"Syariat Islam memandang persoalan buruh sebenarnya sederhana jika negara menerapkan aturan Islam secara kaffah. Akad buruh atau tenaga kerja dengan perusahaan adalah akad ijaroh yang harus memenuhi rukun-rukunnya."
Oleh. Maman El Hakiem
NarasiPost.Com-Persoalan buruh atau tenaga kerja dalam sistem kapitalisme akan selalu rumit dan penuh konflik. Posisi buruh ditempatkan sebagai orang yang diupah, sementara perusahaan sebagai pengupah, namun segala kebutuhan hidup buruh seolah dibebankan kepada perusahaan. Maka, banyak sekali tuntutan buruh yang berkaitan dengan Kebutuhan Hidup Layak (KLH). Inilah akar masalahnya, negara seolah tidak dihadirkan dalam pengurusan kesejahteraan rakyat secara umum, termasuk para pekerja atau buruh.
Sistem kapitalisme lebih menekankan bagaimana pemanfaatan jasa dari buruh tersebut dengan menekan angka upah seminimal mungkin, karena berlaku kaidah ekonomi “low cost high profit”. Menekan biaya produksi sekecil-kecilnya dan meningkatkan produktivitas kerja untuk sebesar-besarnya keuntungan perusahaan.
Di lain sisi, posisi buruh juga dibebani dengan segala kewajiban membayar iuran asuransi ketenakerjaaan dan kesehatan dengan nama BPJS Ketenagakerjaan/Kesehatan.
Fakta yang menunjukan bahwa persoalan kesejahteraan buruh ini dianggap menjadi beban perusahaan yang mempekerjakannya. Maka, segala iuran yang berkaitan dengan jaminan kesehatan dan keselamatan ketenagakerjaan menjadi tanggung jawab perusahaan, bukan negara. Meskipun faktanya, iuran tersebut adalah potongan gaji/upah pekerja itu sendiri. Sudah tentu hal ini membuat perusahaan mencari alasan untuk tidak menghendaki adanya kenaikan upah buruh tiap tahunnya sebagaimana tuntutan para buruh yang menggelar aksi turun ke jalan selama ini.
Dilaporkan ribuan buruh yang tergabung dalam Aliansi Buruh Majalengka (ABM) menuntut kenaikan upah minimum kabupaten/kota (UMK) yang dinilai rendah. (Tribunnews, 15/11/2021).
Buruh Minus Peran Negara
Persoalan upah ini bisa dikarenakan berbgai faktor yang sebenarnya tidak berkaitan dengan masalah buruh saja, melainkan seluruh rakyat, semisal tingginya biaya hidup dan kebutuhan pokok pangan, sandang dan tempat tinggal (papan). Belum sejahteranya kehidupan buruh, tidak bisa dilepaskan dari minusnya negara mengurusi rakyat, namun buruh menyampaikan tuntutannya kepada perusahaan yang dinilai sebagai “majikan” yang harus memenuhi kehidupan yang layak. Kenaikan upah seolah menjadi solusi pemenuhan kesejahteraan.
Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah, seperti dikutip dari laman CNN Indonesia, (15/11/2021) membeberkan soal alasan pemerintah menolak permintaan asosiasi buruh untuk menaikkan upah sebesar 10 persen pada 2022. Alasannya, pemerintah harus menggunakan formula pengupahan yang telah tertuang di Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Pemerintah juga harus merujuk pada aturan turunannya berupa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. UU Ciptaker atau omnibuslaw sendiri sejatinya pesanan asing untuk menguasai lahan usaha dan mendapatkan upah buruh semurah mungkin.
Dalam hal ini, pengamat buruh, Heru Setiawan, memberikan tanggapan bahwa aturan upah pada PP No. 36 tahun 2021 ini ditolak oleh pihak buruh, alasannya UU tersebut masih proses judicial review di MK dan juga berpotensi kecenderungan upah yang tidak akan ada perubahan, bahkan berpotensi penurunan karena rumusannya berubah dari awalnya tergantung pada tingkat besarnya inflasi dan pertumbuhan, menjadi tergantung kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan yang ada.
Sedangkan menurut Mirah Sumirat, Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek), tuntutan kenaikan upah buruh diajukan berdasarkan pada hasil survey Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang dilakukan oleh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) di 24 provinsi, dengan menggunakan 60 komponen KHL Hasil survey KHL KSPI menunjukkan bahwa besaran kenaikan upah minimum (UMK) tahun 2022 dikisaran angka 7 sampai 10 persen.(CNN Indonesia, 15/11/2021)
Islam Solusi Tuntas Masalah Buruh
Syariat Islam memandang persoalan buruh sebenarnya sederhana jika negara menerapkan aturan Islam secara kaffah. Akad buruh atau tenaga kerja dengan perusahaan adalah akad ijaroh yang harus memenuhi rukun-rukunnya, yaitu: Al-'Aqidani (dua pihak yang berakad), yaitu yang menyewa (musta`jir) dan yang disewa atau yang dipekerjakan (muajjir atau ajiir). Al-Ma'qud 'alaihi (objek akad), yaitu manfaat dan upah. Shighat, yaitu apa saja yang menunjukkan ijab dan kabul, perkataan maupun perbuatan yang mengikat sehingga kedua belah pihak bisa saling rida. Berkenaan dengan objek akad tentu harus berupa pekerjaan yang dihalalkan secara syariat, karenanya haram hukumnya bekerja pada perusahaan yang memproduksi khamar atau minuman keras dan transaksi ribawi. Begitupun besarnya upah harus disepakati nominalnya di awal di antara dua belah pihak agar tidak terjadi perselisihan di kemudian hari. Karena akad ijaroh sebenarnya tidak jauh berbeda dengan jual beli yang menuntut keridaan di kedua belah pihak.
Karena itu, tuntutan kesejahteraan buruh harus dipisahkan dari permasalahan upah karena tidak berkaitan dengan nilai manfaat dalam akad ijaroh. Soal kesejahteraan buruh, negara harusnya yang bertanggungjawab karena menyangkut urusan dalam mengatur kesejahteraan rakyatnya secara umum, termasuk buruh di dalamnya. Karena fungsi negara adalah menjalankan syariat Islam dengan meri'ayah atau mengurusi kesejahteraan rakyatnya, menyangkut terjaminnya kebutuhan dasar (hajatul asasiyah) berupa tercukupinya pangan, sandang dan papan. Pun menyangkut kebutuhan rakyat secara kolektif (hajatul ijtimaiyah) berupa pemenuhan kebutuhan dengan terjaminnya pendidikan, kesehatan dan keamanan secara gratis.
Tuntutan upah minimum kabupaten/kota/regional tidak perlu terjadi karena syariat Islam akan menyerahkan sesuai upah pada akad ijarohnya masing-masing antara kedua belah pihak yang berakad (perusahaan dan pekerja). Jika perusahaan melanggar akadnya, selain bisa diadukan kepada pengadilan, negara pun memiliki kewenangan menyampaikan peringatan Allah Swt. Sebagaimana dalam hadis qudsi dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meriwayatkan, bahwa Allah berfirman:
ثَلاَثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ… وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُعْطِ أَجْرَهُ
“Ada tiga orang, yang akan menjadi musuh-Ku pada hari kiamat: … orang yang mempekerjakan seorang buruh, si buruh memenuhi tugasnya, namun dia tidak memberikan upahnya (yang sesuai).” (HR. Bukhari 2227 dan Ibn Majah 2442).
Wallahu’alam bish Shawwab.[]