"Hal ini semakin menegaskan dan menjadi bukti bahwa MK tidak bisa diharapkan menjadi tempat bergantung untuk mendapat keadilan dan MK merupakan bagian tak terpisahkan dari dari sistem kapitalisme. MK telah mengambil jalan tengah penuh risiko untuk mengakomodasi seluruh kepentingan yang justru membuat bingung banyak kalangan."
Oleh. Mela Ummu Nazry Najmi Nafiz
(Pemerhati Kebijakan Publik)
NarasiPost.Com-Meski mendapat apresiasi karena mengabulkan uji formal untuk pertama kali dalam sejarah, Mahkamah Konstitusi (MK) tetap mendapat kritikan terkait putusan perkara nomor: 91/PUU-XVIII/2020 mengenai uji formal Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker). Sejumlah pihak berpendapat bahwa MK mengambil jalan tengah yang justru membuat kebingungan karena putusan dapat ditafsirkan berbeda. (Jakarta, CNN Indonesia, .com, November 2021)
Uji formal yang dilakukan MK terhadap UU Cipta kerja (UU Ciptaker), menuai kontroversi di kalangan masyarakat. Sebab yang dipersoalkan adalah bahwa UU Ciptaker ini sudah cacat dari lahir, sebab materi (isinya) dinilai oleh sebagian kalangan tidak sesuai dengan amanah konstitusional. Sehingga tidak tepat untuk dilaksanakan. Dan tidak patut pula untuk dilakukan uji formal jika uji materiilnya saja tidak lulus atau bermasalah atau mendapatkan catatan. Sebab banyak materiil (isi) UU Ciptaker yang dinilai oleh sebagian kalangan publik bertentangan dengan pesan konstitusional. Semisal pasal tentang lingkungan dan pengupahan yang dinilai tidak pro terhadap kepentingan rakyat dan berpeluang terhadap terjadinya banyak alih fungsi lahan yang akan sangat berpengaruh terhadap perubahan ekosistem dan semakin memantik banyak bencana alam (banjir, tanah longsor dll) yang akan menimpa masyarakat, juga akan menambah derita masyarakat kelas pinggiran. Sebab pelaksanaan yang terlalu dipaksakan dari UU Ciptaker ini.
Padahal sebelumnya MK telah memutuskan bahwa UU Ciptaker inkonstitusional bersyarat, harus ada perubahan yg diberi tenggat 2 tahun. Dan selama tenggat tersebut, UU Ciptaker tetap berlaku.
Keputusan ini menunjukan bahwa MK hanya merespons tuntutan penolakan rakyat dengan menuntut pemerintah merevisi saja, bukan mencabut UU yang cacat tersebut. Padahal UU yang cacat tak layak dijadikan sebagai standar pembenaran atas sebuah keputusan publik yang akan diambil. Sebab pasti kecacatannya akan menimbulkan masalah turunan. Dan masalah tersebut hanya akan menambah beban derita dan beban rakyat saja. Sebab UU Ciptaker dinilai oleh sebagian kalangan publik hanya menguntungkan para kapitalis saja dan akan membuat kehidupan rakyat kebanyakan menjadi dirugikan sebab banyak aset publik yang akan hilang nilai manfaatnya, sebab telah diambil secara legal pengelolaannya. Hal tersebut karena diberikan pengelolaannya kepada pihak swasta (investor) atas nama investasi.
Hal ini semakin menegaskan dan menjadi bukti bahwa MK tidak bisa diharapkan menjadi tempat bergantung untuk mendapat keadilan dan MK merupakan bagian tak terpisahkan dari dari sistem kapitalisme. MK telah mengambil jalan tengah penuh risiko untuk mengakomodasi seluruh kepentingan yang justru membuat bingung banyak kalangan. Sebab bisa menimbulkan banyak penafsiran sesuai kepentingan masing-masing.
Dan bisa dipastikan bahwa penafsiran yang akan dimenangkan adalah penafsiran yang dibuat oleh kalangan kapitalis berduit yang diduga memiliki kepentingan besar terhadap UU Ciptaker yang sarat dengan kepentingan para kapitalis, yaitu proyek kapitalisasi seluruh sektor publik yang bisa mengalirkan banyak keuntungan pada para kapitalis.
Alhasil, inilah buah pahit hidup dalam sistem sekuler kapitalisme. Sampai-sampai UU cacat inkonstitusional saja begitu mudah diaplikasikan dalam kehidupan, sebab dinyatakan lulus uji formal di MK. Maka wajar saja akan menghasilkan solusi yang juga cacat dan inkonstitusional, sebab lahir dari UU yang cacat dan inkonstitusional. Dimana nilai kecacatannya adalah berasal dari ketidaklayakan UU tersebut dijadikan sebagai standar penilaian sebab memiliki banyak penafsiran sesuai kepentingan banyak pihak penafsir, selain juga bertentangan dengan amanah UUD 1945.
Maka wajar saja jika kehidupan dalam sistem sekuler kapitalisme akan selalu bergejolak dan menghasilkan ketidakpuasan massa. Sebab selalu dihasilkan masalah baru dari solusi yang diambil secara inkonstitusional. Semacam proyek pemberlakuan UU Ciptaker yang terlalu dipaksakan walaupun banyak menuai penolakan sebab dinilai tidak pro pada kepentingan rakyat. Rakyat kembali gigit jari dan akan selalu gigit jari selama hidup dalam sistem sekuler kapitalisme seperti sekarang ini.
Maka, kita butuh sistem yang dapat menghasilkan UU Ciptaker yang berkeadilan, yang pro pada kepentingan rakyat dan kemaslahatan rakyat, yang manusiawi. Dan sistem yang bisa memenuhi segala harap itu hanyalah sistem Islam, yang memiliki seperangkat aturan tetap yang sesuai dengan fitrah manusia, memuaskan akal dan menentramkan jiwa.
Di dalam sistem Islam, setiap perkara yang tidak memuaskan rakyat dari pelayanan publik yang diberikan oleh penguasa, akan masuk dalam garapan Mahkamah Mazalim. Kemudian akan dinilai setiap aduan rakyat terkait pelayanan penguasa, apakah sesuai dengan amanah kepemimpinan yaitu meri'ayah dan mengurusi urusan rakyat dengan benar sesuai syariat atau tidak. Jika benar sesuai syariat, maka UU tersebut akan disahkan dan diberlakukan sebagai jalan untuk mengurusi urusan rakyat. Jika tidak dan bertentangan dengan hukum syariat, maka akan ditolak dan tidak akan diberlakukan.
Maka, dari hal tersebut di atas menunjukan bahwa Mahkamah Mazalim dalam sistem Islam wajib memutuskan perkara dengan adil dengan tuntunan hukum syariat. Bukan atas nama perhitungan keuntungan materi duniawi semata dan wajib mengawal pelaksanaannya berdasarkan kesesuaiannya dengan hukum syariat.
Sebab Islam telah memerintahkan Mahkamah Mazalim untuk menegakan dan membela kebenaran dan memenangkan kemaslahatan publik serta bersikap tegas terhadap hukam (penguasa) yang zalim, yang tidak berlaku adil.
Wallahualam[]