Aturan Baru Penerbangan, Waspadai Covid-19 Gelombang Ketiga?

"Kebijakan tes PCR yang cepat berubah dan harga yang turun drastis menjadikan masyarakat semakin yakin ada mafia di balik tes PCR. Kebijakan tersebut lebih menunjukan pemerintah sedang bermain-main dan melakukan komersialisasi di bidang kesehatan."

Oleh. Ikhtiyatoh, S.Sos
(Penulis, Pemerhati Sosial dan Politik)

NarasiPost.Com-Masyarakat kembali gaduh. Muncul narasi kebijakan PPKM level 3 menjelang Natal dan tahun baru, serta aturan baru penerbangan sengaja dibuat agar tes PCR laku.

Sebagaimana diberitakan bahwa menjelang Natal dan tahun baru, pemerintah menetapkan PPKM level 3 di seluruh daerah melalui Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 62 Tahun 2021. Kebijakan PPKM level 3 dilakukan untuk mewaspadai Covid-19 gelombang ketiga. Selama masa PPKM, maskapai Garuda Indonesia kembali mewajibkan tes polymerase chain reaction (PCR), baik bagi penumpang domestik maupun internasional. Keputusan rapat kabinet, aturan terbaru penerbangan berlaku mulai 24 November dan bisa diakses di situs resmi www.garuda-indonesia.com.

Penumpang yang melakukan penerbangan dari atau menuju Jawa, penerbangan dari atau menuju Bali serta penerbangan di dalam Jawa harus menunjukan bukti vaksin dosis pertama, serta surat keterangan hasil negatif RT-PCR yang berlaku 3x24 jam sebelum penerbangan. Begitu pula bagi yang telah melakukan vaksin lengkap, harus disertai surat keterangan hasil negatif RT-PCR yang berlaku 3x24 jam sebelum penerbangan atau surat keterangan hasil negatif rapid antigen yang berlaku 1x24 jam sebelum penerbangan.

Padahal, polemik kebijakan tes PCR sempat mereda setelah adanya pembatalan dan teralihkan dengan isu pembubaran MUI, terorisme dan isu lainnya. Sebelumnya, ramai pemberitaan Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri BUMN Erick Thohir yang dilaporkan oleh Partai Rakyat Adil dan Makmur (Prima) ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pelaporan tersebut didasarkan pada dugaan keterlibatan mereka dalam bisnis tes PCR melalui PT Genomik Solidaritas Indonesia (GSI). Luhut sendiri telah mengakui kepemilikan sahamnya di PT GSI melalui dua perusahaan tambang PT Toba Sejahtera dan PT Toba Bumi Energi. Namun, ia menyatakan tidak mengambil untung sepeser pun. Sementara Erick Thohir membantah keterlibatannya dalam bisnis PCR. Meskipun, nama Garibaldi Thohir yang merupakan kakak Erick tercantum dalam PT GSI melalui yayasan Adaro Bangun Negeri.

Dikutip dari money.kompas.com, Erick Thohir menyatakan dirinya tidak mungkin mengambil untung untuk pribadinya. Ia pun menyatakan tidak terlibat secara langsung terkait kebijakan tes PCR. Menurutnya, kebijakan tersebut dilakukan secara transparan melalui rapat terbatas antara presiden bersama wakil presiden, menteri kesehatan, koordinator penanganan PPKM darurat Jawa dan Bali serta para menteri terkait (19/11/2021).

Maksud hati meluruskan tudingan masyarakat terhadap dirinya, namun justru membuat keadaan semakin blunder. Jika kebijakan tersebut dilakukan melalui rapat bersama kabinet, mengapa justru terkesan minim empati akan kondisi rakyat di masa pandemi?

Kepercayaan Masyarakat Runtuh

Aturan terkait syarat tes Covid-19 bagi penumpang pesawat beberapa kali mengalami perubahan. Begitu pula dengan harga layanan tes PCR. Pada awal pandemi, biaya tes PCR mencapai Rp2,5 juta. Pemerintah sempat menurunkan harga batas atas menjadi Rp900 ribu. Kemudian turun lagi menjadi Rp459 ribu untuk Jawa – Bali dan Rp525 ribu untuk luar Jawa-Bali. Sekarang, harga tes PCR turun lagi menjadi Rp275 ribu untuk Jawa-Bali dan Rp300 ribu untuk luar Jawa-Bali.
Selisih harga layanan tes PCR pada awal pandemi dengan harga sekarang cukup jauh hingga membuat masyarakat bertanya-tanya berapa besar harga alat tes PCR sesungguhnya.

Kebijakan tes PCR yang cepat berubah dan harga yang turun drastis menjadikan masyarakat semakin yakin ada mafia di balik tes PCR. Kebijakan tersebut lebih menunjukan pemerintah sedang bermain-main dan melakukan komersialisasi di bidang kesehatan. Wajar , jika ada pihak yang menyebut pemerintah membuat kebijakan dengan model cek ombak. Alhasil, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah semakin runtuh.
Sementara itu, Sekretaris Ditjen Yankes Kemenkes, Azhar Jaya, membantah adanya mafia dalam layanan tes PCR. Menurutnya, penurunan harga tes PCR karena pengaruh supply and demand. Pada saat awal pandemi, terjadi over demand, yakni negara produsen belum siap menghadapi permintaan alat kesehatan dari banyak negara. Akhirnya, harga reagen mahal. Sebaliknya, kondisi saat ini terjadi over supply dimana negara produsen lebih banyak memproduksi reagen. Kasus Covid-19 secara nasional dan global pun sudah melandai.
(cnnindonesia.com, 28/10/2021)

Dikutip dari laman cnbcindonesia.com, Sekretaris Jenderal Perkumpulan Organisasi Perusahaan Alat-alat Kesehatan dan Laboratorium (Gakeslab), Randy H. Teguh, menyatakan harga reagen bervariasi bergantung asal dan kualitas barang. Menurutnya, semakin mahal semakin tinggi akurasinya. Harga reagen sendiri berada pada kisaran Rp150 – Rp500 ribu. Turunnya harga tes PCR menjadikan reagen yang tersedia berada pada kisaran harga Rp100 ribu.
Randy juga menjelaskan 40% - 50% dari struktur harga tes PCR merupakan biaya alat kesehatan seperti reagen dan APD. Sementara sisanya untuk membayar perawat, dokter, administrasi hingga sewa ruangan. Randy juga mengungkap biaya investasi mesin PCR mencapai ratusan juta hingga Rp2 miliar. Menurutnya, penurunan harga tes PCR mempersulit investor dan harus melakukan penghitungan ulang. Ia pun mengingatkan, kebijakan turunnya harga tes PCR jangan sampai menurunkan kualitas dan keamanan (28/11/2021).

Dari pernyataan tersebut seolah menguatkan tudingan sebagian masyarakat bahwa tenaga kesehatan (nakes) mendapat untung dari bisnis PCR. Randy menyebutkan ada biaya untuk perawat dan dokter. Selama ini, nakes memang sering mendapat tudingan turut mengambil untung dari wabah Covid-19.
Namun, Ketua Dokter Indonesia Bersatu, dr. Eva Sri Diana, menyatakan dokter dan nakes tidak menerima sepeser pun dari tes PCR. Pernyataan tersebut diungkapkan dalam tayangan live di kanal YouTube Indonesia Lawyers Club dengan tema “Sengkarut Bisnis PCR” (5/11/2021). Ia pun menyatakan dokter memakai tes PCR sesuai kebutuhan dan digunakan hanya untuk mengetahui penyakit pasien. Dokter dan nakes sama sekali tidak terlibat dalam bisnis PCR.
Dr Eva menjelaskan bahwa tes PCR merupakan alat diagnostik yang paling akurat dibandingkan dengan antigen, rapid maupun GeNose. Namun, pemakaian tes PCR juga harus berhati-hati. Tes PCR hanya menggambarkan kondisi saat seseorang diperiksa, bukan menggambarkan kondisi keesokan harinya. Saat orang tersebut keluar dari pemeriksaan, maka tidak tergambar lagi kondisinya. Dengan kata lain, saat orang tersebut keluar dari pemeriksaan, tetap berpotensi tertular atau menularkan Covid-19.

Dari sini saja tampak dua pernyataan yang saling bertentangan. Satu pihak menyatakan dokter dan nakes mendapat hasil dari tes PCR, namun pihak nakes menyatakan tidak mendapatkan sepeser pun. Pernyataan demi pernyataan yang muncul membuat masyarakat bingung. Akhirnya, tidak ada yang bisa menjamin bahwa pemilik saham PT GSI ataupun pejabat ‘tidak mendapat keuntungan’ untuk kantong pribadi mereka.
PT GSI sendiri baru didirikan tahun 2020 tak lama setelah Covid-19 muncul. Sejumlah perusahaan besar tergabung di dalamnya. PT Adaro Energy Tbk yang membawahi yayasan Adaro Bangun Negeri merupakan perusahaan tambang batu bara terbesar kedua di Indonesia. Selain PT Toba dan Adaro, ada Grup Indika milik Arsjad Rasjid yang merupakan Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) periode 2021-2026. Bisnis utama PT GSI adalah menyediakan tes PCR dan swab antigen.

Laboratorium tes PCR milik PT GSI sangat modern, berstandar Biosafety Level (BSL) 2+ dan mampu memberikan pelayanan tes PCR secara massif dan hasilnya cepat. Perusahaan tersebut juga menawarkan home service untuk perusahaan ataupun perorangan. Tak heran jika PT GSI mampu melayani 5.000 tes PCR dalam sehari. Meskipun pemegang saham menyatakan tidak mengambil untung dan telah memberikan banyak layanan gratis, tapi perusahaan tersebut tidak sepenuhnya memberi pelayanan gratis.
Kembali muncul pertanyaan, jika benar kebijakan tes PCR dibahas dalam kabinet, mengapa tidak menyerahkan layanan tes PCR sepenuhnya kepada BUMN seperti PT Kimia Farma Tbk?

Membiarkan layanan kesehatan ditangani oleh swasta berpotensi munculnya permainan harga. Apatah lagi jika perusahanan swasta memiliki hubungan dengan pejabat negara selaku pengambil kebijakan. Hal ini tentu berpotensi lahirkan regulasi berdasar kacamata bisnis. Pemerintah wajib memperhatikan hal ini guna menghindari korupsi, kolusi dan nepotisme.

Tetap Bersikap Kritis

Sebelumnya, Covid-19 varian delta dari India masuk Indonesia hingga terjadi pandemi gelombang kedua. Kali ini, WHO menyebut adanya kondisi mengkhawatirkan yang akan menjadikan Eropa sebagai episentrum pandemi. Ada 53 negara Eropa dan Asia Tengah yang mengalami kenaikan 55% angka Covid-19. Sudah seharusnya pemerintah membuat kebijakan yang lebih pro keselamatan rakyat.

Mewaspadai pandemi gelombang ketiga, utamanya dengan menutup pintu masuk jalur internasional (lockdown). Bukan lagi mengutamakan pariwisata.
Terkait upaya pencegahan dan pengendalian Covid-19, ada banyak hal yang bisa dilakukan masyarakat. Upaya 5 M yaitu mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak, menjauhi kerumunan serta mengurangi mobilitas bisa dilakukan setiap individu. Kelima upaya tersebut tergolong murah hingga bisa dilakukan siapa saja tanpa memandang kelas ekonomi. Namun, pemerintah hanya bisa mengharapkan masyarakat taat protokol kesehatan jika pemerintah mampu memberi contoh akan keseriusan dan konsistensinya dalam menangani Covid-19.

Sementara untuk 3 T yaitu testing, tracing, dan treatment seharusnya ditanggulangi oleh pemerintah karena terikat masalah biaya. Jika tidak bisa gratis seharusnya bisa disubsidi. Meskipun harga tes PCR sudah turun drastis, tapi bagi masyarakat menengah ke bawah, uang tes PCR bisa digunakan untuk kebutuhan lain. Pemerintah bisa melihat kondisi ekonomi masyarakat belum stabil ditambah harga kebutuhan pokok mengalami kenaikan. Tes PCR pun sebenarnya lebih tepat jika dilakukan untuk orang yang bergejala bukan untuk orang sehat.

Lebih dari itu, penting kiranya pemerintah melakukan audit bisnis tes PCR secara transparan guna membuktikan tidak ada pejabat negara yang terlibat di dalamnya. Hal ini akan membantu memulihkan kepercayaan masyarakat. Penting juga bagi masyarakat agar tetap mengkritisi kebijakan pemerintah. Bagaimanapun juga, pejabat negara merupakan manusia biasa yang memiliki nafsu dan kepentingan. Sikap kritis masyarakat yang dilakukan secara massif secara berjamaah, insha Allah mampu memengaruhi hati para pengambil kebijakan. Wallahu ‘alam bish showab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Ikhtiyatoh S.Sos Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Milenial Jadi Agen Moderasi Islam? No Way!
Next
Tawuran Marak, Potret Generasi Rusak
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram