"Upaya musuh Islam merekayasa dengan bantuan rezim, untuk menggiring opini agar ide Khilafah dimasukkan pada kajian tarikh/sejarah an sich, nyatanya belum berhasil. Kali ini apa yang diungkapkan oleh Menag, bahwa perlu adanya rekontekstualisasi fikih karena mengikuti perkembangan zaman, benar-benar bahaya yang sangat besar bagi umat."
Oleh. Sherly Agustina, M.Ag
(Penulis dan pemerhati kebijakan publik)
NarasiPost.Com-Di dalam buku Hafidz Abdurrahman, fikih yaitu kumpulan hukum perbuatan cabang yang digali dari dalil-dalil kasus per kasus. (Ushul Fikih, hlm. 8). Para ulama menggali (mengistinbath) dalil dari Al-Qur'an dan hadis, bukan berdasar pada akal semata, seperti para filosof. Jika terjadi rekontekstualisasi fikih, apakah maksudnya menggunakan Al-Qur'an dan hadis sesuai hawa nafsu?
Telah digelar acara tahunan Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) 2021 di Surakarta, yang dikenal dengan konferensi pendidikan Islam. Dilansir dari detik.com, Menag, Yaqut Cholil Qoumas membuka acara AICIS dan mengatakan bahwa akademisi memiliki peran penting dalam merekontekstualiasi konsep fikih ntuk menyesuaikan keadaan zaman yang terus berubah (25/10).
Berbagai narasi dari musuh Islam terus diembuskan, agar umat Islam terpecah dan tidak mudah bersatu. Dibuat istilah atau labeling, Islam moderat, radikal, dan tradisional. Hingga umat Islam digiring agar menjadi moderat dengan dalih inklusif dan tidak kaku. Sementara yang menolak Islam moderat, diposisikan radikal serta harus diperangi.
Sekularisme Akut Meracuni Umat Islam
Namun, umat masih ada yang mau berpikir mana yang benar dan bagaimana harus bersikap. Walau labeling radikal terus digaungkan bagi yang taat syariat (tidak moderat) dan mendapat perlakuan tidak adil di mata hukum. Seiring berjalannya waktu, pertolongan Allah kian terasa dengan semakin meluasnya ide Khilafah di tengah-tengah umat. Musuh Islam kebakaran jenggot hingga otaknya berputar terus, bagaimana caranya menggagalkan kebangkitan umat Islam.
Kini, ide moderasi beragama dianggap cara yang cukup ampuh sebagai realisasi dari sekularisme yang ditancapkan musuh Islam di Indonesia. Berbagai pelatihan moderasi beragama dilakukan di berbagai segmen mulai dari kalangan pendidik, pesantren, majlis taklim, dan sebagainya. Acara yang dikenal dengan konferensi pendidikan Islam (AICIS) pun ditunggangi racun yang mematikan bagi umat Islam. Musuh tahu bahwa ide Khilafah adalah bagian dari fikih Islam yang disepakati oleh para ulama dan tak pernah ada perbedaan pendapat tentangnya.
Upaya musuh Islam merekayasa dengan bantuan rezim, untuk menggiring opini agar ide Khilafah dimasukkan pada kajian tarikh/sejarah an sich, nyatanya belum berhasil. Kali ini apa yang diungkapkan oleh Menag, bahwa perlu adanya rekontekstualisasi fikih karena mengikuti perkembangan zaman, benar-benar bahaya yang sangat besar bagi umat. Bagaimana umat tahu yang halal dan haram, jika yang menggali hukum dari Al-Qur'an dan hadis mengikuti hawa nafsu dan akal saja?
Nyata, sekularisme telah meracuni umat Islam hingga ke akar-akarnya. Umat tidak bisa tinggal diam, manakala fikih diobrak-abrik, nas harus mengikuti perkembangan zaman. Jika hukum berubah sesuai dengan waktu dan zaman, bukankah itu menunjukkan bahwa Allah adalah lemah sebagai Pencipta? Kalau demikian, maka keimanan seorang hamba diragukan. Sebagai Pencipta, Allah lebih tahu apa yang terbaik untuk ciptaan-Nya di seluruh dunia, dulu atau pun sekarang. Aturan itu tertuang di dalam Al-Qur'an dan hadis, tugas ulama menggali dalil dan hukum dari nas tersebut.
Sesungguhnya permasalahan manusia dari dulu hingga kini tetap sama, yaitu bagaimana manusia bisa memenuhi kebutuhan jasmani dan naluri yang Allah berikan (potensi hidup). Adapun jenis atau cara pemenuhan potensi itu yang kian hari kian berkembang. Dahulu cara memenuhi kebutuhan jasmani, makan misalnya, cukup dengan nasi, tahu dan tempe saja. Sekarang, berkembang berbagai jenis makanan yang dibuat dengan teknik yang beragam pula.
Rekontekstualisasi Fikih Bahaya, Harus Ditolak!
Hukum mencuri di dalam Islam, dari dulu hingga sekarang sama, yaitu potong tangan (QS. al Maidah: 38). Karena termasuk perkara had (huduud) yang hukumnya sudah ditetapkan di dalam Al-Qur'an. Namun, ada penjelasannya rinci dari para ulama bahwa hukum potong tangan bagi pencuri tidak langsung diterapkan begitu saja. Misal, apakah mencurinya terpaksa karena untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kalau iya, maka tugas pemimpin untuk lebih optimal memperhatikan rakyatnya agar tidak terjadi perilaku mencuri. Selain itu, ada batas minimal atau nishab ketentuan potong tangan bagi pencuri. Seperti yang Rasulullah sampaikam dalam sebuah hadis, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menghukum potong tangan terhadap pencurian perisai yang senilai tiga dirham [HR. Muslim:1687), Tirmidzi (1446)]
Nishabnya 3 dirham, ketentuan potong tangan diberlakukan. Jadi, tidak langsung setiap pencuri dipotong tangannya. Ditambah ada dua orang saksi yang adil, muslim, berakal dan merdeka. Apabila para ulama tidak menjelaskan secara detil ketentuan ini, maka umat tidak tahu apa yang harus dilakukan ketika ada pencuri dan membaca ayat tentang hukum potong tangan bagi pencuri. Bukankah hasil penggalian hukum ini hanya berdasar wahyu semata, bukan akal yang mengada-ada dan berdasar nafsu semata? Di zaman serba modern, dengan dalih terus berkembang dan Islam itu inklusif serta universal, lantas hukum bagi pencuri jadi berubah?
Ingat pada satu kaidah Ushul fikih, bahwa "hukum tidak berubah dengan berubahnya waktu dan tempat."
Bagi seorang muslim yang lurus, pasti berpikir rekontekstualisasi fikih adalah suatu musibah besar bagi umat. Dikhawatirkan terjadi penyelewengan hukum yang tidak sesuai dengan apa yang sudah digali (istinbath) oleh para ulama, terutama tak sesuai dengan maksud nas. Umat semakin lebih jauh sejauh-jauhnya dari syariat. Inilah yang diharapkan oleh musuh Islam. Khilafah sebagai bagian dari fikih Islam diberangus ketika rekontekstualisasi fikih terjadi. Dengan alasan menimbulkan bencana bagi umat Islam, karena akan ada banyak pihak yang berebut untuk menguasai umat Islam di seluruh dunia. Khilafah pun dianggap sudah tidak relevan dalam konteks sekarang. Padahal para ulama jelas tak ada perbedaan pendapat tentang Khilafah. Dalam kitab Syarh Shahîh Muslim, Imam an-Nawawi menyatakan:
وَأَجْمَعُوْا عَلَى أَنَّهُ يَجِبُ عَلَى الْمُسْلِمِيْنَ نَصْبُ خَلِيْفَةٍ وَوُجُوْبُهُ بِالشَّرْعِ لاَ بِالْعَقْلِ
"Mereka (para sahabat) sepakat bahwa wajib kaum Muslim mengangkat seorang Khalifah. Kewajibanya itu dinyatakan berdasarkan syariah, bukan berdasarkan akal."
Jika ada khalifah, tentu ada wadah atau institusi yang dipimpinnya, yaitu Khilafah atau sistem pemerintahan Islam. Fakta sejarah telah membuktikannya walau tak dapat dimungkiri pernah terjadi penyelewengan dari para pemimpinnya. Namun, fakta itu tidak lantas membatalkan sejarah bahwa Khilafah itu nyata adanya bukan utopis apalagi distopis.
Bagi siapa saja yang lurus hatinya tentu harus menolak rekontekstualisasi fikih. Umat harus diselamatkan dari ide bahaya ini. Lalu, bagi siapa saja yang melek sejarah (yang benar) akan menerima jejak Khilafah itu ada. Dan ketika saat ini Khilafah tidak ada, umat bagaikan anak ayam yang kehilangan induknya. Mudah ditindas, dibunuh, dizalimi, dijarah dan dieksploitasi sumber daya alamnya karena tak ada lagi perisai yang menjaga umat. Jadi, keberadaan Khilafah bukan saja bagian dari fikih and sich, tetapi sebuah keniscayaan karena janji Allah dan kebutuhan urgent bagi umat saat ini.
Upaya apa pun untuk menghalangi tegaknya Khilafah (janji Allah), bagai menghalangi matahari terbit di pagi hari. Tidak akan pernah bisa untuk dihalangi. Semakin dihalangi, umat akan semakin menunjukkan kekuatannya untuk bersegera menjemput janji dan pertolongan Allah. Karena seorang mukmin semestinya yakin bahwa Allah tidak akan pernah ingkar janji. Surga telah menanti bagi siapa saja yang ikhlas berjuang di jalan Allah. Kitakah di antaranya?
Allahu A'lam bi ash Shawab.[]