Mengadang Banjir bersama sang Pencipta

Pembangunan dalam sistem kapitalisme sekuler menyelesaikan masalah dengan masalah. Tujuannya demi pertumbuhan ekonomi, tetapi lingkungan hidup menjadi korban. Ketika sesuatu dinilai menghasilkan materi, berbagai cara akan ditempuh tanpa memedulikan bagaimana Allah Swt, Sang Pencipta, menentukan cara untuk mengelola alam.

Oleh. Ummu Wildan

NarasiPost.Com-Suasana mencekam mulai terasa di beberapa wilayah di Indonesia. Belum lagi berganti tahun, bencana banjir yang terjadi di awal tahun ini kembali mengancam di bulan November. Sintang, Kalimantan Barat bahkan sudah terkena banjir di pekan terakhir Oktober.

BMKG memperkirakan puncak musim penghujan pada Desember 2021 hingga Februari 2022. Namun sebelum mencapai puncak, banjir sudah dirasakan lintas pulau. Pada 4 November 2021 banjir bandang terjadi di Malang, Jawa Timur. Berselang dua hari, banjir bandang terjadi di Garut, Jawa Barat. 16 November 2021 banjir merendam ratusan rumah di Musi Banyuasin, Sumatra Selatan. Penduduk Kabupaten Hulu Sungai Tengah sudah mulai bersiaga. Banjir terbesar yang pernah dialami selama 50 tahun pada Januari lalu menyisakan kenangan tak terlupakan. Sembilan orang meninggal, 264 rumah hilang, 8000 jiwa mengungsi, dan 68.000 jiwa terdampak bukanlah angka yang kecil.

Di antara penyebab terjadinya banjir pada tahun ini adalah tingginya curah hujan dan curah izin pengelolaan lahan yang harusnya menjadi daerah resapan air. Tingginya curah hujan tentu di luar kuasa manusia. Ada pahala atas kesabaran menerima ketentuan-Nya.

Di sisi lain, adanya izin pengelolaan lahan adalah perkara yang akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Swt. Berdasarkan data Greenpeace Indonesia, sekitar 304.225 hektare tutupan hutan di Kalimantan Selatan telah berubah. Sebagian besar menjadi perkebunan kelapa sawit dan tambang. Tingginya konsesi lahan, menjadikan DAS Sungai Barito dan Maluka yang berada di area pegunungan Meratus mengalami penurunan daya tampung air secara drastis pula. Ancaman banjir pun di depan mata.

Demikianlah pembangunan dalam sistem kapitalisme sekuler menyelesaikan masalah dengan masalah. Tujuannya demi pertumbuhan ekonomi, tetapi lingkungan hidup menjadi korban. Ketika sesuatu dinilai menghasilkan materi, berbagai cara akan ditempuh tanpa memedulikan bagaimana Allah Swt, Sang Pencipta, menentukan cara untuk mengelola alam.

Dalam Islam, segala aktivitas, baik oleh individu, masyarakat, maupun negara dikaitkan dengan maqashid syariah. Lima maqashid syariah yang disepakati jumhur ulama yaitu menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga keturunan, dan menjaga harta.
Hutan dan barang tambang adalah hak umat yang dikelola oleh negara untuk kepentingan rakyat.

"Manusia berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput dan api." (HR. Abu Dawud)

Hal ini berbeda dari sistem kapitalisme sekuler yang memberi kesempatan kepada swasta dan asing untuk menguasainya demi kepentingan mereka, sedangkan rakyat hanya mendapatkan bagian kecilnya. Padahal dengan keuntungan maksimal diperoleh rakyat, maka kebutuhan pokok hidup berupa makanan, pakaian, perumahan, kesehatan dan pendidikan dapat dinikmati oleh rakyat tanpa memandang kelas ekonomi mereka.

Begitupun tentang cara pengelolaan akan mempertimbangkan kemungkinan terjadinya bencana yang bisa menelan korban jiwa. Hutan yang berfungsi sebagai daerah resapan air tidak boleh dialihfungsikan secara serampangan. Tebang pilih harus dijalankan. Daerah galian tambang harus direboisasi secara benar, bukan sekadar formalitas di bagian atasnya saja. Lahan gambut yang berfungsi menahan 30% karbon dunia, mencegah perubahan iklim dan bencana alam tidak boleh diubah menjadi persawahan.

Dengan kondisi kebutuhan pokok rakyat terpenuhi, maka pengelolaan sumber daya alam bisa disesuaikan dengan kondisi alam agar tetap lestari. Allah Swt menciptakan bumi ini cukup untuk seluruh makhluk-Nya. Namun bumi ini tidak akan cukup untuk para kapitalis serakah. Hal ini karena kebutuhan manusia terbatas, sedangkan keinginan manusia tidak terbatas.

Dalam Islam, seorang pemimpin laksana penggembala yang wajib memenuhi kebutuhan pokok rakyat. Maka, pengaturan Allah Swt menjamin kesejahteraan rakyat dan membatasi orang-orang bermodal besar mengeruk keuntungan sebesar besarnya dari hak rakyat. Pengaturan ini diterapkan secara tegas oleh pemimpin demi terjaganya jiwa juga harta.

Untuk mengakhiri banjir yang terus berulang, sudah seharusnya kita meninggalkan sistem kapitalisme sekuler yang saat ini diterapkan. Islam sudah menyediakan aturan yang lengkap untuk mengatasinya. Tidaklah Rasulullah saw diutus kecuali membawa aturan yang menjadi rahmat bagi semesta. Tugas kita adalah memperjuangkannya.

"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)."
(QS Ar-Rum:41)[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Ummu Wildan Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Pariwisata, Devisa, dan Minol
Next
Singa Lapar Bernama Perempuan, Tidakkah Melawan Kodrat Tuhan?
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram