"Begitulah sekularisme terbentuk dalam diri anak-anak hingga dewasa. Mereka tidak akan sungguh-sungguh merawat orang tua mereka. Bisa jadi mereka mengetahui ayat al Qur'an surat Isra ayat 23 tentang perintah Allah Swt. untuk berbakti kepada orang tua. Namun itu hanya sebatas pengetahuan tanpa pengamalan."
Oleh. Ummu Wildan
NarasiPost.Com-Negeri ini akrab dengan cerita Malin Kundang. Harapan pendongeng tentu saja agar anak-anak berbuat baik kepada orang tua mereka. Sayangnya kutukan menjadi batu bukanlah sesuatu yang menakutkan bagi orang-orang yang hidup di zaman ini. Cerita tinggallah cerita, kenyataan menunjukkan sebaliknya.
Ibu Trimah, perempuan berusia 65 tahun asal Magelang diserahkan ke panti jompo di Malang oleh tiga anaknya karena merasa tak sanggup merawat. Bahkan dalam surat keterangan yang beredar di media sosial, ketiganya sepakat bahwa ketika sang ibu meninggal mereka menyerahkan seluruh prosesi jenazah beliau untuk diurus oleh pihak panti.
Sementara itu, pada tahun 2020, di Kecamatan Meuraxa, Aceh, seorang pria lansia meregang nyawa sendirian, jauh dari rumahnya. Sebelum meninggal beliau menyebutkan bahwa dia telah dibuang oleh anak-anaknya.
Dalam kehidupan kapitalis sekuler, hubungan anak dengan orang tua seperti ini sangat dimungkinkan terjadi. Hubungan dibangun dengan asas pemisahan agama dari kehidupan. Agamanya hanya berkaitan dengan ibadah ritual semata. Kebahagiaan pun dipandang dari segi materi. Ketika suatu hal dipandang menguntungkan, maka akan diperjuangkan. Namun ketika hal tersebut dipandang tak menghasilkan keuntungan, bahkan menjadi beban maka wajar saja dilepaskan.
Merawat orang tua lansia memerlukan pengorbanan. Kekuatan tubuh mereka melemah, bahkan mungkin memerlukan bantuan orang lain untuk melakukan berbagai aktivitas harian seperti makan, mandi, hingga buang hajat. Lansia pun sudah tidak bisa lagi bekerja, bahkan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Kurva kehidupan kembali menurun menuju titik terendah setelah sebelumnya menanjak dari bayi hingga dewasa. Sebagaimana firman Allah Swt, “Dan barangsiapa kami panjangkan umurnya niscaya Kami kembalikan dia kepada awal kejadian. Maka mengapa mereka tidak mengerti?” (QS. Yazin:68)
Orang dengan kacamata kapitalis sekuler akan melepaskan hubungan mereka dengan lansia. Lansia yang tidak bisa lagi diharapkan tenaga maupun hartanya hanya akan menjadi beban tambahan bagi anak-anak mereka, apalagi bagi yang sudah berkeluarga. Maka, pilihan yang seakan manusiawi bagi mereka adalah menitipkan orang tua ke panti jompo.
Namun anak adalah hasil didikan orang tua pula. Dulu mereka pun dibesarkan secara kapitalis sekuler. Anak diajarkan untuk mengejar kebahagiaan dunia. Mereka dibanggakan ketika juara ataupun bisa bekerja. Namun, hubungan dengan Allah Swt hanya diajarkan tentang ibadah ritual semata. Anak diajarkan keutamaan salat dan mengaji hanya untuk membuka pintu rezeki semata. Mereka tidak diajarkan bahwa ketika jajan harus diperhatikan tentang halal dan toyyibnya. Mereka diajarkan disiplin agar bisa menjadi maju seperti orang Jepang, bukan karena Allah Swt mencintai orang yang memenuhi akad.
Begitupun di sekolah, anak-anak mendapatkan pendidikan agama yang minim. Itu pun lebih banyak pembelajaran tentang ibadah ritual. Pembelajaran tentang siapa yang layak disembah, dan kemudian layak dikejar keridaannya, kalaupun diajarkan biasanya bersifat doktrin. Anak-anak tidak mendapatkan pembelajaran yang menuntun mereka membuktikan sendiri adanya Sang Pencipta dan kesempurnaan aturan-Nya. Proses yang jika dijalankan bisa menuntun perilaku harian mereka untuk tunduk pada aturan Sang Pencipta.
Begitulah sekularisme terbentuk dalam diri anak-anak hingga dewasa. Mereka tidak akan sungguh-sungguh merawat orang tua mereka. Bisa jadi mereka mengetahui ayat al Qur'an surat Isra ayat 23 tentang perintah Allah Swt. untuk berbakti kepada orang tua. Namun itu hanya sebatas pengetahuan tanpa pengamalan. Bisa jadi pula, ayat itu tak pernah terbaca; berada di dalam lemari kaca yang terkunci.
Bisa jadi pula tak sedikit orang yang awam akan celaan Rasulullah Saw. terhadap anak yang melalaikan orang tuanya yang lansia. Sebagaimana disebutkan dalam hadis, “Dari Abu Hurairah ra. , Nabi saw. bersabda, “Sungguh terhina, sungguh terhina, sungguh terhina.” Ada yang bertanya, “Siapa, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, ”(Sungguh hina) seorang yang mendapati kedua orang tuanya yang masih hidup atau salah satu dari keduanya ketika mereka telah tua, namun justru ia tidak masuk surga.”(HR. Muslim)
Begitu pun negara tak ambil pusing dengan rakyat yang melalaikan kewajibannya. Ketika kasus Ibu Trimah mencuat ke permukaan pun yang muncul untuk berusaha menenangkan sang ibu adalah rakyat, bukan pemerintah. Namun, Ibu Trimah hanyalah puncak gunung es, terangkat ke media berkat bantuan pihak lain yang memviralkan.
Hal ini sangat berbeda dengan pemerintahan yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. Dalam Islam, pemerintah adalah laksana penggembala. Mereka akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya. Dengan demikian, pemerintah berkewajiban untuk memahamkan rakyat agar memahami tanggung jawab mereka. Ketika rakyat tidak mampu melaksanakan kewajiban karena kemiskinan, maka pemerintah berkewajiban untuk menyediakan lapangan pekerjaan yang layak. Jika rakyat melalaikan tanggung jawab karena keengganan, pemerintah akan memaksa hingga menetapkan hukuman yang jera.
Sungguh, sebuah kemuliaan ketika anak-anak berbakti. Surga balasan yang menanti. Orang bahkan ‘dipaksa’ masuk surga dengan penerapan syariat Islam. Alhasil, orang tua mendidik anak untuk taat kepada Allah Swt. Anak pun berbakti kepada orang tua karena ketaatan kepada Allah Swt. Adapun pemerintah memikul tanggung jawab sebagai gembala seperti yang diperintahkan oleh Allah Swt.[]