Kampus Darurat Pelecehan Seksual dan Wacana Hegemoni Global di Balik Ambigu Regulasi Liberal

"Sudah ada banyak sekali draf kebijakan yang berusaha digodok untuk disepakati bersama, namun seringnya kontroversi yang justru menyeruak sebelum palu terketok atasnya. Salah satunya adalah Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi atau Permendikbud No. 30 tahun 2021. Dari 35 pasal yang ada, draf aturan ini mulai menata pencegahan, penanganan dan pemulihan kasus kekerasan seksual yang terjadi dalam lingkup kampus."

Oleh. Iranti Mantasari, BA.IR, M.Si
(Kontributor Tetap NarasiPost)

NarasiPost.Com-Kampus adalah rumah bagi para intelektual dalam menimba ilmu, mengasah kemampuan berpikir serta nalar kritisnya. Dari kampuslah lahir banyak calon pemimpin negeri serta mereka yang dapat memberikan kontribusi besar bagi masyarakat. Sudah selayaknya kampus menjadi tempat yang aman bagi semua pihak, demi ketercapaian Tridarma perguruan tinggi. Namun, realitas berkata lain. Kampus justru menjadi tempat yang tidak aman, karena adanya pelecehan seksual yang melibatkan civitas academica kampus. Jika menyebut pelaku sebagai oknum, nyatanya pelakunya berjumlah banyak jika ditotal dari berbagai kampus yang ada. Dan sayangnya, karena melihat sistem peradilan hari ini, kejadian serupa mungkin bukan yang terakhir.

Pada tahun 2019 saja, laman Tirto pernah menggali data kekerasan seksual di lingkungan kampus dengan menyebarkan kuisioner melalui media sosial. Hasilnya, terdapat 174 kasus kekerasan seksual yang melibatkan civitas academica kampus yang terjadi di 29 kota di Indonesia, dan tersebar di 79 perguruan tinggi. Sebagaimana yang diwartakan CNN Indonesia, data tersebut kemungkinan terus bertambah, mengingat baru-baru ini terjadi pelecehan seksual yang dilakukan dosen terhadap mahasiswanya di Riau. Tak lupa kasus serupa di kampus UIN Kediri juga sempat viral, karena seorang mahasiswa melaporkan dosennya yang disebut melecehkannya secara seksual.

Semua pihak berpotensi menjadi korban, laki-laki ataupun perempuan, baik ia adalah mahasiswa, dosen, termasuk tenaga kependidikan lain di perguruan tinggi. Selama ini, para korban pelecehan seksual, tidak banyak yang mendapatkan penanganan serius, karena tak jarang, jika mereka melaporkan kasus, mereka bisa dilaporkan balik oleh terlapor dengan delik pencemaran nama baik, atau bahkan mendapat ancaman yang tak pantas lainnya. Dari sini muncullah pernyataan bahwasanya hukum yang berlaku tidak memihak korban. Akan tetapi, benarkah hukum yang tidak prokorban atau semuanya karena hukum yang ada memang kacau dari akarnya?

Di sinilah titik kritisnya, yang menyebabkan berbagai pihak berusaha dan mendorong para pemangku kuasa untuk melahirkan regulasi dalam menangani kasus-kasus pelecehan seksual ini. Sudah ada banyak sekali draf kebijakan yang berusaha digodok untuk disepakati bersama, namun seringnya kontroversi yang justru menyeruak sebelum palu terketok atasnya. Salah satunya adalah Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi atau Permendikbud No. 30 tahun 2021. Dari 35 pasal yang ada, draf aturan ini mulai menata pencegahan, penanganan dan pemulihan kasus kekerasan seksual yang terjadi dalam lingkup kampus.

Ambigunya Regulasi rasa Liberalisasi

Tidak sedikit pihak yang kontra dengan peraturan ini dan hampir seluruhnya adalah dari kalangan umat Islam. Mengapa demikian? Karena ada banyak ayat dan poin di berbagai pasal yang memberikan penekanan pada frasa “tanpa persetujuan korban”. Misalnya, di pasal 5 ayat 2 poin b serta poin f, g, h, j, m, dan l, frasa ini muncul untuk menjelaskan tindakan apa yang disebut sebagai kekerasan seksual. Frasa ini dianggap berbahaya, sebab semuanya satu suara bahwa hal tersebut memunculkan potensi –jika tidak mau dianggap melegalkan- terbukanya pintu perzinaan atau tindakan asusila apa pun yang jelas dan tegas dilarang oleh agama.

Frasa problematik ini sebetulnya bukan isu baru, karena sejak lama para pendukung dan pengusung aturan serupa sebelumnya juga memiliki standing point yang sama dengan peraturan menteri ini. Seperti pada RUU P-KS yang sama-sama mendapat penentangan oleh elemen muslim, karena ada penekanan terkait ada atau tidaknya consent (persetujuan) dari pihak korban. Sexual consent memang merupakan salah satu materi penting dalam aturan yang diusung oleh para pendukung ide feminisme dan liberalisme, baik di Indonesia maupun di negeri-negeri lain.
Sexual consent atau persetujuan seksual didefinisikan sebagai persetujuan untuk terlibat dalam aktivitas seksual, yang tanpa persetujuan ini, sebuah aktivitas seksual dapat dianggap sebagai sebuah pemerkosaan atau pelecehan seksual lainnya. Penting untuk diketahui bahwa konsep sexual consent ini jelas bukan berasal dari Islam, namun lahir dari rahim peradaban Barat yang liberal, sehingga orang-orang yang ingin menyalurkan naluri seksualnya, boleh melakukan aktivitas seksual selama pihak-pihak yang terlibat setuju untuk melakukannya. Kuatnya konsep ini menjadi dasar sebuah regulasi, khususnya di negeri yang dihuni oleh mayoritas pemeluk agama yang tegas mengharamkan zina dan segala aktivitas yang mendekatinya, membuat suara penolakan kian menggema dari berbagai penjuru negeri.

Waspadai Wacana Hegemoni Global

Permendikbud No. 30 secara jelas mendorong dan menjadikan kesetaraan gender sebagai landasan pencegahan, sebagaimana yang tertuang dalam pasal 3. Frasa relasi kuasa atau gender juga muncul sejak di pasal 1. Kesetaraan gender dianggap akan mampu mengatasi kekerasan seksual yang disebabkan karena adanya relasi kuasa dalam lingkup perguruan tinggi. Penggunaan dua konsep, yakni relasi kuasa dan kesetaraan gender semakin menunjukkan narasi apa yang ada di balik regulasi ini.

Ide untuk menyetarakan gender sudah banyak dimaklumi masyarakat sebagai bagian dari agenda global yang semuanya termaktub dalam CEDAW (Conventions on the Eliminination of All Forms of Discrimination Against Women) atau Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita. Konvensi ini kemudian diarusutamakan oleh berbagai agenda UN Women di bawah naungan PBB, di mana hal ini berimplikasi pada setiap negara yang menjadi negara anggota PBB, berkewajiban untuk menyelaraskan regulasi nasionalnya dengan agenda internasional tersebut.

Menangani kekerasan seksual dengan menjadikan kesetaraan gender sebagai landasan agaknya merupakan sesuatu yang jauh panggang dari api, karena hal itu berarti menyelesaikan sebuah masalah dengan masalah. Kesetaraan gender melihat masyarakat dengan perspektif relasi subordinasi dan relasi kuasa, yakni didominasi oleh kekuasaan laki-laki atas perempuan. Atas sudut pandang itulah kesetaraan gender dianggap bisa menyelesaikan masalah ini, karena laki-laki tidak lebih berkuasa daripada perempuan sehingga perempuan tidak diperlakukan semena-mena, bahkan dilecehkan. Namun, tentu kesetaraan gender tidak hanya mengenai kekerasan seksual, melainkan lebih jauh, ada pondasi yang sifatnya pakem di dalam Islam khususnya terkait bangungan sosial dan keluarga yang terkena imbasnya.

Islam juga tidak melihat masyarakat dengan sudut pandang relasi subordinasi ataupun relasi kuasa. Islam lebih proporsional dalam mendudukkan posisi laki-laki dan perempuan, yakni ditakar hanya melalui ketakwaannya pada Allah Swt. Standar yang digunakan sebagai acuan berpikir dan bertindak juga adalah standar syari, yang berarti, keluarnya seseorang dari standar ini, maka di situlah kekacauan terjadi, termasuk berbagai pelecehan seksual yang bisa menimpa perempuan dan laki-laki. Maka jelas, berbagai kejahatan dan pelecehan seksual terjadi pasti karena pelakunya tidak bertakwa dan tidak menjadikan rambu-rambu agama sebagai tolok ukur perbuatan amoralnya.

Fakta-fakta yang sarat menunjukkan semangat kesetaraan gender dalam regulasi yang dicanangkan menjelaskan bahwa negeri ini menjalankan sistem sekuler-liberal, yang pada faktanya telah membawa dampak terhadap tumbuh suburnya berbagai kekerasan, diskriminasi dan ketidakadilan yang dirasakan manusia, termasuk yang berkaitan dengan isu seksualitas. Sehingga dari sini sebetulnya sudah semakin jelas bahwa di balik berbagai kebijakan yang digodok untuk mengatasi kekerasan seksual, terdapat agenda perluasan hegemoni Barat yang liberal ke negeri muslim terbesar ini. Karena aturan yang berusaha ditetapkan didasari oleh kesepakatan internasional yang juga bersifat liberal dan sekuler itu. Agenda inilah yang tak kalah penting untuk disadari dan diwaspadai oleh umat, yang tentu saja, bukan berarti mengabaikan kekerasan seksual yang semakin banyak memakan korban. Meski demikian, untuk menyelesaikan masalah ini, penting untuk menggunakan perspektif yang menyeluruh, bukan yang parsial, apalagi parsialitasnya mengusung ide yang justru dikecam oleh Islam. Adapun Islam, agama yang diajarkan oleh Rasulullah saw ini memiliki konsep yang bersifat integral dan melibatkan tiga pilar utama kehidupan bernegara. Individu yang bertakwa, masyarakat yang senantiasa bersibuk melakukan amar makruf nahi mungkar pada sesama, dan negara yang secara komprehensif menerapkan syariat Islam yang tegas menindak setiap perbuatan apa pun yang mencoreng kehormatan diri manusia. Selain itu, seluruh pilar tersebut akhirnya memenuhi asas preventif karena mencegah perilaku menyimpang dengan ketakwaan, kuratif karena membebankan kepada masyarakat dan negara untuk menjaga akhlak, serta solutif karena mampu memberikan sanksi yang tegas pada setiap kekerasan seksual, bahkan aktivitas seksual yang mendapat persetujuan dari pelakunya di luar ikatan pernikahan.

Hanya saja, konsep Islam tersebut utopis untuk bisa tertegakkan dalam kehidupan bernegara yang menempatkan Allah Swt dan aturan-aturan-Nya hanya pada ranah privat, sementara di ranah publik, hukum-hukum-Nya justru dipinggirkan dan bahkan distigma negatif oleh para pembenci. Dengan demikian, konsep integral Islam dalam mencegah, menangani dan menyelesaikan kekerasan seksual hanya mungkin dan bisa terealisasi dalam sistem Islam yang menjadikan kalamullah sebagai landasan menegakkan setiap aktivitas dan sebagai pemutus perkara setiap manusia. Allahu a’lam bisshawwab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Iranti Mantasari BA.IR M.Si Penulis Inti NarasiPost.Com
Previous
Algoritma Kurasi dalam Arus Globalisasi, Bagaimana Nasib Generasi?
Next
Banjir Datang Kembali
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram