"Agenda moderasi beragama dapat melahirkan pemahaman di tengah masyarakat bahwa yang tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan pemerintah, khususnya Kemenag, maka mereka adalah pihak yang intoleran dan layak untuk “dimusuhi”. Kencangnya implementasi agenda ini akan mampu memberikan kesempatan pada Barat dan pendukungnya untuk mengeksploitasi kelemahan kaum muslimin, sebagaimana tujuan dilakukannya strategi Devide et Impera atau politik belah bambu."
Oleh. Iranti Mantasari, BA.IR, M.Si
(Kontributor Tetap NarasiPost)
NarasiPost.Com-Sudah dua dekade berlalu sejak 11 September 2001, umat Islam hari ini masih menjadi bulan-bulanan Barat dan kaki tangannya di berbagai belahan dunia. Banyak sekali narasi dan agenda yang mereka lakukan, khusus diperuntukkan kepada kaum muslimin, baik dengan menggunakan metode konvensional yakni memerangi secara fisik, maupun metode kontemporer dengan memerangi umat dengan racun-racun pemikiran yang tak kalah efek merusaknya. Hal ini disebabkan karena momentum 9/11 tersebut telah menjadi batu loncatan kebijakan luar negeri AS, terlebih kepada dunia Islam dan kaum muslimin secara umum.
Dimulai dengan kebijakan GWOT atau Global War on Terrorism, AS menandai perjalanannya dalam menempatkan Islam sebagai rivalnya yang harus digencet. Narasi melawan terorisme digaungkan sebagai legitimasi untuk menginvasi negeri-negeri kaum muslimin, seperti Irak dan Afganistan. Hingga hari ini, cabang dari kebijakan luar negeri tersebut sudah tampak dalam narasi yang lebih “lunak”, yakni melawan radikalisme dan fundamentalisme, yang dalam definisi mereka agak sedikit berbeda dengan terorisme, karena radikalisme dan fundamentalisme tidak selamanya berujung pada aksi teror.
Di antara sekian banyak manifestasi kebijakan terkait deradikalisasi dan kontra fundamentalisme ini, salah satunya adalah dengan menggalakkan moderasi beragama, dengan harapan, agama yang lebih moderat (khususnya Islam), akan mampu menjadikan dunia dan hubungan manusia di dalamnya lebih damai dan toleran. Tak lupa juga, lebih “ramah” terhadap Barat, lengkap dengan nilai-nilai dan agenda-agenda yang mereka usung.
Pengarusutamaan Moderasi Beragama di Indonesia
Beberapa waktu terakhir telah menjadi saksi bahwa agenda ini semakin serius dan gencar disebarluaskan oleh berbagai pihak, terutama oleh penguasa ke berbagai jajaran di bawahmya. Mulai dari hebohnya pidato singkat seorang figur publik wanita yang mendukung agenda moderasi beragama, banyaknya pernyataan Menteri Agama yang mengandung kontroversi, hingga penyebaran materi moderasi beragama di banyak sekolah khususnya yang ada di bawah naungan Kementerian Agama.
Moderasi beragama mulai digalakkan karena konon sikap intoleransi dan ekstrem dalam menjalankan agama di kehidupan sehari-hari mulai meningkat beberapa tahun terakhir. Merujuk pada laman resmi Kemenag, moderasi beragama didefinisikan sebagai cara pandang, sikap dan praktik beragama dalam kehidupan bersama dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama yang melindungi martabat kemanusiaan dan menjadikan prinsip adil sebagai landasan kemaslahatan, berimbang dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan berbangsa. Selain memberikan definisi, Kemenag juga telah menetapkan indikator keberhasilan moderasi beragama dengan tingginya empat aspek, yaitu komitmen kebangsaan (penerimaan terhadap prinsip-prinsip berbangsa yang tertuang dalam konstitusi UUD 1945 dan regulasi di bawahnya); toleransi (menghormati perbedaan dan memberi ruang orang lain untuk keyakinan, mengekspresikan keyakinan, menyampaikan pendapat, menghargai kesetaraan dan bersedia bekerja sama); antikekerasan (menolak tindakan seseorang atau kelompok tertentu yang menggunakan cara-cara kekerasan fisik maupun verbal dalam mengusung perubahan yang diinginkan); dan penerimaan terhadap tradisi (ramah dalam penerimaan tradisi dan budaya lokal dalam perilaku keagamaannya, sejauh tidak bertentangan dengan ajaran pokok agama).
Moderasi Beragama Rasa Liberalisasi Beragama
Ada bahaya yang teramat sangat apabila moderasi beragama ini dibenarkan oleh umat Islam, terlebih bila agenda ini tidak dipahami secara utuh. Bagaimanapun definisi yang ditetapkan oleh instansi atau pihak lainnya tentang moderasi beragama, akar dan latar belakangnya tetap tidak bisa dipisahkan dari adanya hadharah gharbiyah atau peradaban Barat di dalamnya. Hadharah gharbiyah ini mewujud dalam ide, wacana, hingga agenda yang memang sudah dijalankan oleh Barat selama ini yang tentu sarat dengan liberalisme.
Prof. Hamid Fahmy Zarkasyi, dalam bukunya “Misykat” menyampaikan bahwa moderat sejatinya bukanlah bahasa Islam. Hal ini ditunjukkan dengan definisi yang masyhur dipegang oleh kalangan di Barat bahwa moderat adalah yang tidak antibangsa semit, menentang kekhalifahan, kritis terhadap Islam, menganggap Nabi bukan contoh yang perlu ditiru, menentang jihad, menentang supremasi Islam, pemerintah sekuler, pro atau netral terhadap Israel, tidak bereaksi ketika Islam dan Nabi Muhammad dikritik, menentang pakaian Islam, menentang syariat, menentang terorisme serta pro-humanisme universal. Bahkan di bukunya yang lain, “Minhaj”, Prof. Hamid mengungkap intelektual Barat lainnya memaknai moderat sebagai menerima humanisme, demokrasi, feminisme, serta pluralisme.
Dari dua definisi terkait moderat itu saja, sudah sangat jelas apa yang ingin disasar oleh agenda ini terhadap keberadaan umat Islam, yaitu hendak menanggalkan identitas keislamannya di publik dan menundukkannya di bawah value atau nilai yang diusung oleh Barat. Bukankah ini adalah bentuk penggadaian akidah? Selain itu, narasi pluralisme agama juga sangat lekat dalam agenda ini.
Pernyataan-pernyataan seperti, “semua agama adalah sama di mata Tuhan, maka kita harus menghormati semua agama dan pemeluknya”, “kebenaran tidak hanya milik satu agama”, dan seterusnya, merupakan bukti yang jelas akan menonjolnya ide relativisme dalam “agenda nasional” ini.
Di sisi yang lain, aspek toleransi yang digadang-gadang harus tinggi –berdasarkan standar yang mereka buat- juga tak lepas dari bias. Makna toleransi pada dasarnya hanya berlaku bagi yang sejalan dan mendukung ide-ide liberal tersebut, karena ternyata toleran dan menghormati perbedaan itu tidak berlaku bagi kaum muslimin yang menyuarakan penegakan syariat dalam setiap sendi kehidupan. Wacana terselubung ini haruslah dipahami bukan hanya sebagai “memoderasi” pemahaman dan pengalaman beragama sebagaimana yang mereka gaungkan, melainkan lebih jauh merupakan agenda membebaskan umat Islam dalam menjalankan agama sesuai dengan tafsir dan pemahamannya sendiri tanpa didasari landasan yang sahih dan rajih.
Moderasi Beragama dan Devide et Impera
Indonesia adalah salah satu negara yang pernah mencicipi bagaimana rasanya menjadi objek strategi Devide et Impera atau yang lebih akrab disebut politik belah bambu atau pecah belah. Strategi ini sudah dikenal sejak berabad yang lalu. Devide et Impera didefinisikan sebagai sebuah taktik atau strategi yang dijalankan oleh aktor yang memiliki kemampuan superior terhadap aktor yang inferior daripadanya untuk meraih kepentingan dari aktor superior tersebut. Aktor pengusung imperialisme juga biasa memakai strategi ini terhadap wilayah yang hendak dikuasai.
Ada empat langkah umum yang biasa digunakan oleh pihak yang memanfaatkan strategi Devide et Impera ini, yakni 1) menciptakan perbedaan-perbedaan pada populasi rakyat yang sudah ditaklukkan; 2) memperbanyak jumlah perbedaan yang sudah ada; 3) menggali atau mengeksploitasi perbedaan tersebut demi keuntungan kekuatan penjajah; 4) melakukan politisasi perbedaan.
Disadari ataupun tidak, agenda moderasi beragama lekat sekali sebagai implementasi dari strategi pecah belah. Hal ini semakin dikuatkan juga dengan dokumen yang dikeluarkan oleh RAND Corporation yang berjudul “Building Moderate Muslim Networks” atau “Membangun Jaringan Muslim Moderat”. Di dalamnya, RAND memberikan masukan kepada pemerintah AS untuk membangun jaringan ini dan menghubungkan berbagai upaya terkait agar sejalan dengan strategi dan program-program AS. Mereka juga mengidentifikasi, siapa saja pihak yang dapat mereka rangkul dan yang perlu “dipukul”. Kalangan sekuler, muslim liberal, dan kelompok tradisionalis moderat adalah tiga pihak yang strategis untuk mereka jadikan sebagai mitra.
Adapun kelompok fundamentalis dan radikalis jelas menjadi pihak yang harus mereka pukul karena tidak sesuai dan atau menolak berbagai nilai dan agenda yang diusung oleh Barat.
Pengarusutamaan moderasi beragama berpotensi memperbesar celah dan polarisasi yang memang sudah ada di tengah kaum muslimin, khususnya di Indonesia. Hal ini disebabkan karena agenda moderasi beragama dapat melahirkan pemahaman di tengah masyarakat bahwa yang tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan pemerintah, khususnya Kemenag, maka mereka adalah pihak yang intoleran dan layak untuk “dimusuhi”. Kencangnya implementasi agenda ini akan mampu memberikan kesempatan pada Barat dan pendukungnya untuk mengeksploitasi kelemahan kaum muslimin, sebagaimana tujuan dilakukannya strategi Devide et Impera atau politik belah bambu.
Sikap Kaum Muslimin atas Agenda Moderasi Beragama
Jika moderat bukanlah bahasa Islam, maka umat perlu memahami apa istilah yang tepat untuk hal ini. Di dalam Al-Qur’an surat Al Baqarah ayat 143 Allah Swt. berfirman,
وَكَذَٰلِكَ جَعَلۡنَٰكُمۡ أُمَّةٗ وَسَطٗا لِّتَكُونُواْ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِ وَيَكُونَ ٱلرَّسُولُ عَلَيۡكُمۡ شَهِيدٗا
“Demikian pula Kami telah menjadikan kalian (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian.”
KH. Hafidz Abdurrahman memberikan penjelasan terkait istilah “ummatan wasathan” ini, yakni hampir seluruh mufassir menyepakati makna “ummatan wasathan” sebagai umat yang adil, dan sebagian lainnya memaknainya sebagai pilihan (terbaik). Selain itu, jika tafsir dari berbagai ulama digabungkan, maka disimpulkan bahwa istilah ummatan wasathan ini merujuk pada tiga hal: 1) umat yang adil; 2) umat pilihan atau terbaik; 3) moderat atau pertengahan.
Adapun terkait makna yang ketiga, maka moderat bukan seperti yang dimaknai secara liberal oleh Barat atau yang mendukung nilai-nilai Barat. Imam at Thabari menjelaskan tentang kata “al-wasath” bahwa moderat dalam beragama berarti, tidak ekstrem layaknya kaum Kristen dalam beragama dan menjadi pendeta, kemudian membuat mereka mengatakan bahwa Nabi Isa as. adalah anak Allah; atau tidak bersikap meremehkan agama seperti kaum Yahudi dengan mengubah-ubah isi kitab Allah, membunuh nabi-nabi yang diutus kepada mereka, mendustakan Tuhan mereka, dan mengingkari-Nya. Namun, umat Islam berbeda dari keduanya karena kaum muslimin adalah umat umat yang moderat dan tengah-tengah. Allah Swt. yang memberikan sifat ini kepada kaum muslimin. Beliau juga menyampaikan bahwa perkara yang paling dicintai oleh Allah Swt. adalah yang tengah-tengah, serta takwil dari kata “al-wasath” bermakna adil.
Dengan demikian, umat yang hari ini tidak memiliki perisai yang akan menjaga nyawa, kehormatan termasuk pemikirannya harus benar-benar paham akan kerusakan apa yang dapat ditimbulkan oleh agenda di balik moderasi beragama. Hal ini urgen dikarenakan agenda moderasi beragama ditegakkan dalam skala nasional, mulai dari hulu hingga ke hilir, termasuk ke sekolah hingga pesantren yang anak-anak kaum muslimin menuntut ilmu di dalamnya.
Para pengemban dakwah juga harus lebih mengencangkan ikat pinggang dalam mendakwahkan Islam serta mengedukasi umat akan bahaya agenda ini dan ide-ide racun lainnya. Umat Muhammad harus jelas akan hidden agenda di baliknya, bahwa muara dari seluruh agenda asing ini adalah agar umat dikaburkan pemahamannya terkait bagaimana menjalankan agama yang benar menurut Islam. Ketidakpahaman terhadap hal ini berimbas pada menyebarnya paham pluralisme agama yang sangat mengikis akidah, terjadinya desakralisasi syariah, dan pamungkasnya adalah khilafah sebagai ajaran Islam dikriminalisasi dan dijadikan sebagai common enemy atau musuh bersama.
Barat yang membungkus niat buruk mereka terhadap umat Islam menggunakan berbagai strategi, termasuk melalui kaki tangan dan antek-anteknya di berbagai belahan dunia dalam mengarusutamakan kebatilan. Strategi-strategi tersebut, apa pun bentuknya, harus terungkap dan dapat diindra oleh kaum muslimin, sehingga kewaspadaan terhadapnya juga meningkat. Di sinilah urgensi bagi du’at ilallah untuk menggali pemikiran yang rusak dan merusak, memahami berbagai taktik yang mereka gunakan untuk menyebarluaskannya dan mentransfernya kembali dengan bahasa yang sesuai kadar dan dapat dipahami oleh umat. Wallahu a’lam bisshawwab.[]