Open Marriage, Konsep Pernikahan Jahiliah

"Lalu benarkah open marriage ini mampu menjadi solusi keutuhan rumah tangga? Jelas tidak, karena sejatinya konsep pernikahan seperti ini tidak sesuai dengan fitrah manusia, penuh dengan kemaksiatan dan berisiko menghancurkan peradaban."

Asyifa’un Nisa
(Pegiat Komunitas Literasi Islam dan Pena Langit)

NarasiPost.Com-Istilah “open marriage” kembali diperbincangkan oleh masyarakat sejak September lalu karena pernyataan salah satu aktor terkenal Will Smith ketika diwawancarai oleh GQmagazine. Pernyataan tersebut tentu membawa kontroversi di tengah masyarakat, Will Smith mengungkapkan bahwa pernikahannya dengan Jada Pinkett Smith bukanlah hubungan monogami. Dilansir dari The Sun, Will Smith menyampaikan "Kami telah memberi kepercayaan dan kebebasan satu sama lain, dengan keyakinan bahwa masing-masing orang harus menemukan jalan mereka sendiri, dan pernikahan bagi kita tidak bisa menjadi penjara".
Open marriage sendiri dimaknai sebagai pernikahan di mana pasangan suami istri bersepakat untuk
memperbolehkan pasangan mereka untuk menjalin relasi asmara –bahkan hubungan intim– dengan orang lain di luar pernikahan. Nyatanya open marriage telah menjadi tren di dunia barat yang serba liberal, banyak pasangan mengadopsi hal tersebut dengan alasan kebosanan, kebebasan berperilaku dan semata mencari kepuasan seksual. Menurut mereka pernikahan terbuka ini tidak sama dengan perselingkuhan, karena pasangan yang menjalin hubungan dengan orang lain atas sepengetahuan bahkan kesepakatan dengan pasangan masing-masing. Sehingga mereka berdalih open marriage tidak mengkhianati kesetiaan dengan pasangan.

Mungkinkah tren ini juga menjangkiti masyarakat Indonesia? Tentu sangat mungkin terjadi dengan alasan seperti di atas. Di tengah kondisi liberalisasi kehidupan yang kian masif hari ini, kebebasan yang kebablasan menjadikan manusia bertingkah-laku semaunya sendiri seolah tidak ada aturan baku yang mengatur kehidupan. Kalaupun ada peraturan, itu hanya menjadi formalitas karena aturan tersebut bersumber dari akal manusia yang terbatas. Jika menilik kembali sejarah, ternyata konsep pernikahan seperti ini bukanlah konsep baru yang ditemukan oleh kemajuan peradaban barat, melainkan ia adalah konsep “jahiliah” yang telah diterapkan bahkan sebelum Rasulullah diutus sebagai nabi terakhir penyempurna risalah-Nya. Dahulu di tengah kaum kafir Quraisy telah diterapkan konsep serupa. Dalam kitab Al-Hawi Al-Kabir, karya Imam Al-Mawardi menuturkan, ada empat bentuk pernikahan pada zaman jahiliah, yakni: (1) pernikahan Al-Wilâdah, (2) pernikahan Al-Istibdhâ‘, (3) pernikahan Al-Rahth, dan (4) pernikahan Al-Râyah (lihat: Al-Mawardi, Al-Hâwî Al-Kabîr, jilid 9, hal. 6).

Di antara keempat konsep ini, konsep yang sesuai dengan Islam hanyalah konsep pernikahan Al-Wilâdah, yakni ketika seseorang laki-laki atau seorang pemuda datang kepada orang tua sang gadis untuk melamarnya, kemudian ia menikahinya disertai dengan maharnya. Sedangkan ketiga konsep lainnya hampir serupa dengan konsep open marriage atau open relationship yang hari ini digaungkan sebagai solusi kejenuhan dalam rumah tangga. Pernikahan Al-Istibdhâ‘, di mana seorang istri diminta suaminya dicampuri oleh laki-laki lain yang terpandang, agar memiliki keturunan yang baik. Pernikahan Al-Rahth, yakni sekelompok laki-laki menikahi/menggauli seorang wanita dan ketika hamil, wanita tersebut berhak memilih laki-laki yang diinginkan menjadi ayah sang bayi. Sedangkan pernikahan Al-Râyah, yakni ketika seorang perempuan memasang bendera merah di rumahnya, sebagai tanda siapa pun laki-laki bisa berzina dengannya. Jika hamil dan melahirkan, maka akan ditunjuk seorang di antara mereka dan nasab bayinya dinisbatkan kepada laki-laki tersebut. Maka salah besar jika konsep open marriage dikatakan sebagai bentuk kemajuan, yang ada hanya kemunduran dan kejahiliahan.

