Ini kali pertama Aleena merasa bahagia mengikuti UTS, kertas jawaban di hadapannya pun tampak begitu indah dipandang. Di mana-mana ada bayangan lelaki tampan berpeci putih itu. Kenapa aku baru merasakannya seumur hidupku? Oh inikah cinta?
Oleh: Solehah Suwandi
Bagian 2: Jatuh Cinta
Beginikah rasanya jatuh cinta pada pandangan pertama? Aleena bertanya-tanya. Banyak lelaki yang telah mengejar-ngejar cintanya, tapi baru kali ini ia merasa degup yang berbeda. Kebahagiaan yang menentramkan. Dunianya seolah dihujani bunga warna warni yang menyerbakan keharuman hingga sanubari. Gemersik daun terdengar begitu merdu, seolah menyanyikan lagu-lagu cinta. Dinding-dinding bangunan yang ia lihat, seolah berwarna merah muda kesukaannya. Semua tampak indah. Bibirnya tersenyum sepanjang jalan. Hingga tak terasa kelasnya di gedung B sudah di depan mata. Ruangan paling pojok sebelah kanan di lantai pertama.
Beruntunglah dia, dosen yang akan memberikan UTS belum sampai. Semua mahasiswa sudah memasuki ruangan, tak lama asisten dosen Pendidikan Inklusi memasuki ruangan dosen utama ada kewajiban mendadak yang harus ditunaikan. Para mahasiswa bersorak girang. Karena bisa bebas bertukar jawaban dengan teman sejawat. Demi mendapat nilai A, sebagian mahasiswa akan melakukan apa saja termasuk nyontek teman maupun di internet. Menyedihkan memang, tapi beginilah, kondisi kebanyakan pemuda yang enggan berpikir tapi menginginkan lulus kuliah dengan predikat cumlaude.
Sejak duduk di bangku perkuliahan saja sudah banyak yang tidak jujur. Wajar saja, saat jadi penjabat banyak pula yang tidak amanah. Korupsi hampir memenuhi list tertinggi pelanggaran yang dilakukan oleh para Petinggi Negara dan Wakil Rakyat. Sebenarnya inilah buah dari sistem pendidikan sekuler.
Tidak membutuhkan waktu lama bagi mereka menjawab pertanyaan-pertanyaan. Berbeda dengan yang sungguh-sungguh menjawab dari otak hasil pemahaman selama perkuliahan berlangsung. Mereka akan berpikir keras, apalagi pendidikan inklusi ini menyangkut anak-anak disabilitas, yang mana di negeri ini masih minim perhatian dari pemerintah khususmya di pelosok-pelosok negeri. Padahal dalam UU No. 20 tahun 2003, pemerintah menjamin terselenggarakannya program wajib belajar minimal pada jenjang sekolah dasar tanpa memungut biaya.
Tapi sayang, faktanya banyak anak-anak berotak brilyant namun tidak mampu sekolah. Anak-anak disabilitas yang kurang mampu, hanya pasrah dengan kondisinya.
Ini kali pertama Aleena merasa bahagia mengikuti UTS, kertas jawaban di hadapannya pun tampak begitu indah dipandang. Di mana-mana ada bayangan lelaki tampan berpeci putih itu. Kenapa aku baru merasakannya seumur hidupku? Oh inikah cinta?
***
Hingga perkuliahan usai, bayangan lelaki itu masih bersemayam di ingatannya.
“Kayanya Elu bahagia banget hari ini. Dapet orderan kelas kakap ya. Hihi, “ senggol Shinta pada lengan Aleena, saat menunggu pesanan minuman di kantin. Aleena menggeleng, matanya masih menatap dedaunan rimbun di atas kepalanya, yang ia lihat adalah seraut wajah tampan lelaki itu.
“Eh, Na! Parah, Lo beneran kesambet kayanya nih!”
“Engga Shin, gue lagi jatuh cinta, “ lirihnya masih mengulum senyum. Tak lama minuman datang. Shinta mengaduk segelas jus mangga, lalu menyedotnya pelan, dengan masih melihat ekspresi wajah temannya.
Aleena hanya mengaduk-aduk es cendol kesukaannya. Rasa manis dari gula merah yang kental, dan santan yang gurih menurutnya mampu menghilangkan stres.
“Eh, jatuh cinta sama sapa Lo? Tumben banget.“
“Dia tuh ganteng banget, matanya gak mau natap Gue sama sekali, terus yang paling adem dia nyebut Gue pake panggilan ukhti!” Mata Aleena berbinar.
“Ya ampun! Elu kan muslimah Aleena, ya wajar dia manggil Elu ukhti, ukhti itu artinya saudara perempuan!”
“Ah, sok tahu Lo Shin, apapun itu panggilan ukhti tuh seolah kaya naikin derajat hidup Gue ngerti engga Lo! Gue jadi merasa...”
“Husss!!! Udah udah, Elo, Gue tetep kotor! Udah nikmatin aja jalanin hidup kaya gini! Udah gak ada pilihan buat kita ngerti enggak! Nanti pas udah tua tinggal tobat. Emang Elo mau hidup susah di kosan? Dengan duit, kita bisa melakukan apa aja!” Ungkap Shinta panjang lebar.
Aleena jadi lesu seketika mendengar perkataan itu. Mau bagaimana pun dirinya memang kotor. Apakah pantas bersanding dengan pria sesaleh dia? Kadang ia berpikir, kalau saja waktu bisa diulang, ia akan memilih seperti Maryam adik tingkatnya yang taat dan anggun dengan pakaian muslimahnya.
Matanya mulai panas, rasanya ingin menumpahkan segalanya dengan menangis. Sesaat ia menyesali kenapa harus bertemu lelaki itu. Belum selesai memikirkan pria berpeci, tiba-tiba matanya menangkap seraut wajah yang sama, sedang duduk di kursi dekat pohon lurus di depannya, dengan jarak sekitar 3 meter. Kehadirannya bagai tetesan embun yang menyejukkan dan menjalar keseluruh nadinya. Lelaki itu tampak sibuk dengan beberapa buku di meja, tak lama terlihat mengangkat panggilan telepon, ah dia tersenyum manis sekali. Tak terasa bibir Aleena ikut tersenyum menyaksikan pemandangan indah karya Sang Maha Pencipta.
Namun tiba-tiba datang seorang wanita yang tak asing baginya. Berseragam sama namun disambung seperti gamis dengan kerudung lebar menjuntai. Hawa panas tiba-tiba merambati hati.
“Maryam?” Lirih Aleena kecewa.
“Hah! Barusan Lo bilang apa?” Tanya Shinta yang masih sibuk melahap makanan, sedangkan pesanan milik Aleena masih utuh seperti sedia kala. Karena Aleena tak menjawab, Shinta mengikuti tatapan mata sahabatnya yang nampak sedih sekali. Dia harus mendongakkan kepala karena terhalang seseorang yang menutupi pandangannya.
“Ngeliatin apa sih Lo? Cemburu sama Ustadz Ganteng itu?” Suara Shinta membuat Aleena menatapnya tajam.
“Jadi Lo kenal siapa cowok yang gue maksud?” Mata Aleena berbinar.
“Ya ampun! Tahu lah! Gue gak kudet amat kaya Lo, cowok di depan itu Ustadz Na, Dia mahasiswa 2014 yang belum lulus-lulus, kenapa? Entah juga gue enggak ngerti. Tapi dia itu follower-nya banyak di IG sama channel Youtube-nya wah udah banyak subcriber-nya. Isi nya Lo tahu apaan? Ceramah doang, nyindir-nyindir perempuan, panas kuping gue kalau dengerin ceramah tuh cowok. Lihat aja lah IG-nya, oya masa Lo lupa, dia kan ketua BEM tahun 2016, terus kalau enggak salah, sekarang menjabat jadi ketua Teknokra deh! Namanya kalau enggak salah Hasan Al Banna, “ Shinta menjelaskan panjang lebar.
