Sebagai negara demokrasi, peradilan di Indonesia menerapkan teori sistem pembuktian "Conviction in Time" juga. Merupakan satu contoh dari tiga teori pembuktian yang selama ini digunakan. Akibatnya, dalam memutuskan perkara hakim menjadi subyektif sekali, sehingga dalam penerapannya membuka celah lebar adanya intervensi penguasa sekaligus memungkinkan praktik dagang perkara.
Oleh : Ulfa Ni'mah
NarasiPost.Com - Mantan Menteri Kesehatan (Menkes), Siti Fadilah Supari bebas murni dari penjara pada Sabtu (31/10/2020), setelah menjalani hukuman selama empat tahun (Okezone.com, 31/10/2020).
Merespons itu, Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin mengucap syukur atas bebasnya Siti. Sejak awal Din meyakini jika Siti tidak bersalah. "Kami semua bersyukur kehadirat Allah SWT bahwa Ibu Dr. Siti Fadilah Supari sudah bebas. Kami semua menyambut dengan bahagia dan mengucapkan selamat kembali ke rumah dan keluarga," ucap Din saat dihubungi Okezone melalui pesan singkat.
Ya, Siti Fadilah Supari menjalani hukuman atas tuduhan korupsi yang ditujukan kepadanya. Menurut Siti, dia merasakan ada ketidakadilan dan kriminalisasi pemerintah dalam menangani kasusnya. Banyak kasus besar yang melibatkan petinggi negara namun tidak diproses sesuai hukum. Justru dia merasa tidak pernah menerima aliran dana dari proyek alkes serta tidak ada barang bukti ditersangkakan sebagai penerima gratifikasi hingga ditahan.
Demokrasi Akar Masalah Ketidakadilan Peradilan
Tidak bisa dipungkiri, standar keadilan dalam sistem kapitalis didasarkan pada akal manusia melalui anggota parlemen. Pada praktiknya, sistem peradilan sekuler ini membuka pintu kezaliman. Mereka menetapkan ketentuan-ketentuan hukum menyangkut apa yang dimaksud kejahatan dan apa pula sanksi bagi pelakunya. Maka tidak heran, keadilan dalam peradilan sekuler menjadi barang mewah. Bahkan demi kepentingan politik, kerap kali harus ada yang dikorbankan atau menjadi tumbal.
Terlepas apakah Siti Fadilah Supari benar atau salah, memang tindakan korupsi jelas merugikan negara. Sejak kepemimpinan orde lama hingga sekarang secara terus menerus dan terbuka menyatakan niat untuk memberantasnya. Namun pada kenyataannya belum terlihat maksimal di lapangan, dan bahkan sering berakhir pada ketidakadilan dan rasa ketidakpuasan masyarakat.
Dalam teori pembuktian hukum acara pidana pada peradilan sekuler dikenal teori pembuktian berdasar keyakinan hakim semata (Conviction Intime/Conviction Raisonce). Sistem ini menganut ajaran bahwa bersalah atau tidaknya terdakwa terhadap perbuatan yang didakwakan, sepenuhnya tergantung pada penilaian "keyakinan" hakim semata-mata". Jadi bersalah tidaknya terdakwa atau dipidana tidaknya terdakwa tergantung pada keyakinan hakim. Dan keyakinan hakim tidak harus timbul atau didasarkan pada alat bukti yang ada.
Sekalipun alat bukti sudah cukup kalau hakim tidak yakin, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana, sebaliknya meskipun alat bukti tidak ada tapi kalau hakim sudah yakin, maka terdakwa dapat dinyatakan bersalah. Teori pembuktian Conviction in Time ini diterapkan di Inggris dan Amerika Serikat (Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003:15).
Sebagai negara demokrasi, peradilan di Indonesia menerapkan teori sistem pembuktian Conviction in Time juga. Merupakan satu contoh dari tiga teori pembuktian yang selama ini digunakan. Akibatnya, dalam memutuskan perkara hakim menjadi subyektif sekali, sehingga dalam penerapannya membuka celah lebar adanya intervensi penguasa sekaligus memungkinkan praktik dagang perkara. Inilah wajah asli peradilan sistem demokrasi, dimana bila skandal utama terbongkar maka akan menyeret petinggi-petinggi yang lebih besar di instansi tertentu. Maka guna melindungi hal ini, menjadikan seseorang tumbal adalah hal biasa.
Karena itu, hukum dalam demokrasi disesuaikan kepentingan selera penguasa, tidak tanggung-tanggung mereka akan menyingkirkan siapa saja yang mengusik dan memberi kritik.
Namun berbeda dengan orang-orang yang pro rezim maka justru dibiarkan meski telah banyak merugikan negara. Berbagai kasus-kasus hukum lenyap begitu saja. Negara yang diharapkan berdiri di atas hukum malah terlihat menggunakan kekuasaanya untuk mengendalikan proses hukum yang sedang berlangsung. Keadilan telah ambruk berganti ketidakadilan.
Tak salah jika ada yang mengatakan, negeri ini sedang mengalami krisis keadilan. Kepada rakyat yang lemah, hukum begitu tajam. Sedangkan kepada mereka yang kuat dan lekat dengan kekuasaan, hukum tumpul. Dengan demikian, ketimpangan penegakan hukum justru menambah catatan hitam sistem bobrok demokrasi. Keadilan menjadi barang mewah, bagaimana akan didapatkan bila demokrasi yang menjadi akar penyebab berbagai problema tetap dibiarkan?
Sistem Peradilan Warisan Nabi Menjadi Solusi
Dalam sistem Kapitalis, hukum peradilan berasal dari warisan manusia yang bersumber dari akal. Sejatinya, hukum yang ada pastilah dibuat sesuai kepentingan manusia. Maka tidak heran, penguasa sebagai pelaksana eksekutif bertindak represif demi mempertahankan kekuasaannya, bahkan anti kritik.
Berbeda dalam Islam, dalam penyelesaian seluruh problema menetapkan harus distandarkan pada aturan yang berasal dari Allah SWT. Ketetapannya sudah final berpijak pada Al Qur'an dan Sunnah.
Dalam sistem Islam, tidak ada pemisahan antara peradilan sipil dengan peradilan syariah, karena segala keputusan hukum diberikan dengan menggunakan dasar syariah Islam.
Peradilan pada masa Rasulullah saw. bersifat independen. Peradilan tidak berada di bawah pengaruh apapun, baik individu, kekuasaan atau konvensi umum. Vonis hukum yang berlaku menjadi hukum syariat atas satu perkara yang telah ditetapkan. Pun jika dalam putusannya terdapat penyimpangan terhadap syariat maka kasus tersebut bisa dibawa ke peradilan yang lebih tinggi
Ketika memimpin masyarakat Madinah, Rasulullah sebagai kepala negara bertindak sekaligus sebagai melegalisasi hukum, hakim (qadhi) , dan pelaksana. Nabi saw dalam menjalankan tugas-tugas peradilannya selalu menekankan akan wajibnya bersikap adil diantara pihak-pihak yang bersengketa, dalam isyarat dan ucapan.
Seiring proses penyelesaian kasus sebelum vonis ditetapkan, berlangsung pula proses pembuktian (al bayyinah) baik kesaksian, sumpah, pengakuan maupun penunjukan dokumen tertulis.
Sementara bukti-bukti lain, seperti sidik jari, pernyataan korban dan anjing pelacak yang digunakan untuk melakukan penyidikan adalah hal yang berbeda dengan pembuktian. Jika, terdakwa terbukti bersalah dengan pembuktian yang pasti, maka vonis barulah ditetapkan.
Teladan inilah yang telah dilakukan oleh Muhammad Saw. sejak diutus menjadi Rasul sampai berhasil membangun Negara Islam di Madinah yang kemudian diteruskan oleh para khalifah sepeninggalnya. Rasulullah memberikan putusan hukum yang adil pada seluruh anggota masyarakat. Dengan demikian maka jelas, keadilan hanya akan bisa diwujudkan ketika seluruh hukum yang terkait peradilan, definisi kejahatan, hukum pembuktian, jenis sanksi, dan lain-lainnya semuanya didasarkan pada syariah Islam. Wallahu 'alam bishawab []
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan Anda ke email [email protected]