Banjir Datang Kembali

"Alam sebenarnya telah banyak memberi pertanda. Jika mampu berbicara, pastilah ia akan berteriak, menangis kesakitan, dan meminta manusia menghentikan kesewenangannya. Tanah ini tak sanggup lagi menahan tumpahnya air dari langit. Bukan karena sang hujan yang turun berlebihan, namun akar-akar penyerap air itu telah tercerabut dari tanahnya."

Oleh. Deena Noor
(Kontributor Tetap NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Banjir kembali melanda sejumlah wilayah di negeri zamrud khatulistiwa. Bencana ini tak hanya menyapu harta benda, tetapi juga manusia. Segala yang di hadapan hanyut terbawa arus air yang deras. Menyisakan lumpur dan duka pada rumah keluarga. Porak poranda.

Sebagian lagi terendam dalam tingginya genangan air tanpa bisa berbuat banyak. Bahkan sampai berhari-hari banjir itu seolah enggan pergi. Aktivitas pun tak bisa leluasa dikerjakan hingga terpaksa harus berhenti.

Manusia sibuk mencari cara supaya banjir segera surut. Pontang-panting agar korban tertangani. Berharap tak ada yang meninggal dunia karenanya. Namun, apa daya kekuatannya lebih dahsyat dari kehendak manusia. Nyawa telah melayang, harta pun hilang, dan tangis lara jatuh menggenang.

Telah sekian kali banjir ini terjadi. Laksana acara tahunan, ia tak pernah absen menghampiri. Namun, sayang tak cukup menjadi pelajaran bagi manusia untuk memahami. Alih-alih mencari akar permasalahannya, mereka malah membuat solusi tambal sulam karena tak mau rugi.

Alam sebenarnya telah banyak memberi pertanda. Jika mampu berbicara, pastilah ia akan berteriak, menangis kesakitan, dan meminta manusia menghentikan kesewenangannya. Tanah ini tak sanggup lagi menahan tumpahnya air dari langit. Bukan karena sang hujan yang turun berlebihan, namun akar-akar penyerap air itu telah tercerabut dari tanahnya.

Segala aktivitas manusia yang memanfaatkan alam, namun sejatinya merusak keseimbangan semesta. Atas nama kebebasan, manusia merasa berhak melakukan apa saja. Demi meraup materi, eksploitasi alam terus merajalela. Kerusakan yang dibuat manusia begitu nyata.

Hutan-hutan dibakar dan digunduli demi memuaskan kepentingan yang berkuasa. Lahan-lahan hijau dialihfungsikan supaya bisa lebih mendatangkan keuntungan tanpa mempertimbangkan secara bijaksana dampaknya. Daerah-daerah resapan air berubah menjadi kafe, mall dan tempat hiburan yang tentu saja mengalirkan pundi-pundi bagi pengusahanya.

Pepohonan berubah menjadi bangunan. Hilanglah akar-akar yang menyerap limpahan air hujan. Di sisi lain, sampah dibuang sembarangan tanpa perasaan. Aliran terhambat dan sungai tak mampu menampung debit air yang berlebihan.

Jangan salahkan hujan bila ia datang dan membanjiri daratan. Manusia sendirilah yang mengundang bencana berdatangan. Melakukan tindakan sembrono berujung pada kerusakan. Mereka mengambil manfaat semata tanpa memikirkan akibat yang ditinggalkan.

Deforestasi alias penggundulan hutan menjadi penyebab banjir melanda. Istilah keren namun sama saja dengan yang sebelumnya. Manusia tetap tak mampu menemukan akar persoalan bencana.

Curah hujan tak selalu tinggi di sepanjang masa. Ada banyak jeda yang harusnya bisa digunakan manusia untuk mempersiapkan segalanya agar ia tak menjadi malapetaka. Namun, begitulah manusia, selalu lalai dan abai terhadap aturan yang ada. Materi lebih utama dari segalanya.

Andai mereka mau menyadari. Bila alam dieksploitasi, maka cepat atau lambat bencana akan terjadi. Ketidakseimbangan ekosistem karena aktivitas manusia akan membawa dampak bagi kehidupan di bumi. Satu perubahan di satu titik wilayah mampu menjalari dunia di segala sisi. Hilangnya hutan di satu negeri adalah bencana bagi seluruh keberlangsungan kehidupan secara global.

Meskipun pembahasan permasalahan telah dilakukan berkali-kali, namun ketidakjernihan pikiran menghalangi ditemukannya akar dan solusi yang sejati. Ego yang tinggi membuat masing-masing bertahan dengan kesalahannya. Terlebih lagi, kepentingan materi yang menjadi tujuan utama selalu dipertahankan dengan segala cara. Kapitalisme ini merusak alam dan juga manusia.

Pengaturan yang salah menjadikan hidup diliputi masalah. Mengambil aturan yang keliru akan menyebabkan manusia berjalan tak tentu arah. Segalanya berantakan akibat salah melangkah. Menimpakan kesalahan pada alam, jelas tak bijak. Hanya mencari kambing hitam atas kebodohan dalam bertindak. Padahal Allah telah memberikan anugerah seluas semesta beserta petunjuk dalam memanfaatkannya, bukan sesuka kehendak.

Hujan bukanlah pembawa bencana. Ia adalah tanda kasih dari Sang Pencipta. Ia menjadi sumber kehidupan bagi seluruh kehidupan di alam raya. Airnya mampu menumbuhkan tanaman yang beragam rupa. Darinya, hewan-hewan bisa melepas dahaga. Air bermanfaat untuk banyak kegiatan manusia. Hujan adalah rahmat dari Allah Swt., sebagaimana yang tertulis dalam surah Al-Furqan ayat 48-49: “Dialah (Allah) yang meniupkan angin (sebagai) pembawa kabar gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan). Kami turunkan dari langit air yang sangat bersih agar Kami menghidupkan dengan air itu negeri (tanah) yang mati, supaya Kami memberi minum dengan air itu sebagian besar dari makhluk Kami, binatang ternak dan manusia yang banyak.”

Kebaikan akan berubah menjadi keburukan bila meninggalkan fitrah dan kodratnya. Sayang sekali manusia sering melupakannya. Menabrak koridor demi mengejar kesenangan fana. Dengan sengaja merusak penciptaan-Nya yang berkonsekuensi pada derita dunia dan dosa. Padahal semua yang telah ditetapkan oleh-Nya adalah kebaikan untuk manusia. Alam yang kita nikmati keindahan dan manfaatnya bisa menjadi berkah bila sesuai dengan perintah Allah Swt.. Sebaliknya, permasalahan dan penderitaan akan membelit bila mendustakan titah-Nya.

Pada akhirnya, dalam setiap bencana dan musibah selalu ada hikmah dan pelajaran yang bisa direguk. Bila tak ingin menanggung derita berkepanjangan, maka berikhtiarlah sebaik mungkin untuk menghindari segala hal yang buruk. Namun, bila ia terjadi dalam hidup kita, usahlah terlampau bersedih, merutuk apalagi mengutuk. Bersegera berbenah, tinggalkan semua yang tak sesuai perintah agar hidup menjadi benar terarah.

Belajar sungguh-sungguh dari setiap musibah. Jangan biarkan terjatuh pada lubang yang sama. Jangan sampai mengulang kesalahan hingga berkali-kali. Tak cukupkah kerusakan dan bencana menjadi bukti bahwa kita telah jauh melangkah meninggalkan perintah-Nya? Kurang pedihkah kesengsaraan yang dirasakan akibat mendewakan aturan manusia yang penuh cacat? Sadarlah betapa Allah sangat mengasihi kita dengan masih memberikan kesempatan untuk lolos dari musibah yang telah merenggut jiwa dan harta benda. Adakah cara terbaik mensyukurinya selain benar-benar bertobat dan kembali ke jalan takwa?
Wallahu a’lam bish-shawwab[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Tim Penulis Inti NarasiPost.Com
Deena Noor Tim Penulis Inti NarasiPost.Com
Previous
Kampus Darurat Pelecehan Seksual dan Wacana Hegemoni Global di Balik Ambigu Regulasi Liberal
Next
Makanan sebagai Obat di Era Kejayaan Islam
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram