aktivis BMIC dan Pegiat Komunitas Pena Langit)
NarasiPost.Com-Ramai soal pemberitaan PNS akan digantikan dengan robot di berbagai portal berita online. Rencana ini sebenarnya tercetus pertama kali oleh Presiden Jokowi pada November 2019, atas kebutuhan akan sistem birokrasi yang cepat, sederhana, dan tidak bertele-tele. Untuk tujuan tersebut, maka nantinya AI (artificial intelligence) akan menggantikan posisi eselon PNS III dan IV (Republika.co.id 30/11/2021).
Sebagaimana dilansir oleh iNewsBekasi.id (1/12/2021), penggantian PNS oleh AI ini dilatarbelakangi oleh efektivitas kerja dan efisiensi anggaran. Jumlah PNS yang ada hari ini dirasa terlalu gemuk, yang juga akan membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Lebih jauh, mengutip dari CNBC Indonesia (2/12/2021), APBN diharapkan tidak semakin terbebani akibat tingginya kebutuhan untuk membayar gaji dan tunjangan PNS. Belum lagi pensiunan PNS yang juga harus ditanggung negara.
Adapun jumlah PNS per Juni 2021 yakni tercatat sebanyak 4.081.824 orang. Jauh mengalami penurunan dari yang sebelumnya, yakni pada 2015 sebanyak 4.593.604 orang (Detik Finance 29/11/2021).
Kebijakan ini tentu akan semakin memperparah persoalan pengangguran di negeri ini, sekalipun memang tidak semua PNS akan digantikan dengan robot. Pengangguran yang sudah jadi bahasan lama tak kunjung terselesaikan. Ditambah dengan kondisi pandemi yang kemudian berujung pada ketidakstabilan ekonomi, serta PHK di sana-sini. Dapat dipastikan betapa sulitnya mencari pekerjaan sekarang ini.
Sudahlah sejak awal pemerintah tidak serius menyediakan solusi bagi banyaknya jumlah pengangguran. Lantas dengan diusungnya program ini pun, pemerintah juga tidak memberikan jaminan bagi PNS yang posisinya akan digantikan oleh robot. Kemudian di mana jaminan akan kesejahteraan rakyat yang menjadi tanggung jawab dan kewajiban negara yang utama?
Terlepas dari aspek kemajuan teknologi yang hendak diburu, tak bisa kita mungkiri bahwa sikap negara seolah begitu pelit terhadap rakyatnya sendiri. Bukankah memang menjadi kewajiban negara untuk memastikan rakyatnya hidup sejahtera, sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidupnya? Tapi yang kita dapati adalah dengan banyaknya PNS, yang notabene juga bekerja untuk negara, justru dianggap sebagai beban. Seiring dengan banyaknya yang harus dikeluarkan untuk memberikan gaji dan tunjangan.
Pada dasarnya kita menyadari, tak ada masalah dengan teknologi. Akan tetapi yang menjadi akar masalahnya ialah bahwa dalam sistem kapitalisme hari ini, teknologi menjadi ajang kapitalisasi. Setelah program ini dijalankan, tentu banyak pertanyaan yang akan terlontar. Siapakah yang akan menjadi penyedia robot-robot itu? Atau dari manakah dana yang akan kita dapatkan untuk pengadaannya? Mampukah APBN kita menutupinya? Ujungnya akan kembali kepada pihak-pihak yang memiliki kepentingan, ataupun lagi-lagi akan berbicara soal utang dan investasi.
Dari sini, kita melihat bukan target kemajuan di bidang teknologi dengan digitalisasi pada setiap lini, tapi ada indikasi berlabuhnya kebijakan dan program-program pemerintah pada mereka yang berkepentingan, yakni para kapital.
Dari sisi yang lain, menjadi negara maju hari ini memanglah senantiasa diukur dari tingkat kecanggihan teknologinya semata, digitalisasi setiap aspek kehidupan. Namun demikian, tidak pernah melihat apakah kemajuan di bidang teknologi itu berkorelasi positif dengan kemaslahatan rakyat. Apakah semua yang diupayakan ini sejalan dengan kesejahteraan rakyat? Jika tidak, lantas untuk apa semua itu diupayakan sedemikian rupa?
Tentu paradigma negara kapitalis memandang kewajibannya atas rakyat sangat berbeda dengan paradigma negara Islam. Dalam Islam, negara menjamin kesejahteraan bagi rakyatnya dengan mekanisme langsung dan tak langsung. Mekanisme langsung meliputi pemenuhan kebutuhan rakyat akan pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Negara wajib menyediakan berbagai fasilitas, sarana dan prasarana yang menunjang secara gratis.
Adapun, secara tak langsung ada beberapa aspek yang dapat kita pahami dalam paradigma Islam (Meto Elfath dalam Portal Sultra 13/6/2019), yakni: Pertama, hukum asal setiap individu wajib memenuhi kebutuhannya sendiri melalui mekanisme bekerja (QS. Al-Mulk: 15; QS. Al-Jumu’ah: 10; QS. Al-Jatsiyah: 12; HR. Baihaqi; HR. Abu Nu’aim, dll).
Kedua, dalam kondisi individu mampu bekerja tapi tidak mempunyai pekerjaan atau kesempatan bekerja, maka negara wajib menyediakan lapangan pekerjaan. Sebab hal ini memang merupakan tanggung jawab negara (HR. Bukhari dan Muslim). Ketiga, dalam kondisi individu tidak mampu bekerja, maka menjadi kewajiban kerabat atau mahram untuk memenuhi kebutuhan pokoknya (QS. Al-Baqarah: 233; HR. Ibnu Majah).
Keempat, jika tidak ada kerabat ataupun mahram yang mampu memenuhi kebutuhan pokoknya, maka kewajiban negara untuk mencukupinya dengan kas zakat di Baitul Mal (QS. At-Taubah: 60). Kelima, jika kas zakat di Baitul Mal tidak mencukupi, maka negara akan mengambilkan dari kas lain. Keenam, dalam kondisi kas negara (Baitul Mal) habis, maka menjadi kewajiban bagi seluruh kaum muslimin untuk mencukupinya (QS. Adz-Dzariyaat: 19; QS. Al-Baqarah: 219; QS. Al-Hasyr: 7; HR. Tirmidzi).
Islam merupakan sistem hidup yang sempurna dan paripurna bagi umat manusia seluruhnya. Penerapannya secara kaffah terbukti mampu melahirkan peradaban gemilang selama lebih dari 1300 tahun lamanya. Tiada sedikit pun keraguan di dalamnya, sebab inilah anugerah terbesar dari Rabb semesta. Hadanallahu waiyyakum. Wallahua’lam bish-showaab.[]