Aleena tersenyum mendengar nama itu, lelaki yang telah membuatnya risau sepanjang hari ini. Tapi yang menjadi pikirannya, kenapa dia tampak begitu dekat dengan Maryam? Bukankah Maryam sering bilang kalau pacaran itu haram? Aleena saksama memperhatikan gerak-gerik Maryam. Wanita itu masih tampak berdiri berjarak satu meter dari Hasan dengan kepala yang terus menunduk. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi tak lama Maryam pergi dan Hasan masih tetap di kursinya. Aleena enggan untuk beranjak, memandang Hasan cukup menenangkan hatinya. Shinta hanya menggeleng kepala melihat kelakuan temannya yang sedang jatuh cinta.
****
Senja mulai berganti malam, suara azan Magrib berukumandang saling bersahutan. Satu ketenangan yang sulit Aleena gambarkan. Dia ingin salat, tapi malu, dia merasa begitu kotor. Mungkin salat pun tak akan diterima oleh Tuhan. Lama ia termenung, memikirkan untuk apa hidupnya selama ini, benarkah di akhirat ada kehidupan yang sesungguhnya? Seperti yang sering dikatakan Maryam padanya? Sayup-sayup telinganya menangkap suara mengaji, merdu sekali. Ia membuka sedikit jendela kamar, mencari sumber suara.
“Maryam?” Lirihnya. Bacaan Al-Quran itu seolah magnet yang menariknya. Ingin dengar lebih dekat. Suara Maryam begitu merdu dan menenangkan. Sebutir air terjun bebas dari pelupuk matanya. Aleena ingin mengetuk pintu di depannya. Namun smartphone yang ia genggam bergetar. Sebuah notifikasi di aplikasi Whatsapp.
[Ada job kelas kakap nih, semalam 50 juta, dan beruntungnya dia milih kamu! Ditunggu di Hotel Radisson]
Aleena menarik napas berat. Pilihan yang sulit baginya. Suara Maryam menenangkan, tapi pesan itu, membuat jiwanya berdebat. Dengan rasa kesal akhirnya ia memilih mengambil pekerjaan haram itu.
Sepanjang jalan menuju hotel, hatinya menggerutu. Ah mau belajar ngaji aja godaannya gede bener. Mungkin emang gue gak pantas untuk tobat.
****
Usai membaca surat Cinta-Nya, Maryam mencium mushaf pemberian almarhum ayahnya. Dia menitikkan air mata, kala rindu menyergap. Lima tahun lalu, sang ayah meninggal karena serangan jantung begitu mengetahui istrinya, ibu dari Maryam ketahuan selingkuh. Sedangkan Maryam, adalah anak satu-satunya. Sejak ayah meninggal, ibu beberapa kali menikah dengan pria lain. Maryam mencoba tegar dengan setiap ujian yang menimpanya dengan cara terus memperdalam syariat Islam. Karena hatinya terasa tenang dan akalnya terpuaskan atas keimanan yang ia raih.
Kemantapan berislam ketika ia bertemu Zanna, hingga meyakini bahwa pakaian syari seorang muslimah adalah jilbab (gamis) dan kerudung. Dia juga sangat berhati-hati dalam setiap aktivitasnya, karena Allah Maha Melihat bukan hanya itu, ia ingin amalan yang ia lakukan mengalir juga untuk ayahnya.
Maryam terisak. Mengingat dirinya seperti hidup sebatangkara. Memiliki ibu satu-satunya, tapi sibuk dengan sendiri. Di tengah bersedusedan, ponselnya bergetar. Sebuah panggilan tak terjawab.
“Kak Hasan?” Mengetahui nama itu Maryam tersenyum. Sekuat tenaga ia menjaga hatinya, menyimpan rapat-rapat perasaan yang sukar didefinisikan. Hasan, kakak tingkat prodi Bimbingan Konseling itu, kerap membuat jantungnya berdetak tak beraturan. Sikap Hasan yang dingin dan menjaga pandangan kepada lawan jenis, menjadi idaman bagi wanita. Sejak Maryam menjadi jurnalis kampus, dia sering berinteraksi dengan Hasan. Tak lama ada notifikasi di Whatsapp dari Hasan. Hati Maryam berbunga-bunga, meski isinya bukan gombalan atau sejenisnya.
[Jangan lupa ya, Dik, buat laporannya segera setelah mendapatkan info]
Hasan mengingatkan, pertemuan tadi siang membahas soal prostitusi yang marak dilakukan oleh kaum pelajar maupun mahasiswa. Tugas Maryam adalah mendapatkan info langsung dari pelaku, malam ini Maryam akan mewancarai seseorang setelah berkali-kali gagal merayu salah satu di antara mereka. Akhirnya ada satu wanita dari kaum pelajar yang siap diwawancarai. Dengam syarat dibayar dan disamarkan identitasnya, karena baginya waktu adalah uang, tak peduli itu haram atau halal.
Maryam mempersiapkan buku catatan, kartu identitas wartawan, dan alat perekam. Dia bergegas cepat, memakai gamis hitam yang longgar dan kerudung merah muda kesukaannya. Seorang teman sudah menunggu di depan kostannya. Wanita berjeans hitam panjang dan kerudung pendek. Kalau saja wanita itu tak memakai kerudung sudah sangat mirip dengan pria. Namanya Silva. Maryam sudah sering mengingatkan bahwa wanita tidak boleh menyerupai pria, demikian pun sebaliknya. Haram hukumnya. Tapi Silvia rupanya tebal kuping, dia tidak percaya pada Hadis Nabi. Maryam tak kuasa atas seseorang, tugasnya adalah menyampaikan apa yang datang dari Allah dan Rasulullah saw.
Motor Megapro kesayangan Silvi melaju, melewati jalur tikus untuk mengurangi kemacetan. Setelah Magrib jalanan lintas Kota Tanjung Karang sering macet. Sepanjang jalan, Maryam berzikir, temannya yang satu ini memang senang sekali naik motor ngebut. Sampai di jalanan yang lumayan lenggang. Maryam melihat sesosok wanita di pinggir jalan.
“Stop Sil! Stop!!” Pekik Maryam sembari menepuk nepuk pundak Silva.
“Ih kenapa sih? Kan bentar lagi kita nyampe Iyam, “ protes Silva kesal sambil menghentikan laju motornya, hingga rem berdecit.
Maryam turun dengan perasaan khawatir, perempuan yang ia lihat seperti Aleena. Semakin dekat.
“Astagfirullah! Kak Aleena!” Maryam setengah menjerit menyaksikan tubuh Aleena terkoyak, darah segar mengucur dari bibir dan pelipis mata. Nampak jelas di bawah temaram bulan.
Aleena terdengar merintih kesakitan. Maryam segera memapah Aleena.
“Kak, siapa yang melakukan ini? Kenapa Kakak ada di sini? Dengan pakaian terbuka dan ini kenapa sobek-sobek? Siapa yang sudah menjahati Kakak?” Pertanyaan Maryam panjang lebar. Aleena menyeringai, senyumannya sedang mengejek diri sendiri.
“Ini risiko pekerjaanku,“ lirihnya penuh kebencian.
“Kita cerita di kosan ya, Kak,“ pinta Maryam, ia memanggil Silva yang enggan mendekati mereka. Gadis tomboy itu menjalankan motornya, mendekati Maryam, dan nampak sedikit terkejut melihat wanita dengan darah berlumuran di wajah dan pakaian. Akhirnya Silva mengangkut dua wanita itu.
Sesampainya di kamar Aleena, Maryam segera membersihkan darah yang mulai mengering, dengan air seadanya.
“Au, auh pelan,“ Aleena kesakitan. Maryam sangat hati-hati membersihkan luka itu. Kesunyian tercipta di antara mereka. Pekikan telepon dari ponsel Maryam memecah sunyi. Maryam menghentikan aktivitasnya dan mengangangkat telepon dari Hasan.
“Belum jadi menemui narasumbernya ya, Dik? Barusan Silva menghubungi saya?” Tanya Hasan dari balik ponselnya.
“Benar Kak, Maryam meminta maaf, karena ada sesuatu yang lebih penting dari tugas itu.“
“Baiklah, kalau begitu saya akan alihkan kepada Nirina. “
“Terima kasih, Kak, atas pengertiannya,“ tutup Maryam lembut.
Maryam menghela napas, mendengar suara Hasan sangat membahagiakan hatinya.
“Telepon dari siapa? Dari pacarkah?“ Tanya Aleena menyelidik, pipi Maryam bersemu merah. Ia tersenyum manis sekali.
“Bukan Kak, dari Kak Hasan,“ lirih Maryam tersipu. Mendengar itu Aleena membenarkan posisi duduknya.
“Hasan, yang tampan itu?“
Maryam tak menjawab. Ia hanya tersenyum, ia tidak berani mengakuinya karena malu.
“Beruntung ya jadi kalian, jadi orang-orang yang baik,“ suara Aleena tercekat. Maryam menelan ludah, dia bingung harus memulai pertanyaan dari mana. Aleena seolah mengerti kegundahan Maryam.
“Aku abis dipukulin customer ku, Mar, mungkin kau sudah tahu kan apa pekerjaanku? Heh, iya aku ini pelacur Maryam, aku manusia kotor yang enggak pantas diampuni. Ini bukan pertama kali aku babak belur dipukulin mereka, setelah puas menyalurkan hasratnya, mereka melampiaskan kemarahan kepadaku. Aku harus menerima seluruh perlakuan mereka karena aku sudah dibayar mahal. Aku hina, Mar, aku kotor,“ lapisan air yang menyelimuti matanya tumpah ruah membasahi pipinya. Aleena menangis tersedu, menahan sakit pada fisik dan jiwanya. Dia ingin berubah tapi tak tahu harus memulai dari mana.
“Maryam, apa aku masih pantas diampuni?”
“Kak, Allah Maha Menerima Tobat, sebesar apapun dosa kita Allah pasti akan mengampuninya. Kakak bisa melihat ujungnya langit?”
“Tidak.“
“Sejauh itu lah rahmat Allah Kak, seluas itu pula pengampunan-Nya, Allah mencintai orang-orang yang bertobat. Sebenarnya Maryam sudah mengetahui sejak lama, Kak, hanya saja Maryam bingung, Maryam segan menegur Kak Aleena, Kak selagi masih ada nyawa, artinya Allah memberi kesempatan kepada kita untuk bertobat.“
“Ajari aku Maryam,“ lirih Aleena dengan mata berkaca-kaca, gadis berkerudung merah muda itu langsung memeluk haru kakak tingkatnya.
“Insyaallah, Kak,“ Maryam ikut terisak.
Betapa bahagia hatinya, mendengar Aleena akan berubah. Tidak ada kebahagiaan yang lebih besar dari melihat soudara seiman mau memperdalam Islam, karena dengan itu mereka akan merasakan betapa nikmatnya beriman dan bertaqwa kepada Allah. Andai harta di seluruh dunia ini dikumpulkan untuk membeli ketenangan jiwa raga, pastilah tak akan mampu untuk membeli.
Bersambung
Picture Source by Google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan Anda ke email [email protected]