Lalu benarkah open marriage ini mampu menjadi solusi keutuhan rumah tangga? Jelas tidak, karena sejatinya konsep pernikahan seperti ini tidak sesuai dengan fitrah manusia, penuh dengan kemaksiatan dan berisiko menghancurkan peradaban. Konsep pernikahan seperti ini tentu banyak menimbulkan kemudaratan. Pertama, ketidakjelasan nasab atas bayi yang mungkin dilahirkan. Kedua, pemicu konflik yang lebih besar karena fitrah manusia tidak akan bahagia melihat pasangannya menjalin asmara dengan orang lain, apalagi jika pasangannya merasa “lebih bahagia” dengan orang lain. Ketiga, memperbesar peluang penyebaran penyakit kelamin, seperti HIV & AIDS. Maka sebagaimana ketiga konsep pernikahan jahiliah diatas, open marriage ini tentu sama-sama merujuk pada upaya legalisasi atau pewajaran atas aktivitas perzinaan dengan dalih kepuasan duniawi semata.

Dalam masyarakat sekuler-liberal hurriyatul jinsiyyah (kebebasan seksual) adalah salah satu prinsip hidup yang menurut mereka wajib untuk dipertahankan dan dikampanyekan di bawah payung hukum (undang-undang) demokrasi. Mereka paham bahwa satu-satunya penghalang atas gagasan kebebasan seksual mereka hanyalah ajaran Islam yang mulia, dengan aturannya yang sempurna dan paripurna. Sebagaimana larangan mendekati zina telah termaktub secara tegas dalam firman Allah Swt.

وَلاَ تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلاً

Janganlah kalian mendekati zina. Sungguh zina itu tindakan keji dan jalan yang buruk.” (TQS. Al-Isra’ [17]: 32).

Bahkan, di dalam hadis Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam juga telah bersabda:

مَا مِنْ ذَنْبٍ بَعْدَ الشِّرْكِ أعْظَمُ عِنْدَ اللهِ مِنْ نُطْفَةٍ وَضَعَهَا رَجُلٌ فِي رَحِمٍ لاَ يَحِلُّ لَهُ

Tidak ada dosa yang lebih besar di sisi Allah, setelah syirik, kecuali dosa seorang lelaki yang menumpahkan spermanya dalam rahim wanita yang tidak halal bagi dirinya.” (HR. Ibnu Abi Ad-Dunya’).
Keharaman perbuatan zina juga dipertegas dengan adanya had/sanksi bagi pelakunya (lihat: QS. An-Nur [24]: 2). Padahal pernikahan adalah suatu bentuk ketaatan dan bentuk ibadah kepada Allah yang pastinya tidak boleh tercampur dengan perkara kemaksiatan. Pernikahan di dalam Islam dipandang sebagai suatu aktivitas yang sangat sakral, bahkan dikatakan sebagai salah satu mitsaqan ghalidzan (perjanjian yang sangat kuat/agung) [lihat: QS. An-Nisa’: 21] yang disejajarkan dengan perjanjian antara Allah dan para rasul (ulul azmi), yakni Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, dan Nabi Muhammad (lihat : QS. Al-Ahzab: 7).

Hanya Islam-lah yang memiliki aturan begitu lengkap tentang pernikahan dan penjagaan atas kesakralannya, sehingga setiap pasangan tidak boleh berkehendak bebas sampai melangar syariat-Nya sebagaimana konsep open marriage yang penuh dengan kemudaratan. Maka kita butuh penerapan syariat Islam dengan sempurna tanpa memilih dan memilah sesuka hati kita. Tentunya penerapan ini tidak cukup dalam skala individu semata, tapi butuh untuk diterapkan menyeluruh dalam skala negara, yakni dengan penegakkan Khilafah Islamiyah.

Hadanallah waiyyakum, wallahu a’lam bishawab[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Asyifa'un Nisa Kontributor NarasiPost.com
Previous
Nidzham Al-Islam (Peraturan Hidup dalam Islam)
Next
Zona Merah Dekadensi Moral: Rupiah Dikejar, Orang Tua "Dibuang"
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram