Pemaknaan Hari Santri, khususnya bila kita kembalikan kepada peristiwa aslinya pada 76 tahun silam sungguh telah mengalami pergeseran. Jika pada 22 Oktober 1945 silam para santri menjadi lokomotif perjuangan umat melawan segala praktik tindak kezaliman, tahun ini para santri akan diarahkan untuk menjadi penyokong mesin ekonomi kapitalisme lewat narasi pengembangan ekonomi syariah.
Oleh. Aina Syahidah
NarasiPost.Com-Terhitung sejak tahun 2015, 22 Oktober ditetapkan sebagai Hari Santri Nasional oleh pemerintah melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 22 Tahun 2015. Peringatan ini didasarkan oleh sebuah peristiwa monumental yang terjadi pada 22 Oktober 1945 dimana KH.Hasyim Asy'ari mengeluarkan Resolusi Jihad dalam merespons kesewenang-wenangan Belanda yang coba mengoyak keutuhan bangsa yang kala itu sudah beberapa bulan memproklamisasikan kemerdekaan.
Resolusi Jihad yang difatwakan tersebut pun bertujuan untuk membangkitkan semangat juang rakyat dalam bingkai jihad fiisabillah melawan penjajah, yang sebagian besarnya didominasi oleh para ulama dan santrinya. Atas dasar inilah pemerintah kemudian menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. Tujuannya tentu untuk mengenang segala jerih payah dan pengorbanan para santri dan ulama yang kala itu yang berjuang sampai titik darah penghabisan.
Peringatan Hari Santri Tahun Ini
Tahun ini adalah tahun ke enam Hari Santri kembali diperingati. Dan peringatan tahun ini bertepatan dengan Peluncuran Logo Baru Masyarakat Ekonomi Syariah atau MES (22/10/2021).
Itulah mengapa dalam momentum peringatan tahun ini sarat dengan nilai-nilai ekonomi. Harapannya agar santri dapat berpartisipasi dalam program pengembangan ekonomi syariah ini. Untuk kita ketahui bahwa berdasarkan data dari The States of Global Islamic Economy Indicator Report pada tahun 2020, ekonomi syariah Indonesia berada di peringkat ke empat dunia.
Geliat pertumbuhan ini harus dijaga dan dikembangkan. Itulah mengapa Presiden RI, Joko Widodo, menekankan sinergi yang baik antarmasyarakat ekonomi syariah (MES) ini.
Sebagaimana kita ketahui pula bahwa salah satu komponen MES termaksud di dalamnya adalah pesantren, ulama, dan santrinya. Maka tak heran bila mereka pun digenjot dan diarahkan untuk menjadi lokomotif pengembangan ekonomi syariah serta melahirkan banyak kewirausahaan terutama dari kalangan para santri.
Senada dengan itu, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT), Abdul Halim Iskandar, pihaknya juga mengatakan bahwa pesantren memiliki peran besar dalam menggerakkan ekonomi desa. Pesantren di Indonesia memiliki lahan sebagai lokasi pertanian dan kolam sebagai tempat pembudidayaan ikan. Di samping itu, pesantren juga kerap menjadi pasar bagi masyarakat sekitar.
Itulah mengapa Mantan Ketua DPRD Jawa Timur ini mengatakan bahwa pesantren dan santri memiliki peran dalam hal pembangunan SDM yang mempuni, penunjang dinamika kelembagaan desa, dan yang terakhir mampu menggerakan ekonomi desa (22/10/2021).
Sarat dengan Spirit Kapitalisasi
Menyikapi dua hal di atas jelaslah sudah bahwa pemaknaan Hari Santri, khususnya bila kita kembalikan kepada peristiwa aslinya pada 76 tahun silam sungguh telah mengalami pergeseran. Jika pada 22 Oktober 1945 silam para santri menjadi lokomotif perjuangan umat melawan segala praktik tindak kezaliman, tahun ini para santri akan diarahkan untuk menjadi penyokong mesin ekonomi kapitalisme lewat narasi pengembangan ekonomi syariah.
Secara label, memang berbunyi islami tapi bila ditelisik lebih dalam di sana ada megaproyek sistem kapitalisme dunia yang berburu keuntungan dengan memanfaatkan potensi yang dimiliki oleh umat, utamanya di kalangan para santri. Pun kalau bukan karena hitung-hitungan ekonomi, mana mau kapitalisme menggandeng sesuatu yang berbau agama dalam praktik kehidupan. Bukankah ia dasarnya sekuler? Inilah dualisme wajah sistem kapitalis sekuler. Di satu sisi, propaganda teroris dan ekstremis di kalangan santri dan ulama digaungkan. Di sisi lain, ia berburu keuntungan ekonomi darinya.
Sebagaimana diketahui, Indonesia adalah negeri muslim terbesar. Geliat kesadaran umat akan agama mereka juga semakin meninggi. Istilah syariah dalam muamalah pun banyak dicari dan diminati. Itulah mengapa sistem ini menghadirkan solusi alternatif bagi rakyat dengan label syariah. Walau sebenarnya dalam praktiknya, kemurniaan muamalah ini, apakah sudah betul-betul related dengan hukum syariat (Islam) atau tidak, perlu dikaji lebih dalam lagi dengan timbangan dalil yang sahih tentunya. Karena pada faktanya, meski telah berlabel syariah, tetapi tidak semua penunjang hukum syariat di dalamnya diterapkan.
Namun terlepas dari itu, geliat ini adalah isyarat bahwa umat mulai menunjukan keberpihakannya kepada syariat. Sayangnya, karena umat ini masih berada di bawah payung sistem ekonomi kapitalisme, maka kebijakan sistem ekonomi syariah yang tegak di atasnya pun sesuai dengan napas dan ruh kapitalisme yang jauh dari spirit keumataan ataupun kemaslahatan. Mengapa? Karena kapitalisme tak punya niatan untuk menyejahterakan seluruh rakyat tanpa terkecuali.
Begitu pula dengan santri, tentu karena ada faktor ekonomi di sana. Sistem kapitalisme yang sekuler tentu tak mau berjalan beriringan dengan sesuatu yang sifatnya ilahiah karena asas ideologinya dibangun atas paham pemisahan agama dari kehidupan.
Simpulan
Santri adalah salah satu pioner kebangkitan umat. Dan dalam sejarah panjangnya bahkan ketika kita berkaca pada peristiwa 22 Oktober 1945, santri adalah pelopor utama perjuangan bangsa ini melawan penjajah. Ya, santri mempunyai peran dalam menumpas kezaliman. Sebab hari ini negeri kita belum sepenuhnya menjalankan amanat kemerdekaan yang hakiki, yakni lepas dari kendali dan penghambaan kepada manusia secara totalitas.
Maka harusnya para santri diarahkan untuk itu. Kembali berjuang untuk kita benar-benar meraih kemerdekaan yang hakiki. Yang dengannya kedigadayaan ekonomi berbasis syariah kaffah dapat kita raih.
Wallahu'alam[]