Melesatnya Kepopuleran Bitcoin di Tengah Fatwa Haram MUI

"Kemunculan kripto termasuk Bitcoin bukanlah suatu kebetulan semata, ada motif ideologi yang tajam terendus dari transaksi kontemporer ini. Melihat sepak terjang para pendiri cryptocurrency adalah para penganut ideologi kapitalis murni."

Oleh. Nurjamilah, S.Pd.I.
(Tim Redaksi NarasiPost. Com)

NarasiPost.Com-Perkembangan teknologi berpadu dengan kemajuan ekonomi meniscayakan munculnya gebrakan baru dalam transaksi jual beli. Berawal dari penggunaan emas dan perak, kemudian uang kertas, dan kini menjadi uang elektronik. Melimpahnya kekayaan para kapitalis dan ambisi mereka yang tak bertepi menginisiasi munculnya mata uang digital yang dinamakan cryptocurrrency, yang nihil regulasi oleh pemerintah mana pun dan tidak digolongkan sebagai mata uang resmi. Bitcoin menjadi salah satu produknya yang melesat bak primadona.

Kepala Bappebti Indrasari Wisnu Wardhana dalam program d’Mentor detikcom, Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Kementerian Perdagangan menegaskan rencana bursa kripto di tanah air tetap berjalan dan akan diluncurkan akhir tahun ini alias bulan depan. Meskipun, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa haram untuk kripto (detikFinance.com, 18/11/2021).

Lantas, seperti apa mekanisme transaksi kripto termasuk di dalamnya Bitcoin? Ada motif apa di balik peluncuran kripto? Bagaimana pandangan Islam terhadap transaksi kontemporer ini?

Serba-serbi Kripto

Cryptocurrency atau kripto adalah mata uang digital yang berbasis cryptography (kode rahasia). Transaksi mata uang kripto dilakukan tanpa perantara, maksudnya pembayaran digital langsung dari pengirim kepada penerima. Uang kripto terdiri dari beberapa jenis yakni Bitcoin, Etherium, Tether, XRP, sampai Dogecoin. Semua jenis kripto itu memiliki karakteristiknya masing-masing. Namun, mata uang kripto sampai saat ini belum masuk regulasi bank mana pun, termasuk Bank Indonesia.

Seiring dengan pesatnya perekonomian modern yang bernapaskan kapitalis, uang tak lagi hanya memiliki satu fungsi. Namun, berkembang menjadi beberapa fungsi lain yakni sebagai penghitung nilai (unit of accounts), standar pembayaran tundaan (standard of deferred payments), alat penimbun kekayaan (store of value), bahkan sebagai komoditas. Oleh karena itu, kemunculan kripto merupakan respons dari perkembangan ini.

Cryptocurrency pertama kali dirintis oleh seorang cryptographer dari AS David Chain pada 1983 yang memakai uang digital cryptography (e-cash). Kemudian dikembangkan lagi pada 1995 menjadi digicash. Teknologi ini memungkinkan mata uang digital tak terlacak oleh penerbit, pemerintah, atau pihak mana pun.

Salah satu jenis kripto yang paling populer adalah Bitcoin. Mata uang digital ini muncul pertama kali pada tahun 2009, diinisiasi oleh Satoshi Nakamoto (nama samaran, sosoknya masih misteri). Metode pembayarannya menggunakan teknologi peer-to-peer (tidak ada pihak ketiga yang terlibat, sehingga tidak ada penjamin) dan open source (tidak memiliki penerbit, baik itu bank atau pemerintah). Setiap transaksinya akan disimpan dalam database jaringan Bitcoin.

Pro kontra terkait penggunaan Bitcoin tak terelakkan, baik itu di Indonesia maupun negara lain. Faktanya, Bitcoin memang belum memenuhi unsur dan kriteria sebagai mata uang. Sehingga mata uang ini tidak dikeluarkan oleh negara mana pun, tapi melalui sistem cryptography jaringan komputer. Oleh karena itu, Bitcoin tak berwujud emas, perak, koin, dan kertas.

Inilah yang menjadi kelemahan Bitcoin, peredarannya sebagai mata uang tak dilindungi payung hukum. Bahkan, tak ada satu pun lembaga yang bertanggung jawab jika terjadi penyalahgunaan Bitcoin seperti money laundry, pencurian, dan tindak pidana lainnya. Ini sangat berbahaya dan berpotensi merugikan pengguna Bitcoin.

Namun, ada kelebihan yang membuat masyarakat tergiur untuk menggunakan Bitcoin yakni daya jangkaunya bersifat internasional (lintas negara), tak terpengaruh kondisi politik di pemerintahan, tak terimbas inflasi, dan model canggih tabungan masyarakat yang terbilang praktis dan jauh dari segala kerepotan karena peran bank sebagai perantara benar-benar dienyahkan.

Posisi Kripto di Indonesia

Masyarakat dunia berbeda-beda dalam merespons perkembangan transaksi digital ini. Hingga saat ini, baru ada enam negara yang melegalkan transaksi kripto yaitu Jepang, Amerika Serikat, Finlandia, Denmark, Rusia, dan Korea Selatan. Sedangkan negara yang melarang yakni Cina, Turki, Mesir, dan Bolivia.

Indonesia sendiri telah mengatur berkaitan dengan transaksi digital ini. Berdasarkan Surat Menko Perekonomian Nomor S-302/M.EKON/09/2018, di Indonesia aset kripto tetap dilarang sebagai alat pembayaran. Namun, legal bila dijadikan alat investasi dengan menggolongkannya sebagai komoditas yang dapat diperdagangkan di bursa berjangka. Transaksi perdagangan kripto di Indonesia disetujui dan diawasi oleh Bappebti.

Bahkan, pemerintah berencana mendirikan bursa kripto di Indonesia pada bulan Desember 2021. Pasalnya, menurut Kepala Bappebti Indrasari Wisnu Wardhana keberadaan bursa kripto akan melindungi sekaligus memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat Indonesia. Pihaknya berhasil mencatat jumlah transaksi periode Januari-Oktober 2021 mencapai nilai yang fantastis yakni Rp717 triliun dengan jumlah pengguna mencapai 9,7 juta. Jika nominal sebesar ini tidak difasilitasi di Indonesia, masyarakat akan mencari dolar dan bermain di luar, tanpa bisa kita edukasi dan kesempatan untuk mengalirkan dana bagi ekonomi Indonesia raib begitu saja (finance.detik.com, 18/11/2021).

Jika sudah sebegitu antusiasnya pemerintah dalam mengambil keuntungan pada transaksi kripto, maka fatwa haram MUI pada jenis transaksi ini pun bagai angin lalu, sama sekali tak digubris. Sebagaimana dimaklumi, MUI telah mengeluarkan fatwa haram uang kripto dalam Forum Ijtima Ulama se-Indonesia ke-VII. Sebab, terdapat unsur gharar, dharar, dan bertentangan dengan UU Nomor 7 Tahun 2011 dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17 Tahun 2015 (kontan.co.id, 15/11/2021).

Namun, bursa kripto tetap akan meluncur akhir tahun ini, walaupun fatwa haram MUI mengadang. Miris, di negeri mayoritas muslim, halal haram tak lagi jadi acuan bagi penguasanya dalam mengambil keputusan. Tak berlebihan, jika dikatakan bahwa Indonesia telah mengidap sekularisme kapitalisme akut karena menjadikan asas manfaat sebagai dasar dari pengambilan kebijakan penguasanya.

Mengamankan Ambisi Kapitalis

Kemunculan kripto termasuk Bitcoin bukanlah suatu kebetulan semata, ada motif ideologi yang tajam terendus dari transaksi kontemporer ini. Hal ini diperkuat dengan pendapat dari Direktur Swarna Investama Hans Kwee yang menyatakan fenomena kemunculan kripto erat kaitannya dengan ideologi kapitalisme. Melihat sepak terjang para pendiri cryptocurrency adalah para penganut ideologi kapitalis murni. Mereka tak sudi kekayaannya diatur oleh negara melalui mekanisme bank sentral negara (finance.detik.com, 06/06/2021).

Adam Smith sebagai founding father dari ideologi kapitalisme memegang prinsip invisible hand dalam transaksi ekonomi. Artinya, biarkan pasar yang membuat harga, sementara pemerintah tidak diperkenankan ikut campur di dalamnya. Sayangnya, konsep klasik itu tersandung masalah, saat Amerika alami great depression ekonominya pun terjungkal. Tak ada pilihan lain, akhirnya pemerintah mengulurkan tangan untuk menstabilkan ekonomi negara. Membantu para pemilik modal dari kolapsnya. Hingga saat ini, penguasa dan pemilik modal masih menjalin simbiosis mutualisme di antara mereka.

Namun, bukan berarti hubungan mereka harmonis terus-menerus. Kekayaan para pemilik modal (kapital) yang terus membengkak, ‘memaksa' mereka untuk mengamankan asetnya di bank. Tapi di sisi lain, pemerintah memberikan keleluasaan bank sentral negara untuk mencetak uang sehingga membuat nilai aset mereka jatuh. Kegeraman para kapitalis mendorong mereka untuk melakukan gebrakan baru dengan membuat mata uang sendiri dan sistem transaksi yang steril dari intervensi dan pengaturan pihak mana pun. Inilah yang melatarbelakangi munculnya cryptography.

Lantas, dari mana sumber kekayaan para kapitalis ini? Mengapa dari hari ke hari kekayaan mereka semakin menggunung? Mengingat kapitalisme adalah sebuah ideologi yang mendunia, tidak dipagari oleh nation state. Maka, daya sasarnya pun pada seluruh negara. Mereka bidik negeri-negeri muslim yang kaya akan SDA, untuk dieksploitasi secara membabi-buta dengan menempatkan penguasa boneka untuk melegalisasi aksi perampokan di bawah perlindungan payung hukum negara. Mereka ‘sulap' bahan baku tadi menjadi produk-produk menarik yang dipasarkan kepada orang-orang muslim sebagai konsumen. Tak lupa, mereka taburkan sihir western life style ke dalam benak muslim, sehingga terbentuklah budaya konsumtif dan shopaholic.

Bitcoin dalam Pandangan Islam

Islam merupakan agama sekaligus ideologi yang memiliki perangkat aturan yang paripurna. Mampu menjawab setiap tantangan zaman serta mampu memutuskan status hukum pada setiap persoalan kontemporer yang belum terjadi di masa Rasulullah saw., namun menjadi tren di masa kini.

Islam memandang bahwa Bitcoin tidak memenuhi syarat mata uang, oleh karena itu Bitcoin bukanlah mata uang. Dalam Islam, mata uang yang legal adalah Dinar dan Dirham. Asy-Syaikh al-‘Alim Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah menyampaikan setidaknya, ada tiga syarat penting dalam mata uang Islam. Pertama, dasar untuk menilai barang dan jasa, ini berfungsi sebagai penentu harga dan upah. Kedua, dikeluarkan oleh otoritas yang bertanggung jawab menerbitkan Dinar dan Dirham, harus dipastikan ini bukan badan yang majhul (tidak diketahui). Ketiga, tersebar luas dan masyarakat mudah untuk mengaksesnya, tidak hanya dibatasi oleh kelompok tertentu saja.

Dari pemaparan di atas tampak jelas bahwa Bitcoin tidak memenuhi syarat sebagai mata uang. Sebab, Bitcoin bukanlah standar baik untuk barang maupun jasa, melainkan dia hanya sebuah produk. Kalaupun digunakan sebagai alat tukar, hanya berlaku untuk item barang dan jasa tertentu saja. Selain itu, Bitcoin dikeluarkan dari otoritas yang tidak jelas (majhul). Bahkan, peredarannya pun terbatas hanya pada kalangan tertentu saja (eksklusif) yang telah menyetujui nilainya, tidak tersebar luas di masyarakat. Sehingga rawan spekulasi, penipuan, bahkan kecurangan. Oleh karena itu, wajar jika Islam mengharamkan untuk membeli dan menjualnya.

Diduga kuat, pihak yang merilis sekaligus pengendali Bitcoin adalah negara-negara kapitalis utama atau mafia yang terkait dengan negara besar yang menyimpan itikad jahat, bahkan perusahaan internasional besar untuk perjudian, perdagangan narkoba, money laundry, dan kejahatan terorganisir lain. Bahkan, terendus aroma hegemoni negara-negara kapitalis imperialis khususnya Amerika, yang menjadikan Bitcoin sebagai alat untuk merampok kekayaan masyarakat dunia, khususnya negeri-negeri muslim.

Mengutip dalil dari Imam Muslim, dari Abu Hurairah, dia berkata: “Rasulullah saw. melarang bay’ al-hashah dan bay’ al-gharar.” Imam At-Tirmidzi juga telah mengeluarkannya dari Abu Hurairah bay’ al-hashah itu seperti orang yang berkata, “Saya jual kepada Anda tanah ini mulai dari sini sampai berakhirnya kerikil ini." Adapun, maksud bay’ al-gharar itu seperti jual beli janin hewan yang masih berada di dalam perut induknya dan jual beli ikan di dalam air yang banyak. Baik jual beli al-hashah mau pun al-gharar itu tidak jelas, sehingga batil dan haram untuk dipraktikkan.

Dalil ini berlaku untuk Bitcoin. Realitasnya, Bitcoin merupakan suatu alat tukar yang majhul otoritas yang mengeluarkannya, bahkan tak ada pihak penjaminnya. Atas dasar itu maka haram diperdagangkan.

Transaksi batil seperti ini tidak akan diberi panggung dalam sistem Islam yang adil. Khilafah sebagai institusi penerap syariat Islam kaffah akan menjaga agar semua interaksi dan transaksi ekonomi berjalan dalam koridor Islam, meskipun kebatilan mampu memberikan manfaat atau keuntungan yang berlimpah, sesungguhnya hal itu semu belaka. Sanksi siap digelar bagai siapa saja yang melanggar.

Khatimah

Perkembangan zaman dan teknologi membuat manusia terus berinovasi dalam melakukan berbagai transaksi ekonomi. Namun, karena sekularisme-kapitalisme telah merasuki sendi-sendi kehidupan manusia saat ini, batasan halal haram pun ditabrak. Asas manfaat semata menjadi alasan suatu aktivitas dilakukan dan kebijakan diluncurkan. Hanya sistem Islam yang mampu menghentikan kekacauan dan ketidakstabilan ini dengan tegaknya Khilafah yang akan mengembalikan semua on the track.

Wallahu 'alam bi ash-shawwab[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Tim Redaksi NarasiPost.Com
Tsuwaibah Al-Aslamiyah Tim Redaksi NarasiPost.Com
Previous
Jihad dan Khilafah, Ajaran Islam Pembawa Berkah
Next
Petir Menyambar, Kilang pun Terbakar
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Mariyatul Qibtiyah
Mariyatul Qibtiyah
2 years ago

Jadi ingat dengan dinar dan dirham yang sempat beredar di kalangan tertentu. Namun, nasibnya berbeda dengan bitcoin. Tahu sendiri kan, kenapa?

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram