"Jaminan kebutuhan dasar yang terdiri dari sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan harus ditanggung secara pribadi dengan tumpuan upah minimalis. Tentu saja para buruh berteriak hidup dalam ketidaklayakan, sebab mereka juga menjadi tulang punggung keluarga, dengan kebutuhan yang berbeda-beda. Apalagi harga kebutuhan yang terus melonjak tidak bisa digantungkan pada upah minimalis yang diterima oleh para buruh."
Oleh. Dia Dwi Arista
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Setiap tahun, buruh turun ke jalan. Hari buruh yang jatuh pada 1 Mei, dipilih sebagai waktu yang tepat untuk unjuk rasa, menuntut secuil keadilan bagi nasib para buruh. Begitu pula menjelang akhir tahun, ketika pemerintah pusat maupun daerah sibuk mengotak-atik urusan upah, para buruh kembali membanjiri jalan.
Berbagai tuntutan selalu diulang, dari kenaikan gaji hingga kesejahteraan. Namun, segala tuntutan tersebut bagai angin lalu, tahun depan pasti akan terulang dengan tuntutan yang sama. Padahal janji manis mendapat upah layak selalu dilontarkan calon pemimpin negeri. Akan tetapi, janji tersebut dianggap hanya sebagai pemanis untuk terpilih. Inilah bukti bahwa buruh merasa dizalimi dalam sistem pengupahan ala kapitalisme.
Dilansir dari kompas.com (25/11/2021), para buruh kembali menerjunkan anggotanya akibat buntut keluarnya nominal UMP (Upah Minimum Provinsi) yang dinilai terlalu rendah, yakni sebesar 1,09 persen. Masalahnya, para buruh menuntut kenaikan berkisar 10-21 persen. Turunnya para buruh juga bertepatan dengan putusan Mahkamah Konstitusi terkait inkonstitusional secara bersyarat pada UU Cipta Kerja. Sedangkan putusan upah minimun provinsi yang telah ditetapkan, merupakan turunan dari UU Ciptaker, yakni sesuai dengan PP Nomor 36 Tahun 2021. Kenaikan sebesar 1,09 persen juga tidak sebanding jika dikaitkan dengan laju inflasi setahun ini sebesar 1,92 persen. Inilah kenyataan ketidakberpihakan pemerintah terhadap buruh.
Hal berbeda terdengar dari para pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi Sukamdani, selaku ketua Apindo menilai bahwa keputusan UMP 2022 adalah keputusan yang adil, mengingat di dalamnya terdapat rata-rata konsumsi rumah tangga. (kompas.com, 16/11/2021)
Kezaliman Sistem Pengupahan Kapitalisme
Kezaliman sistem pengupahan ini, berasal dari dihitungnya upah berdasarkan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang menjadikan kebutuhan minimum setiap daerah sebagai standar dalam pengupahan. Dalam sistem kapitalis, upah diberikan bukan dinilai dari kemanfaatan yang diberikan. Tentu upah ini tidak akan membawa buruh pada kehidupan layak, apalagi sejahtera. Ditambah dengan sifat ekonomi kapitalis yang meniadakan segala jaminan dan subsidi.
Jaminan kebutuhan dasar yang terdiri dari sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan harus ditanggung secara pribadi dengan tumpuan upah minimalis. Tentu saja para buruh berteriak hidup dalam ketidaklayakan, sebab mereka juga menjadi tulang punggung keluarga, dengan kebutuhan yang berbeda-beda. Apalagi harga kebutuhan yang terus melonjak tidak bisa digantungkan pada upah minimalis yang diterima oleh para buruh. Di sisi lain, pengusaha pun hanya mengupah kebutuhan minimal buruhnya saja, bukan beserta keluarganya.
Mirisnya, pemerintah sebagai pihak yang harusnya bertanggung jawab juga lepas tangan terhadap kesejahteraan rakyat, termasuk buruh. Pemerintah malah terkesan hanya sebagai penengah antara buruh dan pengusaha. Menerima masukan dan komplain dari kedua pihak, kemudian mengambil jalan tengah. Bahkan tak sedikit bukti yang mengarah bahwa pemerintah mendahulukan kebutuhan pengusaha dibanding para buruh.
Sistem Pengupahan dalam Islam
Pengupahan menjadi salah satu aspek muamalah pada hukum Islam. Dalam kitab An-Nizham Al-Iqtishody fiy Al-Islam karangan Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani, menerangkan bahwa upah diberikan atas manfaat atau jasa yang telah dikeluarkan oleh pekerja kepada pemberi kerja. Yang dapat menentukan besaran upah adalah seorang ahli yang biasa menentukan upah pada setiap jasa.
Jadi, upah diberikan bukan berdasarkan batas taraf hidup terendah, bukan pula dari jumlah hasil produksi pekerja, melainkan dari nilai jasa yang diberikan oleh pekerja. Sebelumnya, juga harus disepakati beberapa akad dalam kontrak kerjanya, misal jenis pekerjaan, dan waktu pengerjaannya. Sebab Nabi bersabda yang diriwayatkan oleh Imam Ad-Daruquthni, “Apabila salah seorang dari kalian mengontrak seorang pekerja, hendaknya ia memberitahukan upahnya kepadanya.”
Selain itu, saling rida juga tak boleh dilewatkan dalam semua transaksi, termasuk transaksi ijarah. Dengan keridaan ini, pekerja maupun pemberi kerja tidak merasa dirugikan, yang tak jarang berakhir dengan sengketa berkepanjangan.
Di sisi lain, kebutuhan dasar rakyat akan dipenuhi oleh negara, seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan. Makanan, pakaian, dan tempat tinggal juga diusahakan dapat diakses setiap individu dengan mudah. Negara memberi jaminan tersebut dengan harta yang diperoleh dari harta milik umum, seperti sumber daya alam yang dikelola negara dan dikembalikan untuk kesejahteraan rakyat. Demikianlah Islam menentukan upah pada pekerja. Tak hanya itu, dengan segala mekanismenya, rakyat pun dapat hidup dalam kesejahteraan yang diimpikan. Allahu a’lam bis-showwab.[]