"Selayaknya sebuah wilayah dengan kekayaan alam yang melimpah, lebih memanfaatkan dan mengelola apa yang ada di wilayahnya dengan pengelolaan yang baik, berdasar kepada hukum Allah."
Oleh. Dinda Pramesti
NarasiPost.Com-Kisruh minyak goreng semakin panas dibicarakan terutama oleh kalangan ibu rumah tangga. Mereka mengeluhkan kondisi sulit ini, melambungnya harga minyak goreng telah menggoreng hati rakyat. Akibatnya kestabilan ekonomi ranah keluarga pun terganggu, terlebih lagi bagi keluarga dengan penghasilan ekonomi yang minim.
Dalam beberapa pekan terakhir kenaikan minyak goreng ini sangat membengkak, untuk minyak goreng jenis curah saja menurut Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS), harga pada 1 November itu masih Rp16.750 per kg dan kini sudah naik menjadi Rp17.350 (cnnindonesia.com, 12/11/2021).
Bahkan, warga net pun ikut meneriaki meroketnya harga minyak ini pada kanal sosmednya, dari biasanya antara Rp27.000 - Rp29.000 per 2 liter, saat ini harganya bisa mencapai Rp40.000 (kompas.com, 14/11/2021).
Problematik ini disebabkan karena produksi pasokan minyak nabati dunia terganggu, juga karena terpusatnya pengambilan bahan baku pembuatan minyak pada Crude Palm Oil (CPO) global oleh para produsen minyak goreng nasional yang saat ini mengalami gangguan produksi yang signifikan.
Akibatnya, harga melambung tinggi bak gunung yang menjulang. Ini pun disebabkan karena produsen CPO internasional sendiri mengacu pada harga internasional yang otomatis akan membuat kenaikan yang cukup besar bagi harga nasional. Problem ini tidak bisa dibiarkan mengalir begitu saja tanpa penanganan serius. Upaya pemerintah dalam menekan harga agar kembali stabil seharusnya tidak hanya dilakukan saat kondisi sudah seperti ini, karena jika hanya upaya kuratif yang difokuskan maka tak akan pernah terjadi kestabilan ke depannya.
Kebijakan pemerintah yang berafiliasi pada produsen CPO internasional seharusnya bisa menimbang, bahwa kisaran harga mereka akan mengikuti arus kurs internasional dan rupiah tidak berada lebih besar dari itu. Ketika harga internasional naik, otomatis kenaikan akan dialami oleh negeri ini. Selayaknya sebuah wilayah dengan kekayaan alam yang melimpah, lebih memanfaatkan dan mengelola apa yang ada di wilayahnya dengan pengelolaan yang baik, berdasar kepada hukum Allah. Bukan sebaliknya, menyerahkan SDA pada asing atau melakukan privatisasi pada kekayaan alam yang seharusnya dikelola oleh pemerintah untuk kemaslahatan rakyat.
Apalagi kebutuhan pokok rakyat merupakan tanggung jawab pemerintah kepada rakyatnya. Kebutuhan pokok, terlebih pangan dalam sistem Islam akan dipenuhi oleh negara. Seperti dahulu, Khalifah Umar bin Khattab yang rela membawakan gandum di pundaknya untuk rakyatnya.
Jika pun nanti terjadi kekurangan pasokan produksi dalam negeri, diperbolehkan melakukan perdagangan (tijarah) baik domestik maupun luar negeri. Sistem Islam telah mengatur bagaimana ketentuan kebolehan perdagangan luar negeri, yakni dilihat dari orang yang melakukan perdagangan.
Klasifikasinya ada tiga yaitu :
Pertama, kafir harbi (negara maupun orang yang bermusuhan dengan negara Islam dan kaum muslim). Boleh melakukan transaksi jual beli dengan mereka dengan syarat adanya visa khusus, namun tetap tidak boleh untuk kafir harbi fi'lan seperti Amerika, Inggris, Rusia.
Kedua, kafir mu'ahad (mereka yang menjadi warga negara kafir yang punya perjanjian dengan negara Islam). Boleh tidaknya perdagangan dikembalikan lagi pada isi perjanjian mereka dengan Khilafah.
Ketiga, warga negara Islam. Mereka boleh melakukan aktivitas perdagangan luar negeri tentu dengan kontrol dari Departemen Luar Negeri Khilafah. Warga negara boleh melakukan ekspor, dengan syarat tidak boleh mengekspor komoditas strategis yang dibutuhkan negara, karena ini akan melemahkan kekuatan negara.
Maka dari itu, saatnya kita kembali pada sistem Islam yang mengatur dengan sempurna, bahkan untuk masalah dapur seperti kisruh harga minyak goreng ini, yakni dengan meninggalkan sistem kapitalis yang berpacu pada liberalisasi ekonomi profit oriented sekarang ini. []
Photo : Pixels