"Pada prinsipnya sistem ekonomi syariah mencegah seseorang merugikan orang lain. Maka, sistem ekonomi syariah tidak akan membiarkan eksistensi sektor nonriil menjadi bagian instrumen kebijakan. Sebab, sektor ini tidaklah nyata, hanya bermain pada spekulasi nilai tertentu, sehingga rentan terhadap guncangan."
Oleh. Witta Saptarini, S.E
NarasiPost.Com-Belajar dari realitas ilmu ekonomi klasik, sesungguhnya telah menyadarkan kita. Bahwasanya, sistem ekonomi dan keuangan konvensional sangat kental akan nuansa paham kapitalis. Hal ini menandakan kuatnya eksistensi ideologi kapitalisme yang kini merajai tatanan kehidupan. Kendatipun demikian, sistem ekonomi konvensional yang selama ini diaplikasikan banyak negara di dunia, tidak hanya merugikan tetapi juga membahayakan umat manusia. Faktanya, tidak berorientasi pada kepentingan komunal.
Melirik perkembangan ekonomi syariah, saat ini bisa dikatakan sebagai masa keemasannya, terutama di Indonesia. Mengacu data yang dirilis oleh “The State of Global Islamic Economy Indicator Report,” pada tataran global baik keuangan dan kegiatan ekonomi berbasis syariah, keduanya semakin menunjukkan popularitasnya dalam rentang waktu kurang lebih dari 21 tahun. Sehingga, peringkatnya kini melampaui keuangan konvensional. Menyadari hal ini, Presiden Joko Widodo ingin menjadikan Indonesia sebagai leading sector ekonomi syariah dan industri halal dunia. (kompas.com, 20/10/21)
Tidak dimungkiri, bahwa sistem ekonomi syariah adalah energi baru dalam pertumbuhan ekonomi nasional, serta sebagai bentuk pengakuan atas bukti sejarah peradaban Islam. Satu-satunya sistem ekonomi yang mampu bertahan dalam berbagai kondisi, termasuk kondisi extraordinary seperti saat ini. Perlu kita cermati, hal ini telah mengungkap jati diri sistem kapitalisme yang tidak memiliki sistem ekonomi yang andal, alias tidak memiliki mekanisme pendanaan yang kokoh untuk menjamin stabilitas ekonomi.
Ekonomi Syariah Mendunia dalam Cengkeraman Kapitalisme Hanyalah Ilusi
Pada praktiknya, karakteristik ekonomi syariah saat ini identik dengan sistem ekonomi kapitalis. Tampak pada terminologi yang berbeda, namun secara garis besar tak sejalan dengan prinsip-prinsip syariah yang ditetapkan. Sehingga, paham yang menempatkan keuntungan di atas segalanya ini menjadi pendorong bagi kaum kapitalis memandang potensi masyarakat sebagai sumber meraup pundi-pundi uang.
Sistem kapitalisme memberi ruang lebih pada individu. Namun, memberikan batasan pada ruang politis. Kebebasan diberikan seluas-luasnya kepada setiap individu untuk mengelola ekonominya. Karena itu, pasar tidak boleh diatur negara, melainkan hanya diatur oleh mekanisme pasar itu sendiri. Artinya, pasar dibiarkan mengatur kondisinya secara natural. Dalam sistem ekonomi kapitalis, harga tidak boleh diintervensi pemerintah, sehingga individu diberi hak penuh menentukan harga. Oleh sebab itu, disebut juga sebagai sistem persaingan bebas. Siapa pun bisa menempati posisi yang paling unggul, begitu juga sebaliknya. Maka, apa pun yang dihasilkan oleh seseorang adalah mutlak miliknya, tak ada porsi bagi hak-hak sosial.
Oleh sebab itu, prinsip dan tujuan ekonomi syariah dalam cengkeraman kapitalis menjadi bias. Tak lain, sekadar menstabilkan denyut nadi perekonomian serta pertumbuhannya demi mengedepankan kepentingan individu dan kaum borjuis, tanpa memikirkan hak publik. Walhasil, ekonomi syariah pun menjelajah sektor nonriil, seperti saham, investasi, bunga, bursa efek, pasar bebas, sebagai ciri instrumen kapitalis yang dijadikan tumpuan ekonomi.
Ide dasar sistem kapitalisme lahir dari teori ekonomi klasik Adam Smith. Menurutnya, setiap individu memiliki kuasa penuh untuk mengelola harta dan sumber ekonomi menurut cara yang dikehendaki tanpa memikirkan hak-hak sosial. Secara garis besar, mengedepankan penumpukan modal dengan cara besar-besaran dan mampu menembus sistem perekonomian negara maju. Sehingga, modal adalah senjata mumpuni bagi sistem kapitalis yang mampu melengserkan posisi Sang Penguasa kehidupan, yakni Allah Swt. Tak ayal, “No money, no service” menjadi slogan yang pantas disematkan pada mekanisme pelayanan ala kapitalis yang kental bernapaskan komersial.
Syariah versi kapitalisme mungkin saja mendunia, berkat kolaborasi apik korporat dan penguasa yang berperan di balik suksesnya, demi mendulang keuntungan dan angan melanggengkan eksistensi sistemnya. Sekalipun, niscaya tidak akan bertahan lama dan tidak membawa maslahat. Sementara, lagi-lagi dipastikan rakyat menjadi incaran terkaman para kapitalis demi memuluskan kepentingannya. Ibarat lintah tak kenyang-kenyang mengisap darah.
Sungguh, semua berpangkal dari keserakahan kapitalis yang tumbuh subur dalam habitat demokrasi. Tak heran, kebijakan pemerintah mendorong Indonesia sebagai pusat ekonomi syariah dunia, terlahir dari paradigma kapitalis sekuler. Dengan hawa nafsu tanpa melihat dasar dalil-dalil syariat yang mengaturnya, menjadikan apa pun potensi yang meraup keuntungan sebagai peluang dan manfaat mengatasi perekonomian yang kolaps. Besarnya potensi umat Islam tidak diarahkan untuk menerapkan syariat Allah secara menyeluruh. Maka, berkiblat pada ekonomi syariah versi kapitalisme, jelas berkiblat pada arah yang salah.
Perlu kita sadari, sistem ekonomi Islam dan sistem ekonomi kapitalis memiliki perbedaan secara konsep dan penerapannya, yakni bagaimana cara perolehan harta, pengelolaan dan pengalokasiannya. Seperti firman Allah Swt., “ Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam?” (QS. Al Mutaffifin [83] : 1-6)
Oleh karena itu, prinsip dan tujuan ekonomi syariah versi kapitalis bertentangan dengan tata nilai Islam yang sebenarnya. Sehingga, peluang mendunianya ekonomi syariah selama dalam cengkeraman kapitalisme, hanya menjadikannya sebatas angan belaka, bahkan menempatkannya sebagai korban kapitalisasi ekonomi syariah
Ekonomi Syariah Tampil Mendunia dalam Naungan Khilafah
Tidak dinafikan, ekonomi Islam hadir lebih dulu sejak zaman Nabi Muhammad saw. Artinya, prinsip-prinsip beserta asasnya telah beliau bawa dan wajib dijadikan role model dalam kehidupan. Sebab, ekonomi adalah bagian integral dari ajaran Islam. Dengan tuntunan Al-Qur’an dan As-Sunah, perekonomian dalam Islam harus memenuhi aspek akidah, akhlak, dan juga syariat. Oleh sebab itu, ekonomi syariah merupakan syariat yang mengikut dari Islam itu sendiri. Di mana tujuan fundamentalnya yakni Maqashid al Syariah. Artinya, untuk memperoleh kemaslahatan umat yang dikenal sebagai falah, mencakup kemakmuran, kesejahteraan, dan kemenangan.
Ekonomi syariah tegak di atas tauhid. Maka implikasi dari tauhid, yaitu Allah memiliki peran yang absolut dalam aspek ekonomi secara integral, yang akan menghantarkan kepada maqashid syariah, ‘An-Nisbah Jurnal Ekonomi Syariah’. Menurut Imam Al-Ghazali, untuk mewujudkan maqashid syariah ada hal-hal yang harus dicapai di antaranya, penjagaan terhadap jiwa, akal, keturunan, harta, dan iman. Tentunya, disertai elemen regulasi yang sahih yaitu, pengharaman riba, penerapan sistem keuangan berbasis Baitul Mal, menciptakan sistem moneter berbasis emas dan perak, pelarangan garar, penghapusan yang haram, penataan ulang kebijakan fiskal secara berkala.
Pada prinsipnya sistem ekonomi syariah mencegah seseorang merugikan orang lain. Maka, sistem ekonomi syariah tidak akan membiarkan eksistensi sektor nonriil menjadi bagian instrumen kebijakan. Sebab, sektor ini tidaklah nyata, hanya bermain pada spekulasi nilai tertentu, sehingga rentan terhadap guncangan. Selain itu, hukumnya pun haram karena berbalut praktik riba. Islam pun menutup rapat pintu pasar bebas tanpa batas, untuk mencegah terjadinya hal-hal yang merugikan, kezaliman, ketidakadilan, dan pelanggaran syariat, disebabkan tidak melibatkan peran negara di dalamnya. Kendatipun demikian, Islam memberikan kebebasan pada setiap individu untuk bermuamalah dengan pihak lain. Dengan catatan, sesuai dengan prinsip hukum Islam, serta ada peran negara yang menjaga dari pelanggaran syariat.
Itulah gambaran eksistensi peran pemerintah dalam Islam. Wujud kesadarannya akan konsekuensi menjalankan kewajiban, yang kelak akan dipertanggungjawabkan di akhirat. Pun, menjadikan rasul sebagai panutan atas apa yang telah beliau contohkan. Sehingga, menghantarkannya pada penerapan syariah yang benar. Bahkan, menjadikannya pusat gravitasi ekonomi syariah dunia. Bukan sekadar kontekstual, hanya mengambil nilai inti sari penerapan syariah yang dipandang sesuai dengan regulasi hari ini.
Islam adalah agama rahmatan lil a’lamin. Oleh karena itu, ekonomi syariah tidak bersifat eksklusif untuk umat Islam saja. Tentu, semua akan terwujud sempurna manakala ajaran Islam dilaksanakan secara komprehensif, dalam konteks negara yang melandaskan sistem pemerintahannya berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunah, yaitu Khilafah. Saat itulah, ekonomi syariah akan tampil mendunia bersama Khilafah. Maka, Allah akan menurunkan berkah dan kemaslahatan bagi negara serta rakyatnya. Seperti firman Allah Swt., “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al A’raf [7] : 96 )
Wallahu a’lam bish-shawwab